Tuesday, October 30, 2012

gerbong 7



(Wanita – pelecehan & kekerasan)


Pukul 08.15 pagi, kereta beranjak meninggalkan kota Solo yang semalam diguyur hujan lebat. 2 malam di Solo dalam kunjungan wisuda-an adik satu-satunya terasa super singkat. Belum sempet wisata kuliner lah, jalan-jalan lah, untuk hal 'belanja-belanji' saja nggak kesampaian. Opsi pulang ke Jakarta naik kereta di putuskan H min sekian jam sebelum berangkat ke Solo, awalnya mau sekalian pesan tiket Pulang-Pergi via udara, tapi karena kondisional (lantaran belum tau mau pulangnya hari apa dan jam berapa), jadi hanya perjalanan pergi yang di booked di travel agent saat itu.

Oke then, kita salah gerbong. Ngeh’ nya saat ada mas-mas berpostur besar dan keliatan sabar naik dari stasiun Jogyakarta menuju tujuan yang sama, yaitu Jakarta. Mas-mas itu keliatan celingukan dan berdiri tepat disamping tempat duduk ku. Beberapa detik kemudian, mas-mas itu buka suara dan.. “mbak, ini no 9 A-B yah? Saya juga duduk disini lho”
Ihh ngga bisa-ngga bisa!! jadi maksud si mas itu, kita yang salah gitu? Enak aja! I’ve the ticket too, bung! 

Si mas ngeliat tiket kami dan... “ya udah mbak, sama yah ternyata duduknya, saya duduk disini aja deh” sambil menunjuk bangku di  deret yang sama namun baris yang berbeda.
Kemenangan nggak berlangsung lama ketika bapak masinis mengecek tiket kami (aku & ibu - serta si mas itu *red). Astaga, kita yang ngelantur taunya, persaan -ngga enak sama si mas nya-malu-bete-males angkat barang (oleh-oleh) yang gedenya seperti pulang haji-  campur aduk jadi satu. Tapi si mas besar itu malah bilang.. “ngga papa, kalian nggak usah pindah” ooohhhh baiknya ... 

Seandainya pun kita pindah tempat duduk, nggak juga ke gerbong yang semestinya,
1.   akan tampak heboh.
2. bawaan yang senantiasa imut (pergunakan majas ironi pada kata ‘imut’) dan juga (lagi-lagi) heboh
3.    malassss... hehehe
“tapi mbak, di gerbong depan (8) kosong loh, di sini juga banyak yang kosong.. tuh”
si co /asisten/pendamping masinis yang satunya buka suara sembari menunjuk-nunjuk 3 deret bangku persis di depan kami. Kita langsung cabcus, dan si bawaan “imut” nggak ketinggalan di tenteng juga. Ya Alloh, padahal di depan kami ada bagage trail aja dong, dan positif nya bisa buat ngaca-ngaca. That was, umm.. great!

Setengah perjalanan, seorang ibu yang awalnya ramah, yang awalnya juga duduk di depan ‘accident-embrasing-moment seat’ kami, mendadak pindah kebarisan samping dan sejajar dengan tempat duduk ku yang baru.  Dengan ‘angel face’ dan senyum sumringah aku sapa si ibu tersebut, tapi beliau malah tersenyum kecut dan memasang earphone nya.  Well, karena aku orang yang berprinsip  is nice to be nice, mending lanjut aja deh sesi handphone narcism fotoshoot pengusir rasa bete.

------------------------------
Selepas tengah hari,

Yang membuat bete adalah ketika di gerbong 7 ini, toilet bermukim malah di bagian belakang, seinget ku dibagian depan-belakang gerbong harusnya ada toiletnya dong yah?! Akibatnya, ketika timbul hasrat-hasrat “penting” itu, kita (penumpang dibaris depan) pun harus dengan sabar memfasilitasi diri dengan toilet yang letaknya jauh dibelakang (ciri-ciri orang yang tidak bersyukur, coba kalau keadaanya adalah : toilet-cuma-satu-untuk-sepuluh-gerbong-yang-letaknya-di-kabin-masinis. 

Oke, ada lagi korban ke esa-an toilet gerbong tujuh dibaris depan kali ini. Setelah tadi saya, seorang manula dan (mungkin) anaknya yang tampak bingung mencari toilet bagian depan dan nihil, seorang bapak, kali ini giliran seorang wanita yang rambutnya tampak acak-acakan karena tertidur diperjalanan. Polanya hampir sama, membuka pintu otomatis, melihat kanan-kiri, mengecek sekali lagi, menuju ke gerbong delapan, kembali ke gerbong tujuh, pasrah, dan kembali ke tempat duduk.

