Saturday, November 10, 2012

Pornomedia : Konstruksi Sosial dan Kepentingan Kapitalis

(Oleh : Prof. Dr. Burhan Bungin Msi, dalam PORNOMEDIA Konstruksi Sosial Teknologi Telematika & Perayaan Seks di Media Massa)

Media massa memiliki kekuatan yang sangat dahsyat untuk mengkonstruksi sebuah agenda setting yang oleh Mc Combs dan DL Shaw (1972) utarakan apabila media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting, kendati khalayak bukan ‘kotak kosong’, dalam arti khalayak dapat merespon sebuah agenda yang dibuat oleh media massa, namun pada kenyataanya  bahwa media mampu mengkonstruksi lebih banyak khalayak untuk percaya pada berita yang disiarkan media.
Kekuatan-kekuatan konstruksi sosial media massa terhadap khalayak, sampai pada media mampu menciptakan sebuah realitas sosial[1] yang oleh banyak ahli dinamakan realitas maya, serta mampu menghidupkan khalayak pada sebuah realitas yang dibangun berdasarkan kesadaran palsu (pseudo-reality). Jadi kekuatan konstruksi sosial media massa mampu melumpuhkan daya kritis khalayak, kemudian lebih banyak khalayak percaya bahwa media massa menjadi sumber otoritas. Jadi persoalannya adalah ketika kemampuan media massa itu digunakan untuk mengkonstruksi erotisme, maka sudah dapat dibayangkan bahwa kekuatan konstruksi sosial media massa akan mampu membangun kesadaran palsu khalayak bahwa erotisme adalah sebuah kebenaran. Padahal sebenarnya dibalik kesadaran palsu itu, kemampuan media dengan berbagai kelebihan teknologi media dan bahkan trik-trik kamera, telah menipu banyak masyarakat untuk mempercayai kebenaran erotisme yangdisajikan tersebut.
Kendati demikian, memberi penyadaran kepada masyarakat tentang bias media tersebut di atas, menjadi pekerjaan yang tak mungkin dilakukan, karena lepas dari kebohongan-kebohongan itu, khalayak telah percaya bahwa erotisme media mengandung lebih banyak kebenaran, artinya ada objek-objek erotis tersebut yang mengandung kebenaran, sedangkan media merupakan alat memoles erotisme itu menjadi lebih indah, memiliki taste dan lebih berkesan. Karena itu layak jika erotisme media menjadi hiburan, penyalur libido, pelampiasan kebiasaan buruk, sampai pada hal-hal yang baik, yaitu pelepasan terhadap akses-akses buruk dari kekerasan seksual dimasyarakat. Maka jadilah pornomedia sebagai wacana perdebatan yang sampai saat ini lebih banyak belum banyak terjawab.
Sejalan dengan perdebatan mengenai pornomedia saat ini, berkembang tiga anggapan dimasyarakat. Pertama menilai tayangan pornomedia tidak memberikan inspirasi pada penontonya untuk melakukan hubungan seks, namun justru cenderung memperkuat keinginan didalam hati seseorang yang memang berniat melakukan hubungan seks. Kedua, beranggapan bahwa pornomedia itu hanya berfungsi sebagai khatarsis (penyalur emosi), artinya bahwa apabila ada dorongan seksual dalam diri seseorang, begitu melihat tayangan pornomedia (juga mendengar juga membaca) di televisi atau film, maka akan tersalurkan keinginannya itu. Ketiga, beranggapan bahwa pornomedia di televisi dan film sama sekali tidak berpengaruh buruk. Artinya, banyak kasus menunjukan bahwa pemirsa tidak meniru atau terpengaruh begitu saja terhadap tayangan-tayangan porno tersebut, akan tetapi peran lingkungan keluarga, latar belakang pendidikan dan agama sangat mempengaruhi seseorang. Sedangkan pornomedia yang ditonton ditelevisi, film, dan media lainnya itu, hanya mempengaruhi mereka yang memiliki niat buruk dalam hatinya. Keempat, masyarakat menilai pornomedia mengeksploitasi perempuan, eksploitasi seksualitas untuk kepentingan kapitalis dengan mengorbankan moral masyarakat. Berdasarkan anggapan pertama diatas, maka media massa baik elektronika maupun cetak sering dituduh sebagai media yang efektif mendorong perubahan sikap seks di masyarakat. Yaitu semula masyarakat taat pada norma-norma perkawinan, kemudian secara bervariasi mulai meninggalkan norma tersebut.


[1] Realitas sosial yang dimaksud oleh Peter L. Beger dan Thomas Luckman ini terdiri dari realitas obyektif, realitas simbolik dan realitas subyektif. Realitas obyektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subyektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi (Subiakto, 1997: 93).

Jika konstruksi sosial adalah konsep, kesadaran umum dan wacana publik, maka menurut Gramsci, negara melalui alat pemaksa, seperti birokrasi, administrasi maupun militer  ataupun melalui supermasi terhadap masyarakat dengan mendominasi kepemimpinan moral dan intelektual secara kontekstual (Sugiono, 1999: 31). Kondisi dominasi ini kemudian berkembang menjadi hagemoni kesadaran individu pada setiap warga masyarakat. Sehingga wacana yang diciptakan oleh negara akhirnya dapat diterima oleh masyarakat sebagai akibat dari hagemoni itu. Sebagaimana dijelaskan oleh nugroho (1999: 124), bahwa menurut Marcuse (1964), realitas penerimaan wacana yang diciptakan oleh negara itu disebut ‘desublimasi represif’. Orang merasa puas dengan wacana yang diciptakan oleh negara walaupun implikasi dan wacana itu menindas intelektual dan kultural masyarakat. 


daftar pustaka :
 
Bungin, Burhan. 2003. Pornomedia, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika & Perayaan Seks di Media Massa. Jakarta: Prenada Media.


No comments:

Post a Comment

budayakan komentar yang berbudaya