Saturday, November 10, 2012

MELACAK AKAR MASALAH PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

MELACAK AKAR MASALAH PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP NILAI-NILAI SOSIAL
(KAJIAN FILSAFAT NILAI)

Supartiningsih

(Supartiningsih adalah dosen Fakultas Filsafat UGM, kajian-kajian filsafati dalam bidang kewanitaan telah banyak dilakukannya. Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36, Nomor 1)


Perkembangan dan kebebasan media massa merupakan tolok ukur kemajuan dunia informasi. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, media cetak dan elektronik berkembang cukup pesat. Secara kuantitas media seperti koran, tabloid, televisi, VCD, dan internet sangat jauh meningkat. Namun peningkatan ini sayangnya tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas. Bila dicermati isinya, banyak media yang tidak berbobot dan terkesan hanya memenuhi alasan selera pasar. Salah satu yang sangat ditonjolkan adalah eksploitasi seksual. Kasus-kasus pornografi yang mencuat beberapa waktu yang lalu adalah bukti akan rendahnya kualitas kebanyakan media yang ada.
Tayangan TV pun tidak ketinggalan mulai berani turut ambil bagian dalam menayangkan eksploitasi seksual. Sejumlah video klip baik dari lagu-lagu Barat maupun dalam negeri hampir dapat dikatakan selalu menonjolkan unsur seksual. Jika kehidupan masyarakat dibombardir secara terus-menerus dengan suguhan yang tidak mengindahkan batas-batas nilai kesopanan, bukan tidak mungkin masyarakat akan sampai pada satu titik di mana pornografi dan pornoaksi tidak lagi dianggap sebagai suatu yang tabu dan asusila. Masyarakat akan menjadi terbiasa dan menganggap semua itu sebagai kewajaran. Diawali dengan terbiasa membaca dan melihat, lama-kelamaan perilaku pun berubah. Perasaan malu sudah tidak ada lagi, dan berkembanglah sikap apatis. Akhirnya orang merasa bebas merdeka untuk melakukan apapun tanpa adanya lagi kontrol masyarakat. Lemahnya kontrol masyarakat akan mengarah pada terbentuknya budaya permisif.
Nilai-nilai yang mendasari perilaku masyarakat sebagai tatanan yang seharusnya dijaga menjadi terpinggirkan, atau bahkan terkikis habis. Masyarakat menjadi sangat permisif terhadap segala bentuk penyimpangan yang terjadi, karena batasan nilai memudar. Akar budaya yang menjunjung tinggi nilai dan religi menjadi tercerabut. Tidak ada lagi kata tabu, malu apalagi dosa. Ujung-ujungnya adalah desakralisasi seks. Seks tidak lagi dipahami sebagai hal sakral yang hanya terdapat dalam lembaga perkawinan. Seks pun menjadi ‘barang’ murahan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Pornografi selain hanya akan membuat pikiran berorientasi pada hal-hal yang berbau seks, juga akan menggiring pada perubahan tata nilai. Nilai-nilai religius akan tergusur dan kepedulian masyarakat terhadap nilai-nilai sosial akan semakin melemah. Lebih parah lagi, perilaku yang mengutamakan intelektualitas dan budaya tinggi berupa kreatifitas dan kasih sayang berganti menjadi budaya rendahan seperti seks dan kekerasan.
Pengeksploitasian seks sebagai barang komoditi mengakibatkan seseorang terkondisi untuk memandang seks sebagai barang konsumsi. Karena itu, konsumsi seperti ini dapat saja terjadi tanpa batas dan arah. Salah satu gejala yang dapat dilihat adalah gaya hidup free sex yang pada saat ini telah menggoyahkan aturan-aturan perilaku seks yang sudah mapan (Gunawan, 1993: 2).
Pornografi yang terdapat dalam sejumlah media massa menyiratkan fungsinya sebagai meaning maker yang sangat berperan dalam melestarikan budaya patriarkhi dengan menonjolkan mainstream sosok perempuan yang stereotipikal. Disebut stereotip karena ia merupakan konsepsi atau pelabelan sifat berdasarkan prasangka dan subjektif. Umumnya ia bersifat negatif sehingga merugikan yang diberi label (Rustiani, 1996: 60). Opini yang digulirkan media massa umumnya menempatkan perempuan sebagai ‘mahluk fungsional bagi laki-laki’, lebih khusus lagi untuk ‘kegunaan seksual’ (Septiawati, 1999: 14).
Eksploitasi seksual juga banyak dilakukan dengan alasan komersialisasi. Kekuatan feminin yang bertumpu pada daya pikat dari kekenyalan otot dan kelembutan garis-garis tubuh perempuan dianggap oleh sebagian feminis sebagai suatu mitos yang sengaja diciptakan untuk mendukung struktur kapitalisme (Risangayu, 1999: 100). Tidak jarang dalam dunia bisnis, pengusaha menggunakan cover dan ilustrasi yang memanfaatkan daya tarik seks (sex appeal) untuk sekadar memancing para konsumennya.

