Saturday, November 10, 2012

Giddens, Modernity and Self-Identity

Chapter 5
(Gauntlett, David. Media, Gender and Identity: An Introduction Second Edition. 2008.   London & New York: Routledge)


Baron Anthony Giddens gemar memadukan pendekakatan klasik sosiologi dengan gaya yang kontemporer. Karena itulah pemikiran Giddens yang lahir tahun 1938 ini sebenarnya tidak lepas dari salah satu the founding father of sociology, Emile Durkheim. Hanya saja, ia tidak sepenuhnya sependapat dengan ide Durkheim yang menyatakan kita harus memahami aturan yang berlaku untuk kemudian dapat memprediksikan sebuah society, tanpa melihat pada tataran paling mikro, yaitu individu di dalam society.
Giddens bisa dikatakan lebih ‘dekat’ dengan Weber, founding father ilmu sosiologi lainnya, yang menyatakan bahwa individu juga memiliki peran dalam masyarakat (society). Kemudian ia mencoba mengkombinasikan pemikiran baik Durkheim dan Weber, dan inilah cikal bakal structuration theory-nya yang terkenal itu.
Dalam teori strukturasi, Giddens menekankan “struktur sosial dibentuk melalui serangkaian tindakan individu-individu yang mengalami repetisi, yang kemudian menjadi sebuah sistem”.  Social structure, menurut Giddens bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diubah. Perubahan pada srtuktur sosial dapat terjadi jika ada individu-individu yang mulai meninggalkan sistem yang ada, menggantinya atau membuat pembaharuan di dalam sistem itu.
Hanya saja, lebih lanjut menurut Giddens, menjadi agent of changes, atau “yang liyan” tidaklah mudah. Masyarakat akan berusaha untuk melawan jika tidak mau dikatakan menolak orang-orang yang tidak mematuhi aturan umum yang berlaku dan diyakini banyak orang. Rules (aturan) di dalam masyarakat itu menurut Giddens mungkin saja hanya ada di dalam benak kita, biasanya tidak ada aturan tertulis, dan sering kali tidak ada sanksi formal yang memayunginya.
Misalnya saja dalam masalah gender di masyarakat, seorang laki-laki yang menggunakan eyeliner dan menyapukan lipstik ke bibirnya ketika berjalan-jalan di pusat perbelanjaan tidak dijerat oleh undang-undang, namun ia akan mendapatkan sanksi lain yang lebih kuat, yaitu dicemooh dan dipermalukan oleh lingkungan sekitarnya. Lain lagi dengan perempuan dalam budaya barat, jika ia tidak memangkas habis rambut disekitar lengan dan kakinya, tidak ada undang-undang yang menuntutnya ke pengadilan, hanya saja ia akan diasingkan dan dianggap aneh oleh lingkungan sekitarnya. Hal serupa pernah diteliti oleh seorang sosiolog, Harold Garfinkel di tahun 1960. Penelitiannya menunjukkan bahwa saat ada orang yang bertindak diluar kebiasaan, maka akan ada orang-orang lainnya di dalam lingkungan itu yang akan bereaksi negatif (marah) untuk membela pengertian kolektif dari yang disepakati sebagai normal behavior.
Seperti yang dikatakan oleh Giddens , tindakan sehari-hari, kemudian diperkuat, dijadikan kebiasaan dan diulang menjadi sebuah harapan (expectation), dan sekumpulan harapan tentang bagaimana seseorang harus berperilaku itulah yang membuat ‘kekuatan sosial’ (social force) dan struktur sosial (social structures). Masyarakat memiliki bentuk atau struktur, yang dapat mempengaruhi setiap anggota yang tergabung di dalamnya. Pertanyaannya adalah mengapa kita harus tunduk atau peduli pada struktur yang berlaku? Argumen Giddens antara lain ialah bahwa manusia memiliki ‘keyakinan’ (faith) yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Karena keyakinan inilah beberapa orang akan merasa sangat terkejut jika ada orang lain yang tidak bertindak seperti yang umumnya terjadi. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa ada saja laki-laki yang akan menjadi marah, benci, atau tidak nyaman dengan laki-laki lain yang berpenampilan layaknya perempuan.

