Saturday, November 10, 2012

Queer theory and Fluid Identities

Chapter 7
(Gauntlett, David. Media, Gender and Identity: An Introduction Second Edition. 2008. London & New York: Routledge)


Queer theory, meskipun salah satu interpretasi dari namanya, bukanlah sebuah teori yang berbicara mengenai homoseksualitas, namun merupakan sebuah pendekatan menuju hal-hal sexuality (perbedaan jenis kelamin), dan secara umum- identitas, yang dibangun dari beberapa ide yang dikembangkan oleh Michael Foucault. Versi yang paling bernilai dari Queer theory dikemukakan oleh Judith Butler dalam bukunya, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity (1990). Butler, yang lahir pada tahun 1956 merupakan seorang profesor Rhetoric and Comparative Literature di University of California, Berkeley. Sebagian besar orang menilai bahwa Butler sebagai pencipta Queer theory modern.
 
Ikhtisar Queer theory
Secara umum, Queer theory berbicara mengenai:
  • Tidak ada identitas dalam diri anda yang bersifat tetap.
  • Identitas anda lebih sedikit dari tumpukan (banyaknya) hal-hal (sosial dan budaya) yang anda nyatakan sebelumnya, atau yang telah dikatakan tentang Anda.
  • Tidak ada ‘inner self’ yang sesungguhnya.
  • Gender, seperti aspek lainnya dalam identitas, merupakan sebuah kinerja/performance (meskipun belum tentu dipilih secara sadar). Hal ini diperkuat melalui pengulangan.
  • Oleh karena itu manusia dapat berubah.
  • Kesenjangan biner antara maskulinitas dan feminitas merupakan konstruksi sosial yang dibangun pada kesenjangan biner antara pria dan wanita-yang juga merupakan konstruksi sosial.
  • Kita harus menantang pandangan tradisional mengenai maskulinitas dan feminitas, serta sexuality, yang menyebabkan ‘permasalahan gender’.
Butler memulai permasalahan gender dengan minatnya pada cara bagaimana feminisme memperlakukan ‘perempuan’ sebagai kelompok yang tunggal dan koheren (tepadu dan terarah). Disisi lain, cukup jelas bahwa untuk membuat argumen tentang dominasi dan arus utama (mainstream) dari kaum perempuan, feminisme harus berbicara mengenai wanita sebagai salah satu kelompok yang diperlakukan tidak adil oleh orang-orang dari kelompok lainnya, yakni laki-laki.
Butler mempertanyakan apakah feminisme, dalam pencarian untuk membangun ‘ketegori perempuan sebagai subjek yang koheren dan stabil,’ mungkin benar-benar melaksanakan 'suatu peraturan tanpa disadari dan reifikasi hubungan gender'. Dengan kata lain, salah satu ide awal di belakang feminisme adalah : yang kita inginkan apakah sebuah masyarakat di mana setiap orang hanya diperlakukan sebagai orang yang sama tanpa hal-hal berbau perbedaan gender yang membuat pembedaan apapun. Tapi dengan menciptakan oposisi biner layaknya 'wanita vs pria,’  feminis menegaskan gagasan tentang perempuan sebagai spesies unik - gagasan yang dalam konteks lain akan dilihat sebagai diskriminasi gender.
Butler berpendapat jika istilah ‘sex’ atau sebuah pembagian biner pada diri seseorang menjadi laki-laki atau perempuan- memiliki sebuah sejarah, jika seseorang tidak selalu membaginya seperti itu, jika wacana peneliti telah memformulasikan pandangan mengenai ‘dualitas’ sex, hal tersebut bukanlah sebuah istilah universal yang tetap.
Oleh karena itu, Butler mencoba mempertanyakan bahwa pembedaan alamiah gender terlihat sebagai sebuah pemberian, namun hal tersebut juga merupakan sebuah konstruksi- sebuah cara untuk melihat tubuh. Jadi, ketika kita melihat sex sebagai sebuah kategori yang dipertanyakan, yang tidak memiliki hubungan yang diperlukan untuk setiap gender tertentu atau kepribadian maupun identitas, dan yang pada gilirannya tidak dapat mendikte keinginan, maka kita sampai pada suatu kesimpulan baru, yakni :
Jika gagasan stabil mengenai gender tidak lagi terbukti menjadi premis dasar politik feminis, barangkali semacam politik feminis baru tidak diharapkan menyaingi reifikasi gender dan identitas, yang akan mengambil variabel konstruksi identitas sebagai prasyarat metodologis dan normatif, jika bukan sebagai tujuan politik.
(Butler, 1990: 5)