Eksploitasi seksual di media massa menurut kalangan feminis dipandang sebagai satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh masyarakat luas. Hal ini mengacu pada Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang berbunyi:
Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual ditempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa.

Munculnya eksploitasi seksual sebenarnya tidak lepas dari kontrol sosial dan negara. Lemahnya kontrol sosial terhadap penjagaan nilai-nilai sosial memungkinkan terjadinya keruntuhan sendi-sendi masyarakat. Pornografi secara kasar merepresentasikan atau memamerkan kecabulan, khususnya seksualitas manusia, dibuat dengan suatu tujuan untuk fantasi (Blackburn, 1994: 293). Tjipta Lesmana (1995: 109) merangkum berbagai pendapat tentang pornografi antara lain:
1. Muhammad Said mengartikan porno adalah segala apa saja yang sengaja disajikan dengan maksud merangsang nafsu seks orang banyak.
2. Hooge Raad berpendapat bahwa pornografi menimbulkan pikiran jorok.
3. Jurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan bahwa sesuatu dikatakan porno jika kebanyakan anggota masyarakat menilai, berdasar standar nilai yang berlaku saat itu, materi tadi secara keseluruhan dapat membangkitkan nafsu rendah pembaca. Kriteria porno adalah gambar atau tulisan yang dapat membangkitkan rangsangan seksual mereka yang melihat atau membacanya, yang melanggar rasa kesusilaan atau kesopanan masyarakat dan oleh sebab itu tak pantas disiapkan secara umum.