Karakteristik Self Dalam Modernity
Beberapa filsuf seperti Jean Baudrillard, Piere Bordieu, Jean-Francois Lyotard mengatakan saat ini kita berada dalam era postmodernism. Giddens kurang sepakat dengan pandangan ini. Menurutnya saat ini adalah masa late-modernity, sebabnya menurut Giddens, postmodernist mengakui bahwa identitas adalah sesuatu yang ‘fragmented’, hal ini tidak terlalu mewakili kondisi masyarakat saat ini. Menurut Giddens, individu mungkin berpikir bahwa identitasnya adalah sesuatu yang kompleks dan multi-faceted. Namun, sebenarnya mereka juga menyadari bahwa identitasnya sekumpulan yang menjadi satu, tidak terpisah-pisah sama sekali.
Pemikiran Giddens berasal dari ketertarikannya mengamati masyarakat post-traditional. Saat tradisi telah mendominasi, tindakan individu dipengaruhi oleh tradisi yang berlaku. Bagi Giddens, modernity bukanlah post-traditional. Sebuah society tidak dapat dikatakan modern sepenuhnya jika perilaku, tindakan atau institusi yang terkait di dalamnya masih dipengaruhi oleh tradisi. Dalam masyarakat modern, identitas diri  merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Jika dalam era masyarakat sebelumnya aturan sosial dibentuk berdasarkan tradisi yang berlaku, dalam masyarakat post-traditional kita menentukan aturan sendiri.

Sebelum lebih lanjut membahas tentang late-modernity, Giddens menentukan menyebutkan modernitas dalam empat istilah institusi dasar, yaitu:
1.Kapitalisme, yang dikarakteristikan secara familiar, dengan produksi komoditas, kepemilikan kapital privat, upah buruh tanpa kepemilikan, dan sebuah sistem kelas yang berasal dari karakteristik ini.
2.Industrialisme, yang melibatkan sumber-sumber tenaga mati dan mesin untuk memproduksi barang. Industrialisme tidak terbatas pada tempat kerja, dan ia berpengaruh pada kesatuan pengaturan lain seperti “transportasi, komunikasi dan kehidupan domestik”.
3.Kapasitas-kapasitas pengamatan, yang meminjam karya Michel Foucault. Giddens berujar, “ Pengamatan merujuk kepada pengawasan yang keras terhadap aktivitas-aktivitas populasi-populasi subjek dalam bidang politik.
4.Kekuatan militer atau kontrol atas tujuan-tujuan kekerasan, termasuk industrialisasi perang (Ritzer, 2005 : 241-242).

Ciri-ciri late-modernity seperti yang dikatakan Giddens, antara lain ialah sebagai berikut:
1.   The self bukanlah sesuatu yang sudah ada saat kita lahir, “diri” adalah sesuatu yang dinamis
2.      The self adalah pikiran yang dikonstruksikan oleh individu
3.      Kita semua menentukan ‘lifestyle’ kita sendiri
4.    Relationship dikatakan sebagai hubungan yang sebenarnya jika sifatnya ‘equal’, dimana semua hal harus melalui tahap negosiasi. Dalam hal ini demokrasi dalam sebuah hubungan intim sangat dianjurkan (Ritzer, 2005 : 248)
5.  Kita menerima bahwa ‘knowledge’ adalah sesuatu yang pasti, dan mungkin dapat dibuktikan salah di masa depan
6.      Kita harus percaya dengan kehidupan sehari-hari dan relationship yang sedang kita jalani dengan orang lain, jika tidak kita akan selalu memikirkan hal-hal yang tidak menyenangkan. Kepercayaan menadi kebutuhan ketika kita tidak lagi memiliki informasi lengkap mengenai fenomena sosial sebagai hasil dari kerenggan yang meningkat baik dalam arti waktu maupun ruang. Kepercayaan diartikan sebagai kemantapan pada seseorang ataupun sistem, berkaitan dengan hasil ataupun peristiwa yang ada, dan kemantapan tersebut mewujud sebagai keyakinan dalam ketulusan ataupun cinta sesama, atau dalam kebenaran prinsip-prinsip yang abstrak (Ritze, 2005 : 243)
7.      Kita bisa menerima resiko, dan memilih tindakan di masa depan untuk mengantisipasi hal yang akan terjadi nanti. Media mengingatkan pada kita tentang resiko-resiko yang mungkin akan terjadi.

