Wednesday, November 7, 2012

Batu Karas

Kamis. Tanpa jadwal kuliah, dengan jadwal mengajar. Tahun kedua pada keduanya. Kegiatan belajar (tanpa tugas yang heboh) dan mengajar (tanpa mahasiswa yang males) selalu menyenangkan. Menyenangkan karena keduanya dijalankan pada satu waktu, bisa menyerap dan transfer ilmu sekaligus.


Baik, ini Kamis pagi. Jadwal mengajar matakuliah pertama di 07.45 dan kedua di 10.00. Hari karir yang sekaligus hobi ini berakhir pada pukul 12.15. Jumat, Sabtu, dan Minggu, saya libur. Inilah untungnya jadi mahasiswa tingkat 2 di semester 3, saya bebas memilih (hanya) 1 matakuliah pilihan dan 1 matakuliah wajib, yakni proposal thesis. Secara otomatis, saya “hidup diluar rumah” hanya Selasa (untuk kuliah) dan Kamis (untuk mengajar), terkadang Senin, Itupun kalau mood lagi bagus untuk “duduk-cantik-sembari-ngetik-di-perpus-kampus.” Maklum, Mr. Proposal meronta-ronta untuk selalu di jamah.

Kamis. Siang. Selepas Dzuhur, kawasan Rawamangun-Dewi Sartika-Kelapa Gading-Pasar Pagi (Mangga Dua)-Kelapa Gading serba semrawut. Memang sih, nggak ada hubunganya dengan Pilgub Jakarta yang held beberapa hari lalu (15 Oktober 2012), tapi kemacetan (dimana-mana) ini sampai membuat saya menulis: Jokowiiiiiiiiii ! di status BBM. Berharap teleport via media komunikasi ini ampuh membuat Pak Gubernur baru prihatin (dan semestinya bertindak langsung atas keprihatinan) ihwal kemacetan Jakarta. Sodara-ku sekalian, bagaimana bisa Mangga Dua-Kelapa Gading ditempuh dengan waktu, ehm, 3 jam? Yang kalau di translasi dengan hitungan jarak, dengan 3 jam itu kami bisa ke Bandung terus “jalan-jalan riang” di seputaran Dago? Hemm.

Astagaa, Bandung. Kenapa nggak ke Bandung saja sekalian. Dan kami pun bersepakat bahwa Bandung menjadi tujuan malam ini. Sekarang sudah Kamis dan malam. Harus pulang dulu ke rumah untuk packing, judulnya juga dadakan, kan. Dalam perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba sebuah nama tempat wisata muncul. Dan Bandung pun, kami lewatkan ...

Let's start by saying what this place is not. This is not a Bali, not a Singapore, not a “hingar bingar” places that you want to. Disini tenang, coba deh merem sebentarr aja.. bau-bauan khas pantai masuk seenaknya ke paru-paru kita yang “kotor” dengan asap ibu kota yang “supeeeer” sekali. Angin sepoi-sepoi, perahu nelayan yang merapat disepanjang bibir pantai, jalan setapak yang lenggang, jejeran papan surfing, satu-dua bule berbikini (pada bulan-bulan tertentu, wisatawan mancanegara sangat ramai mengunjungi tempat ini untuk surfing), dan yang terpenting, atmosfir serta matahari pantai ini begitu menarik minat saya untuk kembali lagi, dan lagi, dan (selalu) lagi.

Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 24.00, meluncur mulus di sepanjang Tol Cipularang dengan beristirahat sejenak di pemberhentian. Tidak lama, perjalanan dilanjutkan hingga daerah Cileunyi, saya sih menyebutnya gerbang menuju wilayah wisata Bumi Parahyangan seperti Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan lain sebagainya. Cileunyi juga laksana “gerbang masuk” peradaban perkuliahan di Jatinangor 2 tahun silam, hihihi. Di Pom Bensin wilayah Rancaekek pukul 02.00 dini hari, kami benar-benar harus mengistirahatkan diri karena seharian ini belum “geletakan” di tempat tidur. Pukul 05.30 terbangun, dan segera beranjak karena ‘nggak mau kesiangan sampai Pantai Batu Karas. Dengan mengikuti rute standar perjalanan ke Batu Karas (yang mau nggak mau harus lewat pantai Pangandaran-atau mungkin ada alternatif jalur lain yang saya belum tahu), yakni : Rancaekek, Cicalengka, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, kemudian Pangandaran. Perjalanan dilanjutkan melalui wilayah Parigi, Cijulang, dan akhirnya Batu Karas. Dari rute tersebut, banyak sekali wisata pantai maupun wisata alam yang sebenarnya kami lewati, Pantai Karang Nini- Desa Emplak, Kecamatan Kalipucang (di depan pintu masuk pantai ini, kami sempat menepi sekitar 5 menit hanya untuk memutuskan masuk atau tidak, dan jawaban nya: tidak, karena sudah “haus” akan Batu Karas, hihihi); Pantai Pangandaran; Pantai Batu Hiu-Desa Ciliang, Kecamatan Parigi (walau hanya plang jalan-nya saja yang kami lewati); Pemandian Alam Citumang-Desa Bojong, Kecamatan Parigi; dan Cukang Taneuh (Green Canyon). Oh iya, saat melewati objek wisata Green Canyon di wilayah Cijulang, kami menyempatkan diri untuk mencari informasi mengenai kegiatan body rafting. Sayangnya, dua hari lalu hujan, air berubah keruh, dan guide pun ‘nggak menjanjikan kami untuk body rafting sejauh rute biasanya. Kecewa, tapi masih berharap besok (Sabtu) air sudah hijauuu kembali. Sekedar informasi, memang jadi pe-er banget ketika memasuki wilayah Cijulang apalagi kalau kendaraan Anda sejenis sedan dan apapun itu yang sifatnya ceper. Jalanan di wilayah ini rusak berat, berani jamin kalau hujan, cekungan tanah yang ‘dalem’ ini pasti akan tergenang air yang berubah kecoklatan karena tanah. Pokoknya, kami spent lebih banyak waktu diwilayah ini hanya untuk berhati-hati biar nggak merusak kendaraan (coba jalanan ini ‘mulus,’ kami bisa memangkas waktu lima belas menit hingga setengah jam lebih cepat). Selepas Green Canyon, (untuk sampai Desa Batu Karas) kemudikan kendaraan ke arah kiri pada persimpangan jalan dan ikuti jalan setapak (tapaknya roda empat, bukan manusia, hehehe).  Udara disini cukup sejuk mengingat ini awal musim hujan, apalagi pohon kelapa yang menjulang namun landai membuat “suasana khas pantai” bagaikan didepan mata. Sebelah kiri jalan Anda sudah tentu aliran sungai Cijulang dan sisi kanan adalah hamparan sawah yang hijau. Di daerah ini, saya lantas gantian mengemudi hingga pintu masuk Pantai.. Batu Karas!!!  Finally, Gusti Alloh, hihihi

Masih ingat dong video clip-nya Ello (Masih Ada)? yang visualisasinya menggambarkan dirinya di sebuah pantai, berpasir kehitaman, terdapat banyak karang disisi-an tebing, memainkan gitar, bergelayut santai di ayunan tali plastik, bermain jet-ski di sungai, dan menaiki perahu kayak? Ya, lokasinya disini, dipantai Batu Karas ini.
Baik, yang pertama kami lakukan adalah menuju penginapan River Sider. (Kabin kami) permalamnya dikenakan biaya Rp. 500.000/kamar. Harga segitu sepertinya flat untuk semua musim, deh. Mau weekdays, weekend bahkan Peak Season (yang ini masih dalam tahap kecurigaan, huhuhu). Yang unik dari penginapan ini adalah kamar dibuat per kabin (wood cabin). Kabin-kabin tersebut diletakkan persis di depan aliran sungai Cijulang. Jadi, pemandangan depan kamar Anda ialah: sungai. Ada berbagai jenis kamar di penginapan ini, yang kesemuanya dinamai dengan nama-nama sungai (baik sungai di Indonesia maupun dunia). Dari reception, untuk kabin yang kamar mandinya di dalam, Anda akan diarahkan ke arah kanan lobby (sebut saja begitu), namun untuk kabin dengan kamar mandi di luar, Anda akan diarahkan ke kiri. Harga untuk satu kabin dengan kamar mandi diluar adalah Rp. 350.000/malam. Tapi tenang saja, keduanya sama-sama ‘berbalkon-kan’ hamparan sungai yang memanjang indah kok. Selain konsep kabin, penginapan ini juga meneyediakan kamar dengan konsep hotel seperti biasanya. Bedanya, view yang didapat tidak lagi sungai namun kolam renang (yang ‘nggak tau bisa digunakan atau tidak), dan untuk harganya sendiri sepertinya Rp. 500.000 juga namun dengan AC (berbeda dengan kabin).