Akar Permasalahan Pornografi Dan Pornoaksi
Secara umum maraknya pornografi dan pornoaksi ada dua faktor dominan: budaya patriarkhi dan kepentingan komersialisme. Kata patriarkhi sering ditunjuk oleh kaum feminis sebagai biang keladi keterpurukan perempuan. Dalam wacana gender, patriarkhi dimaknai sebagai sebuah sistem sosial yang di dalam tata kekeluargaan, sang ayah menguasai semua anggota keluarganya, semua harta milik dan sumber-sumber ekonomi, dan membuat semua keputusan penting.
Dewasa ini sistem sosial yang patriarkhis mengalami perkembangan dalam hal lingkup institusi sosialnya, antara lain lembaga perkawinan, institusi ketenagakerjaan dan lain-lain. Pengertiannya pun berkembang dari ‘hukum ayah’ ke hukum suami, hukum bos laki-laki dan hukum laki-laki secara umum pada hampir semua institusi sosial, politik dan ekonomi (Rustiani, 1996: 59).
Seorang feminis radikal yang cukup tersohor bernama Kate Millet dalam bukunya “Sexual Politics” (terbit tahun 1970) mengatakan bahwa akar dari penindasan kaum perempuan terkubur dalam sistem gender yang sangat patriarkhis. Ia menyoroti seks sebagai alat politis karena relasi perempuan dan laki-laki menjadi paradigma seluruh relasi kekuasaan. Ia menyatakan bahwa di tiap relasi yang selalu dimenangkan adalah supremasi laki-laki. Sistem opresi yang berbasis kontrol laki-laki atas perempuan ini berlanjut pada pembentukan nilai-nilai, emosi serta logika di tiap tahap penting kehidupan manusia. Karena demikian kuatnya kontrol tersebut, ia sampai merasuk dalam kehidupan akademi, religi dan keluarga. Hal ini kian melegitimasi subordinasi perempuan. Akibatnya, semua yang terinternalisasi dalam diri tiap perempuan adalah rasa inferioritas terhadap laki-laki (Tong, 1998: 49).
Kaum feminis radikal dalam menanggapi pornografi ini melihat bahwa pornografi tidak lain adalah propaganda patriarkhal yang menekankan perempuan adalah milik, pelayan, asisten dan mainan. Dalam panggung pornografi, laki-laki eksis untuk dirinya sementara perempuan eksis untuk laki-laki. Andrea Dworkin dan Chatarine Mac Kinnon mendefinisikan pornografi sebagai subordinasi perempuan lewat gambar dan suara yang juga meliputi dehumanisasi perempuan sebagai objek seks, komoditas, barang, penghinaan, menyukai disakiti atau diperkosa. Pornografi juga mendorong laki-laki untuk memperlakukan perempuan sebagai warga kelas dua, tidak hanya di kamar tidur tapi juga di wilayah publik. Para pornografer dituding sebagai agen diskriminasi seksual dan bersalah karena merampok hak-hak sipil perempuan. Bisnis pornografi menjadi lahan subur bagi pesan-pesan kebencian terhadap (misoginis), kekerasan, dominasi dan penaklukan (Venny, tt: 33).
Senada dengan itu, Susan Brown Miller mengidentifikasi bahwa tipikal porno selalu berbentuk tubuh perempuan telanjang dengan dada dan genital yang terekspos. Bagi laki-laki, lanjutnya, tubuh yang telanjang adalah memalukan bagi perempuan. Karena itu, bagian tubuh yang sangat privat dalam pornografi bisa menjadi properti privat para laki-laki. Pada saat yang bersamaan fantasi tradisi kuno, kesucian, universal, beserta seluruh instrumen patriarkhal dari kekuasaan laki-laki campur aduk menelikung diri perempuan (Tong, 1998: 36).
Faktor kedua yang tidak kalah berpengaruh adalah komersialisme. Pornografi menjadikan eksploitasi seksual sebagai hal yang diperdagangkan. Keterkaitan antara seksualitas dengan sisi ekonomi ini tampak dalam kegiatan produksi, distribusi dan transaksi hasrat. Sistem ekonomi seperti ini pada gilirannya menjelma menjadi libidonomics, yakni sebuah sistem pendistribusian rangsangan, rayuan, kesenangan dan kegairahan dalam masyarakat.
JF Loytard dalam “Libidinal Economy” (1993) juga berpendapat bahwa di dalam tubuh ekonomi (kapitalisme global) berkembang sebuah logika yang disebutnya logika hasrat (the logics of desire). Maksud yang terkandung dalam ungkapan ini adalah bahwa lalu lintas ekonomi disertai oleh lalu lintas hasrat. Pertumbuhan ekonomi  ditentukan dari bagaimana hasrat setiap konsumen dirangsang lewat trik-trik sensualitas komoditas. Rangsangan hasrat menjadi titik sentral dari mesin ekonomi: desiring machine. Akibat lebih lanjut adalah kapitalisasi libido: setiap potensi libido dijadikan sebagai komoditas; dan menarik keuntungan dari status komersialnya. Segala trik, taktik dan strategi digunakan untuk menjadikan setiap intensitas libido, setiap bentuk kesenangan, memperoleh nilai tambah ekonomi
WF Haug dalam “Critique of Commodity Aesthetics” (1986) mengatakan bahwa penggunaan unsur seks dan sensualitas yang makin marak dalam berbagai media tidak dapat dilepaskan dari diterapkannya prinsip estetika: commodity aesthetics (estetika komoditas). Penekanan sensualitas pada prinsip ini pada gilirannya menghasilkan apa yang oleh Max Scheler disebut sebagai sensualisasi seluruh wajah kehidupan, khususnya sensualitas pikiran. Tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Scoot Findlay dalam “The Meaning of Sex”. Unsur seksualitas ditempatkan sebagai bagian dari industri kebudayaan (culture industry) yang menjadikan seks sebagai obat mujarab untuk kesuksesan sebuah industri.
 (www.srb/Archieves1[3].Htm).

daftar pustaka :

Jurnal
Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36, Nomor 1 : Melacak Akar Masalah Pornografi Dan Pornoaksi Serta Implikasinya Terhadap Nilai-Nilai Sosial (Kajian Filsafat Nilai)
Dimana referensi dalam jurnal tersebut antara lain :
o Blackburn, Simon. 1994. The Oxford Dictionary of Philosophy. New York: Oxford University Press.
o  Gunawan, FX. R. 1993. Filsafat Sex. Yogyakarta: Bentang.
o  Septiawati D. 1999. ‘Perempuan dan Jurnalisme Lher’ dalam majalah Ummi edisi 6/XI/99.
o  Risangayu, M. 1999. Cahaya Rumah Kita. Bandung: Mizan.
o Rustiani, F. 1996. ‘Istilah-istilah Umum dalam wacana Gender’ dalam Jurnal Analisis Sosial: Analisis Gender Dalam Memahami Persoalan Perempuan, Edisi 4/November 1996. Bandung: Yayasan Akatiga.
o  Tjipta Lesmana. 1995. Pornografi dalam Media Massa. Jakarta: Puspa Swara.
o  Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Colorado: Westview Press.
o  http//www.kompas.com/kompas%2Dcetak/9907/28/opini/porn.htm
o  http//www.srb/Archieves 1{3}.Htm



1 comment:

budayakan komentar yang berbudaya