Pertanyaan-pertanyaan seperti “apa yang harus dilakukan”, “bagaimana harus bertindak?”, “harus menjadi seperti apa?” merupakan pertanyaan tentang identitas di dalam masyarakat modern, yang merupakan sebuah konsekuensi dan memicu perubahan dalam setiap level.
Giddens kemudian berusaha mencari hubungan antara level paling mikro yaitu, self and identity dan level makro seperti state, perusahaan multi-nasional, dan globalisasi. Perbedaan level ini, menularkan pengaruhnya satu sama lain, dan tidak dapat dimengerti jika hanya mengamati salah satu saja. Misalnya, selama ini banyak terjadi kasus-kasus perceraian yang diberitakan oleh media massa. Fenomena ini menandakan bahwa masyarakat semakin terbuka untuk membicarakan hubungan personalnya. Perubahan dalam lembaga pernikahan, relationship, serta seksualitas sering kali dihubung-hubungkan dengan merosotnya pendekatan agama dan meningkatnya rasionalitas dalam masyarakat. Sering kali perubahan ini merupakan efek dari gerakan sosial, salah satunya adalah women’s liberation dan egalitarianisme (level makro)); yang tumbuh dari ketidakpuasaan atau ketimpangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (level mikro).
Media juga banyak mengambil peran dalam fenomena atau “perubahan” yang terjadi dalam lembaga pernikahan. Salah satunya adalah pengaruh media dalam persepsi individu tentang relationship. Dalam tayangan TV jarang sekali ada happily married dalam waktu yang lama. Melalui tayangan yang sifatnya fiksi maupun berita tentang kehidupan pribadi public figure, sering kali kita “disuguhi” pesan bahwa kehidupan rumah tangga yang monogami dan bahagia adalah sesuatu yang dikatakan “ideal” namun jarang terjadi. Melalui media kita diajak untuk merefleksikan diri kita dalam artikel tentang relationship  di majalah, cerita-cerita dalam buku self-help dan narasi drama-drama yang diputar di layar lebar.

