Saturday, November 10, 2012

Jurnalisme dan ‘Kelompok Minoritas'

Oleh : Maria Hartiningsih
(Wartawan KOMPAS)
 
(tulisan ini saya dapatkan pada saat mbak Maria menjadi dosen tamu mata kuliah Seminar Media dan Minoritas, Magister Ilmu Komunikasi-Universitas Indonesia, April 2012)

Teknologi komunikasi membuat kehidupan manusia kian terbuka. Batas-batas negara kian kabur. Dunia menjadi seperti global village. Berbagai perjanjian internasional yang dibuat mengacu  pada kebebasan untuk menguasai sumberdaya atas dasar kecepatan dan kekuatan. Demokrasi diterjemahkan sebagai menguatnya keberdayaan  individu-individu yang berkumpul dalam massa yang disebut “pasar”. Kekuasaan negara melemah. Nasionalisme berubah konsepnya karena penjajahan riil sudah berakhir, namun muncul penjajahan baru selalu berubah-ubah wujudnya. Konsep “negara-bangsa” pun dipertanyakan.
Kebudayaan global dengan leluasa memasuki kehidupan yang paling pribadi dari warga masyarakat,  menguasainya,  membangun dan membentuk mindset seragam mengenai segala hal yang menjadi tolok ukur “kemajuan” dan  kesuksesan”. Rasionalisme dipuja sebagai dewa yang paling berkuasa, meski pun kemajuan teknologi yang dipuji-puji  itu telah menjadi berhala, karena juga menghasilkan senjata pemusnah massal yang membunuh, menghancurkan dan menyebabkan kesengsaraan jutaan manusia.
Fenomena divergen-disintegratif  di Indonesia berjalan seiring dengan semua itu, dipicu oleh  proses desentralisasi dan otonomi daerah yang dikukuhkan melalui UU  No 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU No 15/1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Namun fenomena itu tidak muncul tiba-tiba. Keserakahan Pusat mengeruk sumberdaya daerah selama puluhan tahun pada banyak kasus, telah memunculkan kesenjangan yang tajam dan rasa ketidakadilan yang terpendam di antara warga masyarakat. Ini menjadi  proses pembusukan yang dimulai sejak lama. Indonesia yang seperti mozaik, dikelola oleh Orde Baru dengan pendekatan asimilasionis. Pendekatan yang sebenarnya bertentangan dengan the right to culture dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ini menganggap etnis minoritas akan membaur sepenuhnya ke dalam  masyarakat mayoritas (dan negara) dengan melakukan tindakan “perubahan individu” yang seringkali berupa pengorbanan individu  untuk tidak lagi menjalankan kebiasaan, kepercayaan dan berbagai aktivitas sosio-kultural yang menjadi bagian penting dari identitas etniknya. Dengan cara itu diasumsikan elemen perbedaan bisa diminimalkan dan konflik bisa dihindari.
Namun karpet tebal atas nama “persatuan” dan “kesatuan” yang dikawal oleh serdadu untuk membungkus potensi benturan atas dasar ras, agama, budaya, dan golongan (SARA) -- yang masalah dasarnya adalah ketidakadilan dan perebutan sumberdaya -- terbongkar setelah Orde Baru runtuh,  menyusul kerusuhan Mei tahun 1998, yang menewaskan lebih dari 1.000 orang di Jakarta. Tragedi ini menimbulkan trauma yang tak tersembuhkan,  dan untuk beberapa waktu ribuan warga keturunan Tionghoa berduyun-duyun meninggalkan Jakarta.
Peristiwa itu disusul dengan berbagai konflik. Kasus Poso, Kupang, Mataram, Sampit, Mamasa, Ambon, “Sang Timur”, kasus Ahmadiyah dan sebagainya, sebenarnya merupakan pantulan dari cermin politik yang lebih tinggi, misalnya, instrumentasi politik melalui etnisitas, agama, aliran agama, dan asal daerah. Sampai tahun 2011, menurut laporan Setara dan berbagai lembaga lain,  Pemerintah tetap bersikap status quo dengan menahan diri tidak memasuki arena pelik soal kebebasan beragama dan atau berkeyakinan.
Tiga tahun terakhir sampai tahun 2009, tercatat 342 kali serangan terhadap komunitas Ahmadiyah.(Komnas Perempuan). Sedangkan Laporan Setara Institute memperlihatkan, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama tiga tahun sampai tahun 2009, paling banyak menimpa komunitas Ahmadiyah. Laporan Setara Insitute 2010 mencatat 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 286 bentuk tindakan, menyebar di 20 provinsi pada tahun 2010, dengan pelanggaran terbanyak menimpa kelompok Kristen.
Meski di tingkat nasional belum ada keputusan tegas tentang keberadaan Ahmadiyah, namun beberapa peraturan daerah sudah mendahului, seperti Peraturan Bupati Pandeglang yang melarang keberadaan kelompok Ahmadiyah di wilayahnya mulai tanggal 21 Februari 2011. Kebijakan diskriminatif yang jumlahnya 189 akhir tahun 2010 menggunakan klaim mayoritas dalam proses berdemokrasi sebagai pembenaran atas pembedaan, pembatasan dan pengabaian hak-hak konstitusional warganegara. Tujuh peraturan diskriminatif itu terbit di tingkat nasional, sedangkan 80 dari 189 kebijakan yang mengatasnamakan agama dan moralitas itu menyasar langsung pada perempuan. Kebijakan diskriminatif itu meningkat menjadi 207 pada tahun 2011, di antaranya, 23 kebijakan mengatur cara berpakaian, pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena mengkriminalkan perempuan,  dengan  55 kebijakan tentang prostitusi, pornografi, dan pertemuan dua individu lelaki dan perempuan yang tidak terikat dalam pernikahan (khalwat). Sebagian dari 55 kebijakan itu juga memuat bentuk penghukuman badan yang tidak manusiawi, dan empat  kebijakan tentang buruh migran yang berakibat pada pengabaian hak atas perlindungan. Begitu menurut Komnas Perempuan.
Menurut Elga dari Interfidei, yang terjadi saat ini lebih dalam dari kedangkalan beragama, juga tak hanya soal kebebasan beragama atau relasi antar agama. Kekerasan yang  sangat terbuka dengan tingkat kemanusiaan yang sangat tipis beberapa tahun terakhir ini amat  berbahaya karena sudah mengancam keberadaan negara-bangsa. Elga melihat pemimpin negara tak melakukan langkah tegas ketika berhadapan dengan kelompok yang melakukan ancaman itu. Sebaliknya, oknum yang berada di lingkaran pimpinan tertinggi negara malah mengancam media yang kritis pada ancaman terhadap negara-bangsa. 