Si wanita dengan rambut ‘bangun tidurnya’ itu malah duduk tepat di belakang kursi ku. Dari pantulan lewat bagage trail di depanku, aku malah mengamati si wanita yang usianya kira-kira 35-40 tahunan itu, atau mungkin saja berusia 60 tahun namun tampak muda karena rajin suntik botox dan vitamin C. Hehe.. (oke, fokus ndrin)
Astaga, seorang pria didepanya..
Rambut wanita yang tampak berantakan, namun lebih mirip disasak itu ternyata bukan karena tidur panjang diperjalanan seperti dugaan ku semula. Pria sangar (yang mungkin suami/ pacar resmi/ pacar gelap/ kerabat -> yang ini agak nggak mungkin karena mereka tampak intim) menjambak berkali-kali rambut si wanita. Sedikit percakapan yang aku dengar adalah “ayo pindah, pindah ke sini (ketempat duduk si wanita semula)” sambil meninju bahu si wanita, dan lagi-lagi menjambak rambut wanita malang itu. 

Wanita itu terisak, menyeka sebentar air matanya, dan beranjak pindah ke sebelah pria sangar itu. Oh oke, peperangan malah berlanjut, dari pantulan bagage trail, aku melihat pria tersebut memelintir lengan wanita yang postur tubuhnya tinggi kurus dengan mata yang sembab. Si wanita cuma berujar lirih “sakitt.. udah.. sakitt..” tanpa melakukan perlawanan apapun. Sang pria menatap lekat wanita, seolah-olah ingin menerkam si wanita dengan tanganya yang “lihai” meninju. Percakapan berlangsung lagi, lama, dan kemudian terjadi lagi tindakan sangat tidak manusiawi itu.

Aku mengalihkan pandangan ke arah bangku sekitar wanita malang tersebut. Acuh, rata-rata dari mereka mengabaikan kejadian mirip sinetron itu. Ada yang asik menonton tv yang tayanganya sudah diulang puluhan kali, ada yang melihat pemandangan luar jendela, namun ada juga yang tampak iba, seorang ibu yang menina-bobokan balitanya berlagak berdiri dan sesekali melihat lakon jahanam itu. Seorang ibu yang tersenyum kecut padaku tadi, yang mendadak pindah tempat duduk di baris sebelah bangku ku, mencoba terpejam dengan earphone tetap terpasang di telinganya. Itu..itu ternyata alasanya. Kalau si ibu tetap bertahan duduk di belakang pasangan “panas” itu, yang ada beliau roboh karena menyaksikan live hell performance tepat didepan matanya.

Berdiri, berbalik arah menuju tempat duduk pasangan tersebut, mengeluarkan sisa-sisa keberanian untuk berkata “Stop! Anda sedang memukuli manusia, tepatnya wanita”. Aku? Nol! Mereka? Nol! Siperempuan malang? Nol! Petugas keamanan yang per sekian menit bolak-balik untuk sekedar mengecek keadaan? Nol! Lalu siapa?
Lapor komnas perempuan? Lama di birokrasi. lapor polisi? Lapor siapa lagi?
Kita semua, di gerbong 7, cuma.... DIAM!

Terlebih wanita itu, mengapa ia tidak melawan, untuk sekedar memberontak atau teriak minta tolong, memberi kode “plisss.. tolong saya” ke orang-orang sekitar, atau pergi dari tempatnya. Wanita itu terkesan pasrah, padahal banyak opsi yang bisa ia lakukan. Ini tempat umum tante, akan beda cerita jika kejadiannya di tempat privat sehingga akses pertolongan susah datang.
Mungkin kalau si perempuan malang “berharap” ditolong, banyak yang mau menolong, termasuk saya. Melihat kejadian seperti itu, manusia mana yang rasa manusiawinya tidak muncul? Namun kenyataanya bilang lain, kepasrahan si wanita membuat orang-orang yang ingin menolong malah membatin “aduh mbak, ko diem aja sihh? Ayo teriak dong, saya nggak punya alasan untuk menolong si mbak kalo dari mbak nya sendiri terkesan ‘menikmati’ perlakuan manusia laki-laki itu.”

Kalau mau berfikir objektif, taruhlah, si wanita itu ternyata berselingkuh dan ketauan si manusia laki-laki nya. Si laki-laki tersebut kecewa, dan untuk melampiaskan rasa marahnya, si laki-laki (harusnya tidak) memukul, meninju, menjambak, memelintir wanita tersebut. Singkatnya, apapun kesalahan, masalah, pemicu masalah, sumber masalah, tidak menjadikan tindakan kekerasan terhadap wanita sebagai jalan keluar. Apa dengan memukul dan menjambak, si wanita akan mengaku? (itu juga kalau si wanita berselingkuh), apa dengan meninju dan meludahi, si wanita akan minta maaf? (itu juga kalau si wanita bersalah), apa dengan menampar dan memaki, si wanita akan sadar? (itu juga kalau si wanita nggak sadar), atau jangan-jangan perlakuan tidak manusiawi itu sebagai ajang jago-jago para lelaki atas kodrat mereka sebagai imam (itu juga kalau mereka sudah resmi menikah, kan?), aktualisasi diri para laki-laki dari pikiran skeptis mereka bahwa si wanita itu harusnya dibawah dan mengalah, wujud kebingungan mereka untuk memperlakukan wanita yang bersalah?, atau jangan-jangan mereka memang atlet : tinju rumah tangga, tarik tambang rambut, lempar lembing piring, dan smack down,  ahli tata rias : dengan penambahan rona merah pada pipi dan eye shadow biru di sekitar kelopak mata, bahkan aktor “teromantis” : biasanya mereka (laki-laki) akan menjadi seorang yang sangat manis setelah perlakuan kasar mereka. Memberi bunga atau coklat, menciumi luka-luka (yang besoknya dibuat lagi), berlutut dan bersimpuh sampai menyium kaki si wanita. Dan si wanita... LULUH!

Sekitar pukul 2.30..
Aku mulai terkantuk-kantuk, pacar sibuk kerja dan imbasnya untuk sekedar sms-an saja nggak bisa sering-sering, ibu ku tertidur pulas disamping-ku, dari mataku yang kriyep-kriyep nggak puguh (jelas *red) ini, aku melihat pasangan tadi beranjak dari tempat duduknya dan pindah gerbong. Astaga, penyiksaan sesi 2, batinku. Ya Tuhan, apa si pria mau menghujani tinjuanya lagi di gerbong lain sekarang, dikamar mandi barangkali? Maaf tante tanpa nama, aku cuma bisa bantu doa dari sini. Maaf. Dan semua pun gelap .....

------------------------------
Aku mendapat bunga hari ini, meski hari ini bukan hari istimewa dan hari ulang tahun ku. Semalam untuk pertama kalinya kami bertengkar dan ia melontarkan kata-kata menyakitkan. Aku tahu ia (menyesalinya) karena hari ini ia mengirimi aku bunga.

Aku mendapat bunga lagi hari ini, padahal hari ini bukanlah ulang tahun perkawinan kami atau hari istimewa lain. Semalam ia menghempaskan aku ke dinding dan mulai mencekikku. Aku bangun dengan memar dan rasa sakit di seluruh tubuhku. Aku tahu ia (menyesali) perbuatanya karena ia mengirim bunga padaku hari ini

Aku kembali mendapat bunga hari ini, padahal hari ini bukan hari ibu atau hari istimewa lainnya. Semalam ia memukuli aku lagi, lebih keras dibanding waktu-waktu lalu. Aku takut padanya namun aku takut meninggalkanya. Aku tidak punya uang, lalu bagaimana aku menghidupi anak-anakku? Namun aku tahu ia (meyesali) perbuatanya semalam, karena hari ini ia kembali mengirimi aku bunga.

Ada bunga untuku hari ini. Hari ini adalah hari istimewa :  inilah hari pemakamanku.  Ia menganiaya ku sampai mati tadi malam. Andai saja aku punya sedikit kekuatan dan keberanian untuk meninggalkanya, aku tidak akan mendapat kan bunga lagi hari ini...
 ------------------------------
..... pukul 4.30 sore, kereta tiba di Jakarta, aku memutuskan untuk turun di Stasiun Jatinegara ketimbang Gambir, simple, jarak yang lebih dekat dari rumahku di Bekasi. Mendapati pasangan "panas" tadi yang sudah kembali ke tempat duduknya entah dari kapan, aku merasakan ada sesuatu yang janggal. Mereka tampak mesra, sangat mesra malah. Sesekali aku mendengar tawa dari bibir keduanya. Mereka bercanda, seolah-olah lupa dengan scene dramatis yang mereka lakukan tadi. Dan akhir dari cerita gerbong 7 ini, aku bertemu mata dengan tante tanpa nama tersebut : semua seolah tidak pernah terjadi.