Media dan Identitas Dalam Kacamata Giddens
Jika self adalah sesuatu yang bukan diwariskan melainkan dibuat, jadi sebenarnya apakah self itu? Giddens mengatakan dalam aturan post tradisional, identitas diri menjadi proyek refleksif--sebuah usaha keras yang kita kerjakan terus menerus dan kemudian tercermin. Kita menciptakan, menjaga dan memperbaiki penjelasan biografis kita (cerita tentang siapa kita, dan bagaimana kita menjadi seperti saat ini).
Identitas diri, bukanlah sekumpulan karakteristik, namun merupakan sekumpulan pengertian refleksif tentang biografi seseoarng. Identitas diri adalah penjelasan tentang kehidupan seseorang, tindakan dan pengaruhnya yang dibentuk dari lingkungannya yang dapat menjelaskan tentang seseorang. Orang lain dapat menjelaskan identitasnya tanpa mengalami kesulitan. Identitas “menjelaskan” masa lalu seseorang dan juga melalui identitas kita dapat mengantisipasi tindakan seseorang di masa depan.
Giddens menyebut refleksivitas sebagai salah satu karakter dari modernitas. Di mana refleksivitas sebagai tampilan fundamental dari teori strukturasi Giddens, ia juga mengambil makna khusus dalam modernitas ketika “praktik-praktik sosial dicermati secara konsisten dan diperbaiki dalam cahaya informasi-informasi yang masuk mengenai praktik-praktik tersebut, sehingga secara konstitutif membentuk karakter mereka. Semua terbuka untuk refleksi dalam dunia modern, dan termasuk di dalamnya adalah proses refleksi itu sendiri.
Narasi tentang identitas seseorang bisa saja terus mengalami revisi. Hanya saja jika seseorang sering menceritakan narasi biografi yang berbeda-beda maka ia akan dibenci atau ditolak oleh sekelilingnya. Biasanya perasaan malu yang akut tentang masa lalunya sering kali diasosiasikan oleh fenomena ini. Seperti dalam film ‘Catch Me If You Can’ (2002), tokoh Frank Abagnale, Jr yang diperankan oleh Leonardo DiCaprio sering kali mengubah-ubah identitasnya. Ternyata setelah diusut tokoh ini mengalami masa lalu yang sulit ketika orang tua nya bercerai dan terlibat kasus hutang yang besar. Sejak identitas sebenarnya dari Frank Abagnale, Jr terungkap, teman-temannya tidak bisa menerimanya lagi di dalam lingkungan mereka. Giddens kemudian mengatakan dasar dari rasa percaya dirii dalam integritas dan nilai di dalam sebuah identitas diri ialah pride dan self esteem. Sebaliknya rasa malu (shame) berasal dari ketakutan, takut kalau-kalau narasi kehidupan yang diceritakan tidak dianggap baik, atau menarik.
Gagasan tentang biografi yang di konstruksi sangatlah modern. Giddens mengaitkan tumbuhnya narasi diri dengan munculnya percintaan romantis. Diskursus mengenai percintaan romantis sering kali dikatakan muncul pada akhir abad ke-18. ‘Romantic love introduced the idea of narrative into an individual’s life’, ungkap Giddens. Cerita hubungan antara dua individu yang kemudian ‘terkoneksi’ dalam proses sosial yang lebih besar tidak mengkonstruksikan cinta sebagai hubungan partnership yang setara, melainkan perempuan diasosiasikan dengan dunia femininitas dan motherhood yang merupakan hal asing bagi laki-laki. Kendati demikian, tokoh protagonis perempuan biasanya digambarkan sebagai independent dan spirited. Sedangkan, dunia maskulin digambarkan jauh dari ranah domestik, baik secara emosional maupun fisikal.
Dalam The Transformation of Intimaty : Sexuality, Love and Eroticism in Modern Societies, Giddens memusatkan perhatian pada transformasi keintiman yang menunjukkan gerakan pada konsep pemikiran Giddens yang tak kalah penting, yaitu hubungan yang murni, atau “sebuah situasi di mana hubungan sosial dijalankan demi kepentingan diri sendiri, demi apa yang dapat diperoleh oleh setiap orang dari pergaulan berkelanjutan dengan orang lain”. Dalam kasus keintiman ini, hubungan diri dan orang lain dalam konteks kesaaam seksual dan emosi. Demokratisasi hubungan intim dapat menggiring tidak hanya pada demokratisasi hubungan-hubungan interpersonal secara umum namun juga aturan institusi-makro (Ritzer, 2005 : 248).
Narasi biografi tentang diri dan cinta ini merupakan hasil saran yang diberikan oleh media-media populer, yang berusaha mengkonstruksikannya lewat produk-produk media yang mereka tawarkan. Dalam film misalnya, sering kali menceritakan tentang dua orang yang ‘ditakdirkan’ untuk bersama, karena telah menemukan “the one” yang selama ini dicarinya. Kemudian, di bagian akhir film mereka hidup bahagia bersama, seperti digambarkan dalam film ‘Enchanted’,  tentang seorang perempuan naif yang datang dari negeri antah berantah dan menemukan ‘the one’-nya di megapolitan, New York. Lain lagi dengan Opera Sabun (di Indonesia lebih populer dengan istilah sinetron), hampir semua karakter digambarkan bisa berganti-ganti pasangan dalam waktu singkat, dan terkadang balik lagi kepada pasangan semula, karena tuntutan serial yang memang panjang. Misalnya sinetron ‘Tersanjung’ yang populer menjelang tahun 2000-an dan sinetron ‘Cinta Fitri’ yang baru saja menamatkan masa tayangnya setelah memasuki season ke-5 di awal tahun 2011. Lifestyle magazine lain lagi, mereka banyak menitik beratkan perhatian pada sexual fulfillment, maka tak jarang isinya terkadang terkesan sexist dan memicu war gender.
Dalam topik mengenai seksualitas, psiko-analis Sigmund Freud pernah berargumen bahwa masyarakat berusaha untuk menekan seksualitas. Kemudian Michel Faucault menyarankan bahwa seksualitas tidak ditekan namun lebih merupakan obsesi sosial. Karena setiap upaya untuk ‘menekan’ masalah seks merefleksikan kegemaran akan hal itu dan akan selalu membuat awareness dan pembahasan berkelanjuan tentang topik itu. Giddens dalam hal ini berargumen bahwa di masa abad ke-19 dan ke-20, perilaku seksual telah ‘disembunyikan’ karena topik ini dianggap sesuatu yang tabu, namun karena ia telah dihubungkan dengan kebebasan dalam menjalin hubungan, kemudian berdampak pada partnership yang dikini erat di karakteristikkan sebagai  paduan antara cinta dan kepercayaan.