Hmm.. Sepi sekali disini, tenang, daaan nyaman. Cocok banget untuk escape sejenak dari rutinitas kerja-kuliah yang (terkadang) bikin kusut. Memang sih, air sungainya (sedang) tidak se-hijau kata orang. Airnya keruh kecoklatan (macam kali ciliwung tanpa sampah-untuk memudahkan Anda berkhayal) karena hujan dan banjir kiriman kemarin lusa. Di kabin kami pun nggak tersedia AC, yah, what you expect deh yah, televisi pun nggak include disini. Tapi yang seperti ini yang bikin pengalaman seru, dimana tidur di kabin kayu, dengan kelambu, tanpa televisi dan hanya kipas angin, menghadap sungai.. serta kamar mandi yang terbuka meskipun berada didalam kabin. Saking nyaman nya, selepas makan siang yang kesorean di seputaran pantai Batu Karas yang ramai, kami tertidur hingga subuh keesokan harinya. 
pemandangan sungai dari tempat tidur berkelambu

pemandangan samping dan belakang kabin (lewat jendela mini)
asbak imut di depan pintu kamar
sungai Cijulang yang sedang keruh


Sabtu. Pagi. Hujan deras turun semalaman. Tidur pun semakin nyenyak sampai-sampai saat bangun lupa sedang bermukim dimana, heuheu. Akibat derasnya hujan, debit air sungai didepan kami pun meningkat, huh, apa kabarnya kalau gini sama Green Canyon dan rencana body rafting ? Gagal total, jawabanya. Antisipasinya, sekarang ini kami memutuskan untuk main air di seputaran pantai Batu Karas saja. Tidak lama berselang, sarapan pun diantar ke kamar. Porsian nasi goreng dan teh hangat, cukup lah menghangatkan hati yang sedikit kecewa ini (berlebih, deh).
Sarapan di depan sungai

Setelah sarapan dan sengaja nggak mandi, kami cus ke “pantai ramai” (saya menyebut beberapa wilayah pantai di Batu Karas ini sebagai “pantai ramai” dan “pantai perahu” *red). Heran, hampir seluruh wisatawan lebih suka menyambangi “pantai ramai” ketimbang “pantai perahu” (sekali lagi, pantai ramai dan pantai perahu hanya sebutan penulis, jangan pernah tanya perihal pantai perahu atau pantai ramai pada penduduk sekitar, mereka pasti akan bengong nggak puguh, hihihi). Mungkin seperti ini ilustrasi nya, pantai di Batu Karas dipisahkan oleh tebing, nah.. bagian ujung (sebelah kanan) inilah yang saya maksud dengan si-"pantai ramai" tersebut. Apalagi sekarang, setelah dua tahun lalu saya ke Pantai Batu Karas, “pantai ramai” semakin eksis dengan bermunculannya objek komersialisasi. Dulu, dua jempol saya buat pemandangan landainya pantai tanpa hiruk pikuk wisatawan yang bermain water sport. Nggak ada tuh jeritan pengunjung yang bermain entah itu Ufo Crazy, Banana Boat, Donnat Crazy, serta Parasailing. Penjaja makanan pun nggak se-banyak ini pemirsa. Bayangkan, abang cilok, abang bakso, abang tahu gejrot, serta bermacam abang-abang-an hilir mudik dipantai ini, yah ada sih yang memilih stay saat menjual makanan mereka, tapi tetap saja, kondisinya menjadi semakin semrawut. Jejeran penyewa papan surfing pun merajai bibir pantai, demikian pula dengan sewa-sewa perlengkapan air lainnya (ban berenang, body board, tikar, dsb). Memang sih, disetiap objek wisata selalu menjadi ladang rezeki bagi para pencarinya, namun apabila terdapat pengelolaan yang lebih baik, bukankah ladang tersebut akan semakin luas mengingat jumlah wisatawan yang semakin banyak dan melestari?

Selain hal-hal tadi, asumsi saya tentang mengapa lebih banyak wisatawan yang mengunjungi “pantai ramai” ketimbang “pantai perahu,” mungkin didasari hal berikut : di “pantai ramai,” sarana parkir cukup memadai, adanya jejeran rumah makan menjadi fasilitas pendukung bagi para wisatawan, MCK yang mudah ditemui, beberapa kios yang menjual souvenir serta pernak-pernik khas pantai, serta lokasinya dekat dengan beberapa penginapan yang namanya sering sodara-sodari jumpai di pelbagai blog. Selain itu, karang-karang yang menujulang indah juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang hendak surfing maupun ajang aktualisasi diri lewat bidikan kamera. Sedangkan di “pantai perahu,” meskipun jarak pandang laut lepas lebih luas, pasir pantainya pun lebih bersih dan tidak sehitam “tetangganya,” namun menjadi “rumah” bagi perahu-perahu nelayan yang mencari peruntungan di ujung selatan laut Jawa Barat ini. Jadi, aktifitas bermain air kita akan terhalang oleh puluhan perahu yang bermarkas di hampir sepanjang bibir pantai.