Dengan kata lain, feminis tidak dapat mengasumsikan bahwa seseorang akan mempunyai jenis identitas tertentu hanya karena orang tersebut ‘perempuan’ atau ‘laki-laki’. Butler menunjukkan bahwa feminisme merupakan hak untuk mengkritik generalisasi tentang 'pria' dan 'wanita' yang dibuat oleh mereka serta mengidentifikasi diri mereka sebagai patriaki dan pen-diskriminasi gender- sehingga harus menghindari pembuatan generalisasi seperti diri mereka sendiri.
            Butler menyatakan bahwa, desakan (oleh beberapa feminis) pada koherensi dan kesatuan kategori wanita secara efektif telah menolak banyaknya persimpangan budaya, sosial, dan politik di mana susunan konkret "wanita" dibangun. Pernyataan bahwa wanita membentuk satu kesatuan, kelompok tertindas, belum memungkinkan pemahaman yang realistis tentang wanita (atau lainnya) dalam masyarakat. (dalam interviewnya pada tahun 1993, Butler menegaskan kembali hubungannya dengan feminisme, dan mengatakan bahwa dia khawatir bahwa Queer theory akhirnya berarti sesuatu yang sangat anti feminis.

Gender as a Performance
Kebanyakan humanist memandang seseorang dalam melihat gender sebagai sebuah atribut, dimana terinstal oleh budaya, setidaknya menjadi tetap sebagai sebuah bagian permanen dari diri seseorang. Tapi Butler lebih memilih posisi historis dan antropologis tersebut untuk memahami gender sebagai relasi antara subyek sosial yang dibentuk dalam konteks spesifik. Dengan kata lain, dari pada menjadi atribut tetap, jenis kelamin (gender) seseorang harus dilihat sebagai variabel cairan (fluida) yang dapat bergerak dan berubah dalam konteks dan pada waktu yang berbeda.
Gender, kemudian merupakan sebuah kinerja (performance) dan tidak lebih. 'Tidak ada identitas gender di balik ekspresi gender; ... identitas secara performative dibentuk oleh 'ekspresi’ yang dikatakan sebagai hasilnya (ibid: 25). Selanjutnya, gender adalah apa yang anda lakukan pada waktu tertentu, daripada siapa anda sesungguhnya secara universal.
Kita sudah mengenali gender sebagai sebuah pencapaian. Jika seorang wanita memakai baju baru dan make-up, dia akan menyatakan 'Saya merasa seperti ‘wanita’ malam ini’, kasus serupa, seorang pria yang mengambil bor listrik mungkin melihat dirinya di cermin dan akan berkata ‘betapa laki-lakinya saya!’ Fakta mengenai ekspresi diatas menunjukkan bahwa sebagian besar orang, setidaknya sadar bahwa gender merupakan semacam kinerja (performance) (ibid: 22).
Dalam beberapa saat tertentu, media dapat membuat perilaku gender tampak lebih alami, tapi jika dilihat dari waktu ke waktu, perubahan yang luas mengungkapkan kekonstruksian dari gender performance.

Subversion
Kita tidak harus menunggu revolusi gerakan feminisme, atau masyarakat untuk menjadi lebih liberal serta menjadi berbeda sebelum peran gender dapat diubah, Butler menyatakan (ibid: 30)
Jika seksualitas secara kultur tersusun dalam hubungan kekuasaan yang ada, maka dalil dari seksualitas normatif yang berada "sebelum", "diluar", atau "diantara" kekuasaan, merupakan sebuah kemustahilan budaya dan merupakan mimpi politik praktis, sebagai penundaan yang nyata dari tugas kontemporer serta pemikiran ulang kemungkinan subversif terhadap seksualitas dan identitas dalam hal kekuasaan tersebut.

Dengan kata lain, ‘forms’ Gender dan Sexuality dapat diciptakan kembali saat ini. Beberapa komentator memfokuskan terhadap pernyataan Butler mengenai forms gender yang dapat dilemahkan/dirusak melalui parody. Pada kenyataannya, ide Butler untuk melemahkan pengertian tradisional mengenai gender tersebut berjalan dengan baik melebihi parodi, jelas dalam hal apapun.
Dengan memberikan bentuk/wujud berbeda terhadap performance harian kita mengenai identitas, kita mungkin dapat mengubah norma-norma gender dan pemahaman biner mengenai maskulinitas dan feminitas. Kemudian, dikeseharian kita, hal ini akan menjadi project politik.