Konsumerisme dan Gaya Hidup
“Modernitas membuka proyeksi tentang diri, namun dibawah tekanan kuat dari efek standarisasi yang diciptakan oleh komodifikasi kapitalisme”, ujar Giddens. Kemudian ia menambahkan bahwa setiap orang akan bereaksi secara kreatif untuk komodifikasi--mereka tidak akan “dipaksa” untuk menerima beberapa produk dengan cara tertentu. Walaupun demikian, Giddens menambahkan bahwa refleksi dari diri, dalam hal tertentu penting untuk berjuang melawan pengaruh komodifikasi.
Konsumerisme adalah cara paling jelas untuk mengembangkan dan memproyeksikan lifestyle. ‘Pilihan gaya hidup’ mungkin terdengar berkelas bagi mereka yang tergolong kelas atas, namun Giddens menegaskan bahwa setiap orang dalam masyarakat modern harus memilih sebuah gaya hidup,  karena itulah kelompok yang berbeda akan memiliki gaya hidup yang juga beragam. Lifestyle tidak hanya hal-hal seputar pekerjaan bergengsi dan pola konsumsi yang mencolok, istilah ini diaplikasikan pada pilihan akan hal-hal lainnya, perilaku, sikap dan kepercayaan.
Jadi, bisa dikatakan lifestyle kurang lebih seperti genre, dimana komposernya dapat memilih apakah ia akan menampilkan hip hop, rock and roll atau bahkan dangdut. Sebagai komposer atau sutradara (jika mau diibaratkan seperti film), seseorang dapat memilih gaya hidup metropolitan atau pedesaan (rural). Gaya hidup fokus pada pekerjaan, atau pada topik lainnya seperti clubbing, sport, romance, kulinerr, teknologi dan lain sebagainya.
Dalam dunia moderen, bahkan tubuh terseret dalam pengaturan refleksif kehidupan sosial. Tubuh menurut Giddens (yang kemudian menyebutnya dengan istilah ‘reflexively mobilized’), telah menjadi ruang dari atribut personal yang di perlu dipikirkan lebih lanjut juga di atur. Kita tidak hanya bertanggung jawab atas packaging kita sendiri namun juga atas segala sesuatu yang berhubungan dengan tubuh kita. Dalam membahas tubuh, Giddens berangkat dari tulisan Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life, yang isinya antara lain tentang ‘impression management’. Maksudnya adalah seseorang akan mengatur ekspresi wajahnya, posturnya atau busananya untuk menyesuaikan dengan situasi yang sedang berlangsung. Sebab itu tidak mengherankan apabila tubuh juga merupakan subjek atas berbagai “rezim”, misalnya diet, fitness center, body contour center dan DVD-DVD latihan kebugaran yang tidak hanya membantuk individu “mencetak” tubuhnya melainkan juga memberi sumbangan pada refleksivitas diri dan refleksivitas modern secara umum. Hasilnya, tak lain tak bukan adalah sebuah obsesi dengan tubuh dan diri kita sendiri dalam dunia modern.
Dalam membicarakan lifestyle, contoh yang paling umum menarik untuk diamati ialah para ‘yuppie’ --young urban professional. Mungkin karena kategori ini muncul di tahun 80-an dimana identitas profesional muncul pertama kali secara radikal dalam masyarakat pasca tradisional. Penjelasan lebih lanjut dari istilah ‘yuppie’ dibuat untuk menjelaskan orang-orang dengan hasrat individualistik untuk mencari kesejahteraan pribadi. Gaya hidup ini berasal dari berbagai jenis bidang pekerjaan, namun seiring berjalannya waktu juga berkembang menjadi sekumpulan aksesoris yang melekat pada diri yuppies ini sebagai identitas diri mereka, misalnya untuk kasus kekinian yaitu penggunaan smart phone merek tertentu, kawat gigi, pakaian rancangan desainer terkenal dan lain sebagainya (Liputan Khusus Tempo, Februari 2012).