Semua  ini seperti sejalan dengan  apa yang dikatakan Samuel Huntington dalam Clash of Civilization (1993), bahwa proses kontemporer  modernisasi dan globalisasi secara aktif menyumbang pada berkembangnya masalah-masalah etnisitas dikaitkan dengan kemunculan kembali persoalan komunitarian secara signifikan. Ancaman riil kehidupan bangsa  yang pluralistik sejak bangsa ini terbentuk, sungguh merisaukan. Toleransi, inklusivisme dan penolakan terhadap berbagai jenis fundamentalisme dapat dipupuk kalau ada pengakuan terhadap multikulturalisme, yang ia yakini sebagai  pendukung pluralisme, yaitu keberadaan budaya yang sama tinggi dan sama bernilai di dalam suatu masyarakat yang pluralis.
Inilah yang dikatakannya sebagai proses demokratisasi yang sempurna karena meliputi bukan hanya hak-hak politik dan hak individu, tetapi juga hak-hak budaya dari suatu kelompok masyarakat. Multikulturalisme berkembang sebagai proses pembelajaran yang menaruh perhatian pada pentingnya keragaman sumber-sumber serta kantung-kantung budaya yang menjadi oasis  penghayatan hidup dan acuan makna penganutnya. 
Namun ada bahaya dalam multikulturalisme yang tak banyak disinggung. Yakni partikularisme atau relativisme budaya, khususnya terhadap perempuan, berupa praktik-praktik yang menindas dan menyengsarakan yang masih banyak dipraktikkan di berbagai kebudayaan di dunia.  Seperti sati (pembakaran janda, di India),  mutilasi alat kelamin perempuan (FGM), pengecilan kaki, kawin usia anak, dan lain-lain.
Banyak ahli mengatakan, dampak negatif dari multikulturalisme dapat diperkecil kalau kita dapat mentransformasikan masyarakat menjadi knowledge-based society. Premis ini sebenarnya bisa dipertanyakan, karena di negara yang masyarakatnya dianggap paling maju, dan multikultur  sekali pun, dampak negatif multikulturalisme tidak sepenuhnya bisa dikikis. Pandangan masyarakat AS terhadap ras dan agama yang lain, yang tampaknya demokratis, ternyata rapuh setelah peristiwa 11 September tahun 2001. Perseteruan Inggris dan Irlandia yang didasari prasangka-prasangka agama , merupakan contoh yang lain. Polaritas dan kerumitan hubungan-hubungan di dalam masyarakat semakin menajam setelah Tragedi 11 September 2001 di New York, AS. Toleransi menjadi konsep yang bersyarat. Lalu muncul konsep semacam toleransi (untuk) tidak toleran, dan pluralisme terbatas. Di Eropa terjadi di dalam urusan kaum imigran. Ini menyalahi proposal John Rawls mengenai demokrasi, yang berangkat dari sensitivitas sosial untuk melindungi mereka yang marjinal. 

