Thursday, November 1, 2012

bahkan Plato-pun (terkesan) membenci perempuan

Ironis, ketika para filsuf (sang pencipta gagasan tentang ke-manusia-an) memberikan gambaran tentang perempuan, lantaran jawaban-jawaban yang mereka berikan bersifat diskriminatif dan memandang kualitas perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Begitu pula ketika mereka mawacanakan tubuh perempuan ...

Plato (427-437 SM) : pembicaraanya tentang apa yang diharapkan negara dari perempuan - dalam The Republic dan In Dialogues of Plato
Untuk laki-laki yang berpendidikan seperti masyarakat kita, menurut pendapat saya, satu-satunya cara untuk sampai pada kesimpulan tentang kepemilikan dan pemanfaatan perempuan serta anak-anak adalah sebagai pelindung dan penjaga hewan peliharaannya.
Tapi bila kita coba mengerti tentang hakikat perempuan: apakah dia mampu bertindak sepenuhnya, atau sebagian, atau malahan tidak sama seperti laki-laki?

Rousseeau (1712-1778) : pembicaraannya tentang perkawinan – dalam On Discourse on Political Economy
Pada sifat baik para ibu bergantung pendidikan anak-anak dan pendidikan awal laki-laki, karena kedua hal tersebut berada dalam tangan mereka. Pada perempuan juga bergantung moral, nafsu, selera, kesenangan dan kebahagiaan laki-laki. Karena alasan-alasan ini, maka pendidikan perempuan harus sepenuhnya diarahkan pada hubungan-hubungan mereka dengan laki-laki. Memberikan kesenangan kepada laki-laki, menjadi berguna untuk laki-laki, memenangkan cinta dan penghargaan laki-laki atas dirinya, melatih laki-laki dalam masa kanak-kanaknya, merawat laki-laki ketika mereka dewasa, memberikan anjuran dan hiburan bagi laki-laki, membuat hidup terasa indah dan menyenangkan bagi laki-laki: semua ini adalah tugas perempuan sepanjang waktu yang harus mereka (perempuan) latih sejak kanak-kanak. 

Schopenhauer (1789-1860) : pembicaraannya tentang kualitas perempuan – dalam On Women
Perempuan memang cocok untuk bertindak sebagai perawat dan guru di masa kanak-kanak kita, karena faktanya mereka bersifat kekanak-kanakan, sembrono, berpandangan dangkal; singkatnya, mereka adalah anak-anak besar sepanjang hidup mereka – sejenis tahap yang ada ditengah antara anak-anak dan laki-laki dewasa dalam arti yang sebenarnya. Lihatlah bagaimana seorang anak perempuan akan menimang-nimang seorang bocah sepanjang hari, manari dan menyanyi bersama bocah itu; dan pikirkanlah kalau seorang laki-laki, yang terbaik didunia ini melakukan hal yang sama.
Keberadaan perempuan hanya untuk mengembang-biakkan spesies. 

Nietzsche (1844-1900) : sebuah karikatur tentang perempuan – dalam Thus Spoke Zarathustra
Karikatur tersebut menggambarkan bagaimana perempuan meng-ada sebagai alat, atau instrumen penghibur bagi laki-laki. Sifat laki-laki yang menyukai perang, konflik dan sebagainya, mendorong tumbuhnya keinginan untuk menikmati kualitas yang berbahaya pada diri perempuan. Sebaliknya, perempuan memanfaatkan laki-laki untuk tujuan tunggal hidup mereka: hamil dan memiliki anak. Maka satu-satunya harapan dalam kehidupan perempuan dalah menghasilkan supermen, yaitu manusia yang bermentalitas ‘tuan’

Sartre (1905-1980) – dalam Being and Nothingness
Disinilah asal-usulnya, kita menggenggam salah satu kecenderungan yang paling fundamental tentang realitas manusia – kecenderungan untuk mengisi ..... Sebuah bagian yang terbaik dari kehidupan kita diabsahkan dalam menyumbat lubang-lubang, mengisi tempat-tempat yang kosong, dalam menyadari dan secara simbolis membentuk suatu keutuhan ..... Hanya dari sudut pandang inilah, kita dapat melangkah langsung ke seksualitas. Kecabulan dari seks perempuan adalah bahwa segalanya terbuka lebar.
Atau seperti yang dikutip oleh Anthony Synnot dari pernyataan Sartre di tahun 1966 :
Kecabulan seks feminin adalah “pembuka gerbang” apapun. Ini merupakan sebuah daya penarik bagi semua makhluk, seperti semua lubang .... Yang pasti, seks perempuan terletak pada mulut, sebuah mulut rakus yang melahap penis – sebuah kenyataan yang dengan mudah dapat  membawa kita kepada ide-ide tentang pengebirian. Cinta kasih adalah pengebirian bagi laki-laki, namun diatas semuanya, ini karena seks adalah sebuah lubang. 

tulisan ini disarikan dari :
Syarifah. 2006. Kebertubuhan Perempuan Dalam Pornografi. Jakarta: Yayasan Kota Kita. 

No comments:

Post a Comment

budayakan komentar yang berbudaya