Para ‘yuppie’ ini sempat mendapat sindiran dari Brett Easton Ellis dalam novelnya yang terbit di tahun 1991, American Psycho, yang kemudian di film kan pada tahun 2000. Novel ini bercerita tentang seorang yuppie yang menghalalkan segala cara (termasuk membunuh) agar ia bisa mengakomodir kebutuhannya akan gaya hidup. Seperti yang dikatakan Giddens, “semakin  seseorang berada dalam atmosfer post-traditional, semakin peduli mereka terhadap gaya hidup yang menjadikannya sebagai identitas diri, its making and remaking”.  Karena itulah tak mengherankan, ujar Giddens, bila beberapa perilaku kemudian dilihat sebagai “karakter” seseorang di dalam lifestyle tertentu.
Namun tentu saja fenomena ini lagi-lagi tidak bisa dipisahkan dari peran media dalam mempropagandakan gaya hidup modern. Media, terutama televisi, banyak menginspirasi  masyarakat tentang bagaimana seharusnya cara mereka menjalani kehidupan. Misalnya seorang remaja yang tertarik pada jenis musik ‘dansa’ dan clubbing mungkin “belajar” dari apa yang ia lihat tentang dance music di majalah dan televisi; kemudian ia mungkin saja akan mengadaptasinya dalam kehidupan nyata atau malah tidak mencobanya sama sekali. Mungkin ia mencoba karena majalah mengatakan clubbing hal paling seru untuk melepas penat, atau mungkin ia tidak mencoba karena mengetahui efek buruk dari samping, yaitu kehidupan glamor dengan para pemadat di dalamnya. Media dalam kacamata modern menawarkan banyak kemungkinan dan mengusung keragaman (diversity), namun juga menawarkan pandangan yang sempit tentang bagaimana menginterpretasi lifestyle tertentu,  tergantung dari mana Anda ingin melihatnya.
Sumber informasi lainnya tentang lifestyle dalam era modern adalah buku-buku self-help. Di Indonesia salah satu buku yang sempat booming di awal tahun 2000-an adalah serial The Chicken Soup, disusul dengan kesuksesan Mario Teguh, Bong Chandra, 100 Hari Bersedekah, Hipnoterapi dan masih banyak lagi. Giddens mendukung ide tentang terapi diri yang ditawarkan dalam buku-buku self-help. Menurutnya buku-buku self-help membantu individu untuk memahami konsep diri melalui metodologi rencana hidup (life-planning). Buku-buku inilah yang membuat seseorang menjadi lebih jujur dengan dirinya sendiri, karena biasanya buku-buku semacam ini bercerita tentang aktualisasi diri. Dari buku dengan kategori self-help kita belajar tentang gambaran konsep-konsep diri yang berusaha untuk mencapai tujuannya, mencari kebahagaan dan berusaha untuk menjadi terinspirasi dengan kisah orang lain.
Media populer lainnya, selain buku juga menawarkan hal yang sama, dengan cara yang berbeda-beda tentunya. Media-media populer ini menyajikan referensi tentang apa yang membuat hidup Anda menjadi lebih berharga untuk dijalani. Film misalnya, biasanya lebih jelas dalam hal menggambarkan kesuksesan, cara kita dapat meraihnya, serta identitas apa yang kemudian muncul, atau berubah di dalam karakter seseorang. Seperti dalam film Pursuit of Happiness yang diperankan aktor kulit hitam Will Smith, yang berjuang untuk hidup di tengah resesi di Amerika. Sementara itu, majalah lebih gemar menyajikan nasihat-nasihat tentang bagaimana caranya untuk memberikan impresi baik dalam berkomunikasi dengan orang lain, dan bagaimana impresi itu kemudian akan berdampak pada kesuksesan Anda di kemudian hari.