Did Butler really say that?
Semenjak Gender Trouble dipublikasikan, beberapa orang menginterpretasikannya dengan mengatakan bahwa sex dan gender merupakan social construct yang kita harapkan. Butler menyatakan, paling tidak, pengertian terbaru tentang gender bisa ditantang dan ditumbangkan melalui alternative performance identitas. Namun, argumen ini juga menjadikan Butler mendapat masalah dengan orang-orang yang berfikir bahwa hal ini merupakan pandangan yang sangat idealis tentang bagaimana politik seksual dalam masyarakat modern dapat berubah.
Butler kemudian berfikir bahwa, walaupun terdapat kemungkinan terhadap subversi, kita masih tetap harus mengikuti mengapa gender masih menjadi bersifat ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’ seperti yang ditetapkan oleh ilmu biologi dan terlihat sebagai realitas yang spesifik bagi kebanyakan orang.

Using Butler
Sebuah kritik yang nyata tentang Butler adalah bahwa dia tidak benar-benar menguraikan bagaimana orang-orang harus menolak permasalahan gender, atau menyebabkan ‘gender trouble’. Tidaklah mudah untuk membayangkan apakah forms ini akan bertahan meskipun Butler tidak menyertakan ilustrasi.
Teori-teori feminis dan Gender dengan cepat mendapat tempat, benar saja,  bahwa di awal 1990-an, ikon pop Madona tampaknya merupakan perwujudan hidup dari manifestasi Butler. The Sex book (1992), the videos for Express Yourself (1989), Justify My Love (1990), and Erotica (1992), bahkan, keseluruhan dari album Erotica merepresentasikan semuanya- pengaburan dan kebingungan gender, keluwesan seksualitas, pelanggaran terhadap stereotip maskulin dan feminin-, seperti apa yang Butler serukan.
Meskipun demikian, tantangan yang disusulkan oleh Butler mengenai gender akan mendapatkan kekuatan lebih jika dibawakan oleh tokoh-tokoh media populer-dan gagasan tentang 'penyebaran' identitas jauh lebih masuk akal jika kita dapat mengasumsikan bahwa media massa akan memainkan peran penting dalam menyebarkan gambaran tersebut. Untuk menggoyahkan asumsi tentang kesenjangan biner antara wanita dan pria, maskulinitas dan feminitas, gay dan ‘yang lurus,’ apa yang bisa lebih kuat daripada serangan dua arah tersebut, baik kehidupan sehari-hari maupun media populer?

The Anti Butler-Martha Nussbaum
Berbeda dengan tujuan aktivis feminis yang telah berusaha membuat hidup lebih baik bagi perempuan di dunia nyata, melalui sikap Butler, Nussbaum sepertinya berpikir bahwa Butler hanya bermain dengan parodi gender di pinggiran masyarakat. Nussbaum menambahkan:
Gerakan feminisme yang baru (yang dipimpin oleh Butler), menginstruksikan anggotanya bahwa terdapat ruang kecil bagi perubahan sosial dalam skala besar, atau mungkin saja tidak ada ruang untuk hal tesebut. Kita semua, sedikit maupun banyak, terpenjara dalam struktur dari kekuasaan yang mendefinisikan kita sebagai wanita; kita tidak dapat mengubah struktur tersebut dalam skala yang besar, dan kita tidak dapat lari dari hal tersebut. Semua yang kita harapkan untuk itu adalah agar mendapatkan ruang pada struktur kekuasaan untuk memparodikan mereka, untuk mengolok-olok mereka, dan untuk melanggarnya dalam berbicara. (Nussbaum, 1999)

Butler tentu saja mengatakan kebalikan dari apa Nussbaum utarakan, -kita tidak ditakdirkan untuk berada pada keadaan terulangnya struktur kekuasaan di mana kita dilahirkan, dan hal ini harus secara aktif ditantang dan diubah. Nussbaum sangat antusias terhadap perubahan sosial feminis yang dibawa oleh hukum dan tindakan politik lainnya pada tingkat 'makro', mungkin ini yang membuat Nussbaum tidak dapat melihat ide-ide Butler sebagai tantangan nyata yang bekerja pada tingkat yang berbeda, dari tingkat grass roots 'mikro' kehidupan sehari-hari.
Sedangkan bagi David Gauntlett, tindakan penyerangan yang dilakukan oleh Nussbaum terhadap Butler merupakan sebuah kesalahan, serta gagal dalam mengapresiasi perubahan radikal pada kehidupan sosial, harus diperjuangkan dalam kegiatan interaksi dan komunikasi sehari-hari (dan media secara potensial), yang Butler tempatkan. Komentarnya tentang elitisme dan arogansi gaya Butler, bagaimanapun juga, mungkin berada pada posisi yang tepat. Namun demikian, Butler menyediakan perangkat lain dapat diambil dan dipopulerkan, dan hal tersebut membuat kontribusi yang berharga.

Another attack on Queer theory
Dalam artikel yang dipublikasikan dalam jurnal ‘Sexualities’, Tim Edwards membuktikan apa yang ia katakan mengenai ‘Kritik yang kuat terhadap Queer theory dan politik’ (1998: 471).
1.  Identitas selalu bersifat stabil
Edward mencatat bahwa definisi dari Queer theory tidak jelas, namun benar diamati bahwa ‘Queer theory terutama didefinisikan sebagai upaya untuk melemahkan wacana keseluruhan kategorisasi seksual dan lebih khusus, keterbatasan kesenjangan heteroseksual-homoseksual sebagai sebuah identitas’ (ibid: 472)
2. Queer theory berbohong, dengan berfokus pada ‘fancy theory’ dan teks budaya daripada kehidupan nyata
Edward mencatat bahwa beberapa versi dr Queer theory menggunakan teori poststructuralis dan psikoanalitik yang tidak didasarkan pada jenis studi empiris konvensional. Edward juga menyatakan komplainnya bahwa beberapa Queer theorists berasal dari latar belakang literatur dan bahwa argumen gender-bending ditunjang dari teks literatur daripada kehidupan nyata. Mengilustrasikan argumen dari referensi beberapa novel tidak menyamakannya dengan penelitian yang layak di dunia nyata.
3.  Queer theory memandang popular culture secara optimis
Sejumlah penganut Queer theory telah menemukan kenyamanan terhadap analisis mereka terhadap teks tertentu yang dipilih dari dunia popular culture dan art:
apa yang mungkin paling mencolok tentang karya-karya tersebut adalah kurangnya pembanding perhatian pada penindasan terhadap seksual dan bahkan ras minoritas demi sebuah bentuk optimisme budaya yang berfokus terutama pada isu representasi.
Secara jelas Edward menegskan bahwa studi akademis mengenai beberapa seni fotografi ‘transgesif’ tidak akan mengubah dunia.
4. Melihat gender sebagai sebuah wacana menghilangkan signifikansi terhadap kenyataan pada dunianya
Edward mengatakan bahwa argumen yang dikemukakan oleh Butler yakni, gender yang ada pada tingkatan wacana, menghilangkan signifikansinya terhadap sebuah ‘praktek institusi sosial’. Namun bagi Gaunlett, Butler sangatlah memperhatikan bahwa gender dan sexuality dengan kokoh didirikan sebagai fenomena sosial yang tampaknya 'nyata' dan kuat.
5. Perayaan terhadap keragaman dapat menyebabkan sikap individualis dan fragmentasi
Memarginal-kan kelompok sebaiknya ‘tetap-bersama’ daripada berfokus terhadap perbedaan. Hal ini masuk akal. Bagaimanapun juga, apa yang feminis kulit putih gunakan untuk mengatakan pada perempuan kulit hitam dan menjaga mereka tenang –ras harusnya dihilangkan sebagai sebuah isu juga, sehingga tidak membagi pergerakan perempuan.
6. Dengan merayakan perbedaan, politik Queer memperkuat ide mengenai gay dan lesbian sebagai sebuah marginal dan alternatif
Queer theory dengan tegas menolak ide mengenai ‘gay’ secara intrinsik berbeda. Point utama dari perayaan kebebasan dan perbedaan adalah bahwa setiap orang hanya sedikit berbeda dari orang lain (dan mereka senang tentang hal tersebut). Jadi hal ini sangat bertentangan dengan ideologi mengenai ‘heteroseksual vs homoseksual’ yang Edward sampaikan berikut ini:
faktor sekunder dan lebih empiris adalah bahwa, sementara untuk beberapa pria gay dan lesbian, hal seksualitas mereka adalah tentang cara hidup dan bagian sentral dari identitas mereka. .... baik secara intrinsik benar atau salah, disini juga terdapat perhatian/tekanan pada pendekatan sebelumnya. (1998: 479-480). Pendekatan ini mungkin terlalu bersifat politis dalam hubunganya dengan identitas individu.
7. Queer theory merayakan pleasure, sex, the visual, the young and trendy
Queer theory harus mengurangi penekanannya terhadap pleasure dan visual. Karena disana terdapat tempat bagi pleasure untuk ditekankan sebagai alternatif yang membangkitkan semangat kepada stigma AIDS, homofobia, dan identitas 'politik’ murni , namun dikhawatirkan bahwa disini terdapat penekanan yang penuh terhadap sex.

(tulisan diatas diterjemahkan oleh: Andrine Prima Afneta-Universitas Indonesia)

sumber :
Gauntlett, David. Media, Gender and Identity: An Introduction Second Edition. 2008. London & New York: Routledge

1 comment:

budayakan komentar yang berbudaya