Saturday, November 10, 2012

PORNOGRAFI ANAK DI INDONESIA

(Pembahasan tulisan Odi Shalahuddin “Seputar Pornografi Anak” yang dimuat online pada 28 Maret 2012 –sebagai pengantar diskusi dalam acara Diskusi Publik “Remaja, Media dan Pornografi” yang berlangsung di PSKK tanggal 27 Maret 2012– Yogyakarta,
dan dilengkapi dengan sumber-sumber lain).

ilustrasi topik


ilustrasi topik


Pembukaan
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) yang diadopsi oleh PBB melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Dengan meratifikasi, berarti Indonesia telah mengikatkan diri secara yuridis dan politis untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalam KHA. Sebagai salah satu instrument Hak Asasi Manusia (HAM), ketentuan-ketentuan yang terkandung pada KHA disebut juga sebagai standar minimal. Negara yang meratifikasi, “setidak-tidaknya” harus memenuhi sesuai ketentuan yang ada, dan akan lebih baik bila memberikan standar yang lebih tinggi. Karenanya, salah satu langkah strategis yang harus dilaksanakan adalah menyesuaikan peraturan perundangan terkait agar sesuai dengan standard alam KHA.
Ada berbagai hak yang dijamin dalam KHA. Salah satunya adalah  jaminan perlindungan anak dari pornografi. Ini terumuskan pada pasal 34, yakni: “negara peserta akan melindungi anak dari eksploitasi seksual dan penganiayaan seksual”. Untuk tujuan ini, Pihak Negara khususnya akan mengambil langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral yang tepat untuk mencegah;
a) Paksaan atau bujukan terhadap anak untuk melakukan suatu aktivitas sexual yang melanggar hukum;
b) Eksploitasi penggunaan anak dalam prostitusi atau praktek-praktek seksual yang melanggar hukum lainnya;
c)   Eksploitasi penggunaan anak dalam pertunjukan dan bahan-bahan pornografi.
Pengertian pornografi anak terumuskan pada Protokol Tambahan untuk Konvensi Hak Anak  tentang penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak (Indonesia sudah menandatangani namun belum meratifikasi). Dinyatakan bahwa Pornografi Anak berarti pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau eksplisit atau yang menampilkan bagian tubuh demi tujuan seksual (pasal 2, ayat b). Pornografi anak menjadi salah satu bentuk Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak, yang diidentifikasikan dalam Kongres Dunia Pertama Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak, pada tahun 1996.
Di Indonesia, telah disahkan Undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Pada Ketentuan Umum, pasal 1 ayat 1, pengertian pornografi dirumuskan sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pada undang-undang tersebut, perlindungan anak diatur dalam bab III yang terdiri dari dua pasal, yakni pasal 15 dan 16. Mengacu kepada KHA, instrumen internasional lainnya, dan juga berbagai peraturan perundangan di Indonesia, pengertian dari anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun.

Protokol Dunia
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and child pornography yang telah ditandatangani Indonesia pada 24 September 2001 mendefinisikan pornografi anak sebagai “setiap representasi, dengan sarana apapun, yang melibatkan anak secara eksplisit dalam kegiatan seksual baik secara nyata maupun disimulasikan, atau setiap representasi dari organ-organ seksual anak untuk tujuan seksual”. Protokol Optional Konvensi Hak Anak sesungguhnya telah menegaskan tidak adanya toleransi (zero tolerance) untuk pornografi anak. Mulai dari pembuatan, penyebaran sampai kepemilikan pornografi anak dianggap kejahatan pornografi anak. Secara eksplisit dalam Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Diantaranya adalah pelibatan anak dalam materi pornografi yang juga merupakan salah satu bentuk kerja terburuk anak. Indonesia telah meratifikasi kedua konvensi tersebut sehingga negara memiliki kewajiban untuk melakukan langkah-langkah sistematis untuk memberikan perlindungan terhadap anak melalui pencegahan dan penghapusan pornografi anak.
Pornografi terhadap anak adalah masalah dunia yang harus diperangi semua bangsa. Hal ini tampaknya harus segera mendesak dilakukan karena ancaman itu semakin mengkawatirkan. Saat ini berbagai negara maju selalu berupaya untuk merintangi akses ke situs internet pornografi anak dan menerapkan hukuman lebih keras terhadap para penyalahguna anak dan geng perdagangan manusia. Dalam kaitan dengan pornografi, anak-anak sebenarnya sudah sering menjadi korban orang yang mau enak sendiri sehinga pura-pura tidak bisa membedakan antara seni dan pornogafi. Melalui tayangan iklan, foto-foto yang katanya artistik, tabloid dan majalah dewasa yang dipajang di tempat penjualan koran kaki lima, berbagai acara teve, dan sebagainya.
Ada yang lebih parah lagi, yaitu anak-anak dijadikan model bagi jutaan situs porno. Menurut Masnah Sari dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), dari sekitar 4,2 juta website porno yang beredar di seluruh dunia, sebanyak 100.000 website diantaranya menjadikan anak-anak berusia di bawah 18 tahun sebagai modelnya. Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar diantaranya ditengarai adalah anak-anak Indonesia. Data yang dikutip Masnah tersebut merupakan hasil survey di tahun 2006 yang diselenggarakan oleh To Ten Review. Gambar-gambar yang ditampilkan dalam website dengan model anak-anak itu, tidak hanya mempertontonkan sosok anak-anak dalam keadaan telanjang, tetapi sejumlah gambar di antaranya menyuguhkan adegan hubungan seksual antara orang dewasa dengan anak-anak (paedofilia).
Pornografi anak bukan sekedar tentang kebebasan berekspresi. Itu kejahatan. Pornografi anak berarti citra anak menderita penyalahgunaan seks. Melihat pornografi anak di intenet menyebabkan lebih banyak anak diperkosa hingga menimbulkan citra itu. Berbagai pihak harus mengucapkan kata perang terhadap pornografi anak, termasuk menyesuaikan penuntutan penyalahgunaan anak dan perdagangan manusia, serta hukuman lebih keras pada para pelanggar pertama kali dan berulang kali.