Stjepan Mestrovic : Si Anti-Giddens
Dalam bab ini kita telah melihat bahwa tradisi semakin lama semakin tidak populer, dan identitas secara umum, termasuk di dalamnya gender dan identitas sosial semakin beragam. Setiap orang harus mengadopsi gaya hidup tertentu untuk dirinya, walaupun terkadang beberapa orang akan merasa tidak dapat memenuhi semua kriteria gaya hidup yang dipilihnya. Secara keseluruhan, dalam bab ini juga membahas media memberikan pengaruh terhadap “kisah hidup” dan perspektif seseorang. Maka tak mengherankan juga, jika pandangan tentang tubuh, pasangan, dan juga kebutuhan emosi, akan dipengaruhi juga secara representatif oleh apa yang disajikan oleh media, dan tentu saja juga mengalami modifikasi berdasarkan pengalaman sosial dan interaksi kita di masyarakat.
Giddens melihat manusia sebagai agen yang rasional, yang dapat mengatur hidupnya sendiri, juga memiliki daya untuk mengevaluasi setiap gagasan yang hadir dihadapannya dan kemudian secara kreatif membentuknya kembali dalam kehidupannya. Untuk membuktikan kesahihan pemikiran Giddens ini, David Gauntlett dalam buku Media, Gender and Identity telah melakukan penelitian secara empiris. Beberapa hasil penelitiannya antara lain ialah menguatkan resistenti manusia terhadap terpaan berita di media, orang-orang muda dapat membuat teks di media menjadi lebih kreatif, penelitian ini menunjukkan kemampuan manusia untuk membuat program televisi yang relevan dengan kehidupan sehari-hari, dan kemampuan orang-orang biasa untuk membuat website yang sangat mengesankan.
Namun ternyata tidak semua orang setuju dengan pemikiran Giddens. Adalah seorang Stejan Mestrovic yang mengkritik karya tulis Giddens dalam Anthony Giddens: The Last Modernist (1998). Penulis ini mengungkapkan bahwa Giddens adalah seseorang yang tak berperikemanusiaan karena model kehidupan sosial yang ditawarkan oleh Giddens terlalu rasional, dan tidak menyertakan emosi dan sentimen. Popularitas dari nasionalisme, menurut Mestovic mengarah pada tindak kekerasan dan pemusnahan bangsa. Mestovic mengatakan bahwa Giddens menawarkan kehidupan sosial yang nyaman, sosiolog Barat kelas menengah, namun lemah saat dihadapkan pada masalah kemiskinan.
Hanya saja, ternyata Mestovic memiliki kesalahan yang mengejutkan dalam mengintrepertasikan istilah moderenitas dari Giddens. Mestovic memahami modernity dalam ranah sosiologi yang biasa, seperti misalnya Enlightenment. Padahal sebenarnya Giddens, menggunakan istilah ini agak berbeda sebagai bagian dari oposisinya antara tradisi dan modernitas, dimana tradisi masih memainkan perannya yang kian lama kian pudar dalam masyarakat kontemporer.
Mestovic menyatakan tidak memiliki simpati pada model rasional yang ditawarkan Giddens. “Giddens agent is all mind and no heart. Giddens’s knowledgeable human agent is ultimately a rationalist, a modernist caricature of what it means to be human”, ujarnya. Dalam ‘pure relationship’ yang menjunjung kesetaraan dalam sebuah hubungan misalnya, Mestovic melihatnya secara sinis sebagai sebuah hubungan yang egois, dimana dua orang bersama-sama karena ada penghargaan tertentu yang akan di dapat olehnya jika berbuat seperti yang dikehendaki partner-nya. 

 (tulisan diatas diterjemahkan oleh: Desy Budi Utami-Universitas Indonesia)

sumber :
Gauntlett, David. Media, Gender and Identity: An Introduction Second Edition. 2008. London & New York: Routledge
Giddens, Anthony. Modernity and Self-Identity: Self and Society in The Late Modern Age. 2007. California: Stanford University Press
Ritzer, George. Teori Sosial Postmodern. 2005. Yogyakarta : Kreasi Wacana

4 comments:

  1. Lam kenal..sy sdg kul magister kom- rncn mau cari sumber refernsi makanan tradisional jakarta dan identitas budaya.. Pola agent n strukur? Gideens, Apa bisa -diterapkan..blhkah berkorespondens via email?

    ReplyDelete
    Replies
    1. strukturnya Giddens, itu bermula dari tindakan individu, kemudian direpetisi dan menjadi sebuah sistem karena sifat "pengulangan" itu tadi.

      kalau tentang identitas (spesifik : budaya, dalam kasus anda) sih memang masuk ke kajiannya pak Giddens :)

      Delete
    2. kalau pernikahan kembali giddens membahasnya gimana?

      Delete

budayakan komentar yang berbudaya