Saya menyewa body board setelah sebelumnya ikut-ikutan mencicipi wahana air di pantai ini. Karena kejadian kurang mengenakkan hati juga fisik, permainan pun berhenti pada jajalan Ufo Crazy saja. Ahh seru sekali bermain body board. Ombak cukup besar untuk membuat badan kita terhempas laksana surfing tanpa adegan berdiri di papan. Paparan matahari jam 12-teng juga sukses membuat badan saya makiiinn eksotis (baca: cokelat legam). Dan pokoknya, kalau kesini lagi saya harus ikut surfing lesson. Mengingat harga yang ditawarkan “Jabrik” cukup menjanjikan. Oh iya, Jabrik itu surfer kenalan kami yang menyewakan jasanya untuk mengajar surfing. A private surfing class. Yah nggak hanya surfing sih yang dia tawarkan, tapi juga hil-hil lainnya. Puas bermain ombak dan sun-bathing, kami kembali ke River Sider untuk check-out. Oh iya, sebelum ke pantai tadi, saya make deal di penginapan Hi and Low yang jaraknya lebih dekat dengan pantai. Berikut review penginapan kami selanjutnya.


Kamar no. 4 - saluran televisi tidak berfungsi dengan baik di kamar ini


AC, televisi kecil, dan dvd player sebagai "pemanis" ruangan


Kamar mandi yang minimalis


Kamar sebelah (tampak luar)


Kamar sebelahnya lagi


Suasana depan kamar yang sejuk


Dapur yang disinyalir tidak bisa digunakan, hehehe


Akhirnya pindah ke kamar no.3


Penginapan Hi and Low hanya terdiri dari dua tipe kamar, 1 buah kamar tipe Family (dengan ruang tamu dan dapur pribadi) dan 4 buah kamar tipe standar. Disayangkan, papan penunjuk hotel ini tidak ada, padahal kamar-kamar disini bersih dan cukup nyaman untuk ditinggali. Kenapa kami bisa “terdampar” di tempat ini pun karena rekomendasi Aa penginapan lainnya yang kebetulan sudah penuh. Harga permalam penginapan ini Rp. 350.000/kamar with no breakfast. Tapi sekali lagi tenang sodara-sodari, Anda tidak akan susah menemukan tempat makan diseputaran Batu Karas. Namun jangan tanya keberadaan ATM dan Pom Bensin yah. Persiapkan uang cash dan pastikan kendaraan Anda berbensin cukup, karena di Batu Karas kedua fasilitas tersebut nihil adanya.

Puas berjemur dan bermain air, gerobakan mie ayam yang mangkal di sekitar “pantai perahu” menjadi sasaran saya. Selayaknya mie ayam di Jakarta, sih, yang bikin beda jelasss atmosfer nya. Kapan lagi mengunyah mie ayam dengan panorama laut lepas dan jejeran perahu nelayan yang mempercantik long term memory Anda? Setelahnya, kami kembali ke penginapan (Hi and Low), istirahat sejenak sembari menunggu sore, karena Pantai Pangandaran menjadi tujuan kami berikutnya.

Rencananya sih mau menikmati sunset di Pantai Pangandaran. Kalau mau jujur, saya pribadi belum pernah ke Pantai Pangandaran meskipun sudah empat kali ke Pantai Batu Karas. Semacam transit place saja, deh dan itulah yang bikin nyesel berkepanjangan. Jam lima lebih sepuluh menit kami beranjak meninggalkan Batu Karas menuju Pangandaran. Inget dong tentang jalanan rusak yang selalu memperlambat laju kami? Yaaahh si “momok” itu harus kita hadapi lagi, dan baiklah, kami tiba di Pangandaran pukul 6 sore lebih, dimana matahari bener-bener sudah hilang. Kami merapatkan kendaraan, berjalan menyusur pantai Pangandaran, membeli pernak-pernik, sementara kudapan seafood serta jagung bakar menjadi pemungkas malam indah kami di Pangandaran. Kembali ke Hi and Low, dan tidur.

Minggu. Siang. Jam sebelas teng, kami beranjak pulang. Nggak mau kemalaman sampai rumah lantaran besok sudah hari Senin (terus kenapa? Hehe). Green Canyon...lewat, Batu Hiu... lewat, Pangandaran...lewat, Karang Nini... lewat, ahhh sampai kapan semua ini harus kami lewati begitu saja, Alfonso !! (hihihi). Nah, pengalaman lewat-melewati itulah yang akan membuat kami, suatu hari, haruuus, kesini lagi. Perjalanan Batu Karas-Cileunyi ditempuh 6 jam (sempat berhenti makan siang selama setengah jam), dan Cileunyi-rumah dipangkas hanya 2 jam saja. Ini trip ter-ngebut yang pernah saya lakukan. 

Oh ya, selama 3 kali ke Batu Karas kemarin-kemarin,  saya pernah jajal penginapan Java Cove dan Pondok Teratai.. untuk kelengkapan akomodasi dan foto kamar, bisa langsung cek di website nya, yaa..

Salam pantaiii....


No comments:

Post a Comment

budayakan komentar yang berbudaya