Meski pendidikan diyakini sebagai solusi yang dipandang baik untuk memecahkan berbagai persoalan menyangkut pluralitas suatu bangsa, diskusi tentang  multikulturalisme adalah diskusi yang panjang, yang mungkin tak pernah akan berakhir. Sejarah juga  memperlihatkan  persaingan yang luar biasa ketat antara pandangan yang multikulturalis dengan pandangan yang uniformis pada suatu bangsa. Banyak ahli mengingatkan, pengertian multikulturalisme pun bukan merupakan sesuatu yang “sudah jadi”.  
Pengertian itu terus bergerak di antara yang paradoks-paradoks. Yang mencari definisinya, bisa tersesat di rimba paradoks.  Multikulturalisme merupakan konsep besar yang masih mencari bentuknya karena “kebelum-jadiannya”.Salah satu fungsi  pers adalah menjadi agen pembaruan atau perubahan. Pers mendidik masyarakat agar memiliki pengetahuan tentang bangsa ini. Sayangnya tak banyak orang tidak memahami atau menyalahgunakan fungsi pers tersebut. Jurnalisme multikultural diharapkan menjadi salah satu  referensi bagaimana seorang jurnalis mentransformasikan fakta dan realitas sebagai realitas media. Bahwa media dan jurnalis mempunyai kebebasan berekspresi adalah hal yang tidak bisa dibantah, apalagi setelah sekian lama diberangus oleh Negara dan agen-agennya melalui penyuluhan, pendidikan dan sensor.
Akan tetapi,  apakah media massa sudah cukup dengan seperangkat pengetahuan dan pengalaman selama puluhan tahun ditindas? Kita, agaknya harus  berpikir ulang untuk memastikan bahwa “jurnalisme titik” sudah cukup. Menghadapi situasi komunitas suku, bentuk-bentuk jurnalisme konvensional hanya dengan matra 5W+1H saja tidak lagi memadai. Di dalam situasi di mana konflik dan kekerasan berlatar belakang etnis, agama, antar golongan, jurnalisme tidak bisa lagi digunakan secara naif. Jurnalisme damai dan jurnalisme multikultural memberikan alternatif bagaimana jurnalis bekerja di dalam situasi yang penuh risiko tidak hanya terhadap dirinya, tetapi terutama adalah pengaruhnya terhadap masyarakat luas.
Mengapa begitu? Karena ia harus mempertimbangkan dampak dari tulisan-tulisannya terhadap masyarakat luas. Berbeda dengan jurnalis asing yang memahami fakta konflik di negeri kita seperti melihat peristiwa di dalam kotak kaca, kita sebagai jurnalis, yang juga warganegara Indonesia, berada di dalam kotak kaca itu.

Banyak orang bersikukuh pada teori bahwa  jurnalisme bekerja atas mazhab obyektivitas. Pertanyaannya adalah obyektif seperti apa?
Sebagai jurnalis, kita adalah manusia dengan hati nurani. Kita tidak hidup di luar masyarakat manusia. Kita, masing-masing adalah manusia dengan beragam pengalaman dan pengalaman itu otentik. Pengalaman itu membentuk mindset kita sebagai manusia mengenai berbagai hal dan kemudian mempengaruhi cara kita memandang persoalan dan fakta. Kemana kaki kita melangkah, mencari narasumber dalam kerja jurnalistik, tetaplah dipengaruhi oleh cara pandang kita.
Cara pandang itu tidak statis, karena dipengaruhi oleh banyak hal, oleh pengetahuan yang tidak hanya terbatas pada buku, dan juga perjumpaan-perjumpaan. Bagi saya, pengetahuan itu seluas dan sedalam samudera raya, dan kita dihadapkan pada pilihan-pilihan juga, yang bagaimana pun,  sangat tergantung pada mindset kita tentang persoalan-persoalan itu.  Dari sini dapat dilihat dialektika antara subyektivitas dan obyektivitas, bukan pemisahan antara keduanya.[1] 
Ada perbedaan yang mendasar antara jurnalisme konvensional. Jurnalisme yang digunakan untuk memperjuangkan hak-hak komunitas suku, membutuhkan “perjalanan” lebih panjang. Membaca buku Sokola Rimba, misalnya, sangat jelas terlihat bahwa jurnalisme tak bisa lain, selain harus mengambil posisi. Obyektivitas harus dibaca dalam konteks ini.
Namun pertama-tama, jurnalis harus tahu betul apa yang dimaksudkan dengan pendidikan. Mereka harus punya cara pandang yang kritis terhadap segala mazhab arus utama. Pendidikan tak bisa dilihat sebagai pendidikan formal di ruang kelas. Seperti dilakukan Butet, seberapa pun, sudah memberikan gambaran bagaimana pendidikan digunakan untuk membuat orang rimba tidak diperdayakan oleh orang luar. Jurnalis harus membaca fakta tentang bagaimana para tauke itu menipu orang rimba. Di sini persoalannya bukan hanya soal tipu-menipu, tetapi modernitas menjadi kata kuncinya. Apakah menjadi orang modern cirinya adalah dapat menipu dan menghasut yang lain?
Pers hanya dapat menjadi agen perjuangan hak komunitas suku kalau para pelakunya memahami luasnya wilayah Indonesia dan beragamnya kondisi sosial serta kebudayaannya. Pemahaman bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta amat sangat penting, terutama adalah pemahaman bahwa ada kelompok masyarakat yang ibaratnya sudah ke bulan dan ada kelompok yang masih seperti hidup di zaman batu. Tetapi yang sangat penting untuk dipahami adalah bahwa kelompok yang sudah ke bulan itu tak bisa menindas mereka yang masih hidup di zaman yang lain. Cara pandang mereka tak boleh dipaksakan, terutama cara pandang tentang “keberadaban”. Di sini kita juga bisa bersikap kritis terhadap hak warganegara dan seluruh cara-cara yang positivistik untuk membuktikan kewarganegaraan, seperti kartu identitas. 
Setiap orang memiliki bajunya sendiri. Kita tak boleh memaksakannya. Saya sangat menghargai pendekatan Butet dan keberaniannya melawan arus, sekali pun arus itu menjadi acuan lembaga tempatnya bekerja. Memang banyak hal harus dipertanyakan, seperti mazhab konservasi. Namun, yang membuat saya sedih sekali gus marah adalah bagaimana pendekatan jurnalis terhadap segala sesuatu yang terkait dengan orang rimba. Catatan Butet memperlihatkan bagaimana jurnalis menganggap orang rimba sebagai ‘obyek’, dan kebudayaannya dipandang sebagai sesuatu yang “seksi” untuk dipaparkan; bukan sebagai sesuatu yang harus dihargai dan penghargaan itu diperlihatkan dengan bagaimana cara pendekatan.
Mari kita pertanyaan yang diajukan oleh jurnalis kepada orang rimba. Pertanyaan, “umur kamu berapa”, “orangtua kamu kerja apa”, “cita-cita kamu apa”, “kelas berapa”, “sampai kapan mau tinggal di rimba”, “tidak kepingin tinggal di kota” dan… ini yang membuat saya sangat sedih, “masuk Islam atau Kristen?”
Pertanyaan seperti ini memperlihatkan tak hanya ketidaktahuan jurnalis tentang apa yang sedang ia liput, tetapi juga ideologi-ideologi modernitas yang sudah terpatok di dalam mindsetnya, yang menganggap bahwa kota lebih baik, sekolah harus mengikuti aturan formal, bekerja adalah sebuah pekerjaan yang pasti, dan… agama hanyalah agama yang ada di dalam lima agama yang diakui Negara. Alangkah menyedihkan!.
Maka, pernyataan apakah pers dapat menjadi agen perubahan dan agen untuk memperjuangkan hak-hak komunitas suku tak dapat dijawab sekadar dengan “ya” atau “tidak”, karena pers dihidupi oleh para pelakunya. Maka, pertanyaannya kemudian adalah apakah para pelaku ini memiliki pemahaman yang bnenar mengenai banyak hal. Di antaranya adalah peran negara dan hak warganegara.

Lalu bagaimana  jurnalisme menjawab situasi yang berkembang di dunia kontemporer ini?  Kekerasan berbasis keyakinan komunal, politik identitas, toleransi bersyarat, masalah tanggungjawab bersama yang melintasi sekat-sekat primordial, keberwargaan (citizenship) global, dan kosmopolitanisme adalah persoalan yang perlu direnungkan. Ada dua hal penting yang harus mendapat perhatian. Pertama, bagaimana jurnalisme merayakan lokalitas, artinya mengangkat lokalitas nilai-nilai adiluhung yang perlu dikembangkan pada iklim modernitas. Kedua, jurnalisme yang mempertanyakan lokalitas. Sekitar 2500 tahun lalu Socrates mempertanyakan adat karena tidak memberikan ruang bagi kebebasan berpikir yang menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk suatu perubahan.
Dalam beberapa dekade ini jurnalisme bergeser dari pemujaan terhadap singularitas kepada kemungkinan pluralitas dan fragmentaris. Dalam pergeseran ini ada dua hal yang penting dicermati. Pertama, persoalan individuasi dalam kubus-kubus kebudayaan kita. Kedua, persoalan identitas, apakah identitas dilihat sebagai sesuatu yang ketat atau longgar; memberi atau menutup kemungkinan dan menjadi esensialistik. Komunikasi yang macet dapat didobrak kalau ditemukan embrio individualitas di dalam rahim kebudayaan kita. Artinya, lokalitas harus didefinisikan ulang.
Diskusi menjadi menarik karena persis berada di dalam tarikan ketegangan itu. Jurnalisme seharusnya tidak diarahkan untuk proyek romantisasi “keaslian” suatu budaya karena cara itu pasti menuju pada jebakan etnosentrisme.  Wartawan harus menggali apa yang bisa dijadikan semacam resep baru dalam upaya mempertahankan keberwargaan yang demokratis (democratic citizenship). Di dalam democratic citizenship, tak ada soal mayoritas-minoritas-marjinal, karena  hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya warganegara dilindungi secara sama utuhnya satu dengan yang lain. Pendekatan ini adalah tawaran karena doktrin komprehensif agama mau pun etika tak mampu meredam kekerasan atas nama politik identitas yang terus menerus terjadi.     Bagi saya, pemihakan kepada kelompok minoritas  bukan untuk menonjol-nonjolkan perbedaan, tetapi pengakuan bahwa mereka adalah warganegara, tanpa harus terjebak pada politik identitas. Saya memiliki pemahaman bahwa kebudayaan tidak statis. Apa yang saya lakukan dengan jurnalisme harus memberikan sumbangan kepada keberwargaan yang demokratis, bukan memperjuangkan identitas sebagai sesuatu yang pasti.

*) Maria Hartiningsih, wartawan Kompas

Catatan: Demokratic citizenship adalah pemikiran Rocky Gerung yang menjadi inspirasi tulisan ini. Namun tulisan ini belum mengandung refleksi lebih dalam, bahwa urusan minoritas bukan urusan jumlah, melainkan kebersuaraan dan ‘keber-ruangan’ di ranah publik. Oleh sebab itu, isu minoritas sebenarnya lebih terkait isu dan korban. Dalam konteks ini saya meminjam teori ‘subaltern’ dari teoris post-kolonial, Gayatri Spivak.




[1]  Dengan diktum “the personal is political” saya menolak pendekatan dua kutub yang berseberangan. Bagi feminisme,  yang harus dilihat adalah dialektika antara dua kutub, begitu pula dengan obyektivitas dan subyektivitas. Lihat Catharine MacKinnon, Feminism and    of the State, 1984.  

MELACAK AKAR MASALAH PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

MELACAK AKAR MASALAH PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP NILAI-NILAI SOSIAL
(KAJIAN FILSAFAT NILAI)

Supartiningsih

(Supartiningsih adalah dosen Fakultas Filsafat UGM, kajian-kajian filsafati dalam bidang kewanitaan telah banyak dilakukannya. Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36, Nomor 1)


Perkembangan dan kebebasan media massa merupakan tolok ukur kemajuan dunia informasi. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, media cetak dan elektronik berkembang cukup pesat. Secara kuantitas media seperti koran, tabloid, televisi, VCD, dan internet sangat jauh meningkat. Namun peningkatan ini sayangnya tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas. Bila dicermati isinya, banyak media yang tidak berbobot dan terkesan hanya memenuhi alasan selera pasar. Salah satu yang sangat ditonjolkan adalah eksploitasi seksual. Kasus-kasus pornografi yang mencuat beberapa waktu yang lalu adalah bukti akan rendahnya kualitas kebanyakan media yang ada.
Tayangan TV pun tidak ketinggalan mulai berani turut ambil bagian dalam menayangkan eksploitasi seksual. Sejumlah video klip baik dari lagu-lagu Barat maupun dalam negeri hampir dapat dikatakan selalu menonjolkan unsur seksual. Jika kehidupan masyarakat dibombardir secara terus-menerus dengan suguhan yang tidak mengindahkan batas-batas nilai kesopanan, bukan tidak mungkin masyarakat akan sampai pada satu titik di mana pornografi dan pornoaksi tidak lagi dianggap sebagai suatu yang tabu dan asusila. Masyarakat akan menjadi terbiasa dan menganggap semua itu sebagai kewajaran. Diawali dengan terbiasa membaca dan melihat, lama-kelamaan perilaku pun berubah. Perasaan malu sudah tidak ada lagi, dan berkembanglah sikap apatis. Akhirnya orang merasa bebas merdeka untuk melakukan apapun tanpa adanya lagi kontrol masyarakat. Lemahnya kontrol masyarakat akan mengarah pada terbentuknya budaya permisif.
Nilai-nilai yang mendasari perilaku masyarakat sebagai tatanan yang seharusnya dijaga menjadi terpinggirkan, atau bahkan terkikis habis. Masyarakat menjadi sangat permisif terhadap segala bentuk penyimpangan yang terjadi, karena batasan nilai memudar. Akar budaya yang menjunjung tinggi nilai dan religi menjadi tercerabut. Tidak ada lagi kata tabu, malu apalagi dosa. Ujung-ujungnya adalah desakralisasi seks. Seks tidak lagi dipahami sebagai hal sakral yang hanya terdapat dalam lembaga perkawinan. Seks pun menjadi ‘barang’ murahan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Pornografi selain hanya akan membuat pikiran berorientasi pada hal-hal yang berbau seks, juga akan menggiring pada perubahan tata nilai. Nilai-nilai religius akan tergusur dan kepedulian masyarakat terhadap nilai-nilai sosial akan semakin melemah. Lebih parah lagi, perilaku yang mengutamakan intelektualitas dan budaya tinggi berupa kreatifitas dan kasih sayang berganti menjadi budaya rendahan seperti seks dan kekerasan.
Pengeksploitasian seks sebagai barang komoditi mengakibatkan seseorang terkondisi untuk memandang seks sebagai barang konsumsi. Karena itu, konsumsi seperti ini dapat saja terjadi tanpa batas dan arah. Salah satu gejala yang dapat dilihat adalah gaya hidup free sex yang pada saat ini telah menggoyahkan aturan-aturan perilaku seks yang sudah mapan (Gunawan, 1993: 2).
Pornografi yang terdapat dalam sejumlah media massa menyiratkan fungsinya sebagai meaning maker yang sangat berperan dalam melestarikan budaya patriarkhi dengan menonjolkan mainstream sosok perempuan yang stereotipikal. Disebut stereotip karena ia merupakan konsepsi atau pelabelan sifat berdasarkan prasangka dan subjektif. Umumnya ia bersifat negatif sehingga merugikan yang diberi label (Rustiani, 1996: 60). Opini yang digulirkan media massa umumnya menempatkan perempuan sebagai ‘mahluk fungsional bagi laki-laki’, lebih khusus lagi untuk ‘kegunaan seksual’ (Septiawati, 1999: 14).
Eksploitasi seksual juga banyak dilakukan dengan alasan komersialisasi. Kekuatan feminin yang bertumpu pada daya pikat dari kekenyalan otot dan kelembutan garis-garis tubuh perempuan dianggap oleh sebagian feminis sebagai suatu mitos yang sengaja diciptakan untuk mendukung struktur kapitalisme (Risangayu, 1999: 100). Tidak jarang dalam dunia bisnis, pengusaha menggunakan cover dan ilustrasi yang memanfaatkan daya tarik seks (sex appeal) untuk sekadar memancing para konsumennya.

Eksploitasi seksual di media massa menurut kalangan feminis dipandang sebagai satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh masyarakat luas. Hal ini mengacu pada Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang berbunyi:
Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual ditempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa.

Munculnya eksploitasi seksual sebenarnya tidak lepas dari kontrol sosial dan negara. Lemahnya kontrol sosial terhadap penjagaan nilai-nilai sosial memungkinkan terjadinya keruntuhan sendi-sendi masyarakat. Pornografi secara kasar merepresentasikan atau memamerkan kecabulan, khususnya seksualitas manusia, dibuat dengan suatu tujuan untuk fantasi (Blackburn, 1994: 293). Tjipta Lesmana (1995: 109) merangkum berbagai pendapat tentang pornografi antara lain:
1. Muhammad Said mengartikan porno adalah segala apa saja yang sengaja disajikan dengan maksud merangsang nafsu seks orang banyak.
2. Hooge Raad berpendapat bahwa pornografi menimbulkan pikiran jorok.
3. Jurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan bahwa sesuatu dikatakan porno jika kebanyakan anggota masyarakat menilai, berdasar standar nilai yang berlaku saat itu, materi tadi secara keseluruhan dapat membangkitkan nafsu rendah pembaca. Kriteria porno adalah gambar atau tulisan yang dapat membangkitkan rangsangan seksual mereka yang melihat atau membacanya, yang melanggar rasa kesusilaan atau kesopanan masyarakat dan oleh sebab itu tak pantas disiapkan secara umum.

Akar Permasalahan Pornografi Dan Pornoaksi
Secara umum maraknya pornografi dan pornoaksi ada dua faktor dominan: budaya patriarkhi dan kepentingan komersialisme. Kata patriarkhi sering ditunjuk oleh kaum feminis sebagai biang keladi keterpurukan perempuan. Dalam wacana gender, patriarkhi dimaknai sebagai sebuah sistem sosial yang di dalam tata kekeluargaan, sang ayah menguasai semua anggota keluarganya, semua harta milik dan sumber-sumber ekonomi, dan membuat semua keputusan penting.
Dewasa ini sistem sosial yang patriarkhis mengalami perkembangan dalam hal lingkup institusi sosialnya, antara lain lembaga perkawinan, institusi ketenagakerjaan dan lain-lain. Pengertiannya pun berkembang dari ‘hukum ayah’ ke hukum suami, hukum bos laki-laki dan hukum laki-laki secara umum pada hampir semua institusi sosial, politik dan ekonomi (Rustiani, 1996: 59).
Seorang feminis radikal yang cukup tersohor bernama Kate Millet dalam bukunya “Sexual Politics” (terbit tahun 1970) mengatakan bahwa akar dari penindasan kaum perempuan terkubur dalam sistem gender yang sangat patriarkhis. Ia menyoroti seks sebagai alat politis karena relasi perempuan dan laki-laki menjadi paradigma seluruh relasi kekuasaan. Ia menyatakan bahwa di tiap relasi yang selalu dimenangkan adalah supremasi laki-laki. Sistem opresi yang berbasis kontrol laki-laki atas perempuan ini berlanjut pada pembentukan nilai-nilai, emosi serta logika di tiap tahap penting kehidupan manusia. Karena demikian kuatnya kontrol tersebut, ia sampai merasuk dalam kehidupan akademi, religi dan keluarga. Hal ini kian melegitimasi subordinasi perempuan. Akibatnya, semua yang terinternalisasi dalam diri tiap perempuan adalah rasa inferioritas terhadap laki-laki (Tong, 1998: 49).
Kaum feminis radikal dalam menanggapi pornografi ini melihat bahwa pornografi tidak lain adalah propaganda patriarkhal yang menekankan perempuan adalah milik, pelayan, asisten dan mainan. Dalam panggung pornografi, laki-laki eksis untuk dirinya sementara perempuan eksis untuk laki-laki. Andrea Dworkin dan Chatarine Mac Kinnon mendefinisikan pornografi sebagai subordinasi perempuan lewat gambar dan suara yang juga meliputi dehumanisasi perempuan sebagai objek seks, komoditas, barang, penghinaan, menyukai disakiti atau diperkosa. Pornografi juga mendorong laki-laki untuk memperlakukan perempuan sebagai warga kelas dua, tidak hanya di kamar tidur tapi juga di wilayah publik. Para pornografer dituding sebagai agen diskriminasi seksual dan bersalah karena merampok hak-hak sipil perempuan. Bisnis pornografi menjadi lahan subur bagi pesan-pesan kebencian terhadap (misoginis), kekerasan, dominasi dan penaklukan (Venny, tt: 33).
Senada dengan itu, Susan Brown Miller mengidentifikasi bahwa tipikal porno selalu berbentuk tubuh perempuan telanjang dengan dada dan genital yang terekspos. Bagi laki-laki, lanjutnya, tubuh yang telanjang adalah memalukan bagi perempuan. Karena itu, bagian tubuh yang sangat privat dalam pornografi bisa menjadi properti privat para laki-laki. Pada saat yang bersamaan fantasi tradisi kuno, kesucian, universal, beserta seluruh instrumen patriarkhal dari kekuasaan laki-laki campur aduk menelikung diri perempuan (Tong, 1998: 36).
Faktor kedua yang tidak kalah berpengaruh adalah komersialisme. Pornografi menjadikan eksploitasi seksual sebagai hal yang diperdagangkan. Keterkaitan antara seksualitas dengan sisi ekonomi ini tampak dalam kegiatan produksi, distribusi dan transaksi hasrat. Sistem ekonomi seperti ini pada gilirannya menjelma menjadi libidonomics, yakni sebuah sistem pendistribusian rangsangan, rayuan, kesenangan dan kegairahan dalam masyarakat.
JF Loytard dalam “Libidinal Economy” (1993) juga berpendapat bahwa di dalam tubuh ekonomi (kapitalisme global) berkembang sebuah logika yang disebutnya logika hasrat (the logics of desire). Maksud yang terkandung dalam ungkapan ini adalah bahwa lalu lintas ekonomi disertai oleh lalu lintas hasrat. Pertumbuhan ekonomi  ditentukan dari bagaimana hasrat setiap konsumen dirangsang lewat trik-trik sensualitas komoditas. Rangsangan hasrat menjadi titik sentral dari mesin ekonomi: desiring machine. Akibat lebih lanjut adalah kapitalisasi libido: setiap potensi libido dijadikan sebagai komoditas; dan menarik keuntungan dari status komersialnya. Segala trik, taktik dan strategi digunakan untuk menjadikan setiap intensitas libido, setiap bentuk kesenangan, memperoleh nilai tambah ekonomi
WF Haug dalam “Critique of Commodity Aesthetics” (1986) mengatakan bahwa penggunaan unsur seks dan sensualitas yang makin marak dalam berbagai media tidak dapat dilepaskan dari diterapkannya prinsip estetika: commodity aesthetics (estetika komoditas). Penekanan sensualitas pada prinsip ini pada gilirannya menghasilkan apa yang oleh Max Scheler disebut sebagai sensualisasi seluruh wajah kehidupan, khususnya sensualitas pikiran. Tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Scoot Findlay dalam “The Meaning of Sex”. Unsur seksualitas ditempatkan sebagai bagian dari industri kebudayaan (culture industry) yang menjadikan seks sebagai obat mujarab untuk kesuksesan sebuah industri.
 (www.srb/Archieves1[3].Htm).

daftar pustaka :

Jurnal
Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36, Nomor 1 : Melacak Akar Masalah Pornografi Dan Pornoaksi Serta Implikasinya Terhadap Nilai-Nilai Sosial (Kajian Filsafat Nilai)
Dimana referensi dalam jurnal tersebut antara lain :
o Blackburn, Simon. 1994. The Oxford Dictionary of Philosophy. New York: Oxford University Press.
o  Gunawan, FX. R. 1993. Filsafat Sex. Yogyakarta: Bentang.
o  Septiawati D. 1999. ‘Perempuan dan Jurnalisme Lher’ dalam majalah Ummi edisi 6/XI/99.
o  Risangayu, M. 1999. Cahaya Rumah Kita. Bandung: Mizan.
o Rustiani, F. 1996. ‘Istilah-istilah Umum dalam wacana Gender’ dalam Jurnal Analisis Sosial: Analisis Gender Dalam Memahami Persoalan Perempuan, Edisi 4/November 1996. Bandung: Yayasan Akatiga.
o  Tjipta Lesmana. 1995. Pornografi dalam Media Massa. Jakarta: Puspa Swara.
o  Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Colorado: Westview Press.
o  http//www.kompas.com/kompas%2Dcetak/9907/28/opini/porn.htm
o  http//www.srb/Archieves 1{3}.Htm