Gambaran Umum Pornografi Anak di Indonesia
Dalam industri pornografi, anak menjadi objek seksualitas yang dijual secara online dalam bentuk video, gambar, serta dalam bentuk fisik berupa penjualan anak itu sendiri. Bukan hanya itu saja, karena kurangnya kontrol sosial dari lingkungan, akhirnya mengakibatkan anak menjadi konsumen konten-konten pornografi yang ditawarkan di berbagai media elektronik online. Pada bulan Maret 2012 lalu, sebuah situs berita online (pesatnews.com) memuat kajian mengenai pornografi anak di Indonesia. Dalam artikel tersebut dinyatakan:
“Survei yang dilakukan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia menyimpulkan 68 persen murid Sekolah Dasar (SD) pernah mengakses situs porno. Dunia sudah mengakui bahwa Indonesia menduduki rating tertinggi sebagai pengakses situs porno. Bahkan Indonesia menduduki ranking dua dunia sebagai surganya pornografi. Kini ada fakta miris yang menyimpulkan, lebih dari separuh siswa SD kelas 4,5,dan 6 di Indonesia menyukai pornografi. Kesimpulan itu diungkapkan dalam sebuah seminar bertema ‘Online Child Phornography” yang diselenggarakan oleh Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia beberapa waktu lalu.”

Prornografi anak, bagaimana pun, tentu diawali dengan adanya bahan-bahan dan berbagai informasi mengenai pornografi yang bisa di akses oleh anak-anak. Seperti yang dinyatakan Ibrahim (2011:284):
“Cara belajar anak-anak pertama adalah dengan meniru. Bukankah para ahli mengatakan bahwa anak-anak mendapatkan 90 persen perilaku dan nilai mereka dari kita. “What they see is what they do,” demikian kata psikolog perkembangan anak.”

Masuknya bahan dan akses pornografi ini telah meliputi waktu yang panjang dan tidak terjadi begitu saja dalam waktu singkat. Bahan pornografi di Indonesia diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad 17, dibawa oleh para pedagang Belanda. Pada tahun 1954-1955, film yang menampilkan adegan berciuman dan pakaian seronok menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Pada tahun 1970-1980-an, ketika film berwarna sudah berhasil diproduksi, tercatat beberapa film yang dinilai menjurus pada pornografi. Pada tahun 1990-2000-an, mulai marak tersebar bahan-bahan pornografi dalam berbagai jenisnya (hal ini bisa dilihat pada wikipedia – pornografi di Indonesia). Pada tahun 1980-an, generasi pada masa itu (pelajar SMP dan SMA) tentu tidak asing pada video-video porno produksi luar, novel-novel Nick Carter atau novel-novel stensilan karya Enny Errow dan Valentino atau majalah-majalah orang dewasa seperti Playboy, Penthouse. Pada tahun 1984, Indonesia digegerkan oleh beredarnya kalender foto bugil dari enam artis Indonesia.
Pada periode-periode di atas, anak-anak cenderung menjadi konsumen yang menikmati bahan-bahan pornografi secara tersembunyi. Pada tahun 2000, Indonesia dikejutkan oleh kehadiran film porno dengan pelaku orang Indonesia yaitu film Anak Ingusan. Dilanjutkan dengan tersebarnya rekaman adegan mesum pasangan mahasiswa/i dari Bandung yang dikenal dengan nama “Bandung Lautan Asmara”. Sejak periode tersebut hingga saat ini, mulai marak bahan-bahan pornografi dengan model dari Indonesia. Hanya saja, kecenderungannya bukan bahan yang sengaja diproduksi untuk kepentingan komersial, melainkan bocornya bahan yang sering disebut sebagai “dokumentasi pribadi”.
Anak-anak dari kalangan usia sekolah dasar mudah dijerumuskan menjadi objek pornografi atau korban pedofilia. Cukup bermodalkan sejumput permen dan sedikit uang, anak-anak itu sudah bisa digarap. Hal ini banyak terjadi di Bali, Jakarta dan Tangerang. Bahkan, menurut Masnah, kalangan anak-anak tertentu kini dengan mudah menjalankan perilaku seksual layaknya orang dewasa atas kemauan sendiri, dengan menjadikan teman sekolah, teman bermain dan sebagainya sebagai partner seksnya.
Menurut catatan Masnah, pada tahun 2006 didapati seorang murid kelas enam SD hamil akibat diperkosa kerabatnya sendiri yang seumuran. Di tempat lain, tiga remaja di Ambon yang masih berusia di bawah 15 tahun, terpaksa divonis 4-10 bulan penjara karena telah memperkosa anak usia lima tahun. Kejadian tragis itu menurut Masnah, dipicu oleh makin tidak terkontrolnya tayangan, gambar, dan produk-produk pornografi lain yang beredar dan kemudian ditonton oleh anak-anak sejak usia dini.
Di tahun 2009, kualitas pornografi yang berkaitan dengan anak-anak semakin meningkat. Menurut Roy Suryo, pakar telematika, di Indonesia penyebaran video porno anak semakin merebak. Dalam satu pekan, menurut cacatan Roy, terbit empat video porno anak yang paling baru. Fakta itu pernah diungkap Roy ketika menjadi saksi ahli di PN Serang, Banten, untuk memeriksa keabsahan gambar tarian striptease (telanjang) di ponsel yang dilakukan dua gadis SMP asal Kabupaten Lebak dan Cilegon. Keduanya merupakan penari striptease di sebuah tempat hiburan di kota itu. Sekitar Januari 2009, kota Cilegon digegerkan oleh beredarnya video tarian telanjang yang dilakukan dua bar girl sebuah tempat hiburan, yang direkam oleh dua pria dewasa. Kedua pria dewasa itu bisa merekam adegan tari telanjang di atas meja karaoke itu, berkat bantuan seorang germo di tempat hiburan tersebut. Video berdurasi 1 menit 8 detik itu sempat beredar dari ponsel ke ponsel milik sejumlah warga Cilegon, sebelum akhirnya bermuara ke kantor polisi. Dalam tayangan video tersebut, dua anak belasan tahun (usia mereka antara 15-16 tahun), menari telanjang tanpa sehelai benang, di atas meja pada sebuah ruangan. Keduanya menari bugil sambil diiringi alunan nada house music. Menurut informasi, kedua anak belasan itu merupakan warga Pandeglang yang nekad melakukan aksi tarian bugil seperti itu karena dibayar oleh dua orang lelaki tak dikenal yang menjadi pelanggan tempat hiburan tadi. Kejadian itu berlangsung sekitar pertengahan Januari 2009 lalu. Dan kedua penari telanjang tadi dibayar masing-masing sebesar Rp 500 ribu.
Kegegeran demi kegegeran terjadi di Indonesia dengan tersebarnya – terutama – film-film mesum yang melibatkan berbagai kalangan seperti para selebritis, pejabat nasional dan pejabat di tingkat daerah, pegawai negeri, dan juga mahasiswa dan pelajar. Apalagi belakangan ini dunia digital Indonesia diramaikan oleh adanya kasus “Ariel Peterporn” yang merebak bak air bah ke segala pelosok Indonesia. Video porno Ariel sangat mudah didapatkan melalui gadget yang sudah banyak dipunyai anak. Kemajuan teknologi, misalnya penggunaan handphone yang sudah tidak menjadi barang mewah dan dimiliki oleh hampir semua orang, memudahkan proses perekaman. Penyebaran melalui media internet, yang juga menjadi salah satu bagian dari gaya hidup saat ini (termasuk juga bisa diakses oleh handphone), mempercepat dan memperluas penyebaran. “Gerakan Jangan Bugil di Kamera” pada tahun 2010 memberikan pernyataan bahwa selama 10 tahun terakhir sedikitnya terdata 800 film porno yang terungkap di media. Dinyatakan bahwa yang belum terungkap bisa berjumlah ribuan.
Pada periode inilah, bahan-bahan pornografi anak – utamanya yang dilakukan para pelajar – turut tersebar luas. Berdasarkan pengalaman ketika berinteraksi dan berdialog dengan anak-anak yang dilacurkan di berbagai kota, juga mencermati berbagai hasil studi tentang seks bebas, telah terjadi pergeseran nilai tentang seksualitas. Seks bebas dianggap bukan sebagai hal yang “tabu” melainkan menjadi bagian “gaya hidup”. Ini tentu saja membuka ruang yang sangat terbuka bagi hadirnya bahan-bahan pornografi – yang mungkin tidak dilandasi niat komersial, tapi sebagai “keisengan”.
Selain melalaui media underground (penyebaran video porno dari tangan ke tangan, atau handphone ke handphone) dan media online, dalam media mainstream pun anak-anak sudah mulai menjadi objek. Ibrahim (2007:322) mengatakan:
“Penggambaran dunia anak-anak di media, iklan, dan produk budaya hiburan akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan yang drastis. Anak-anak banyak ditampilkan sebagai bintang iklan, tidak hanya untuk produk anak-anak, tetapi juga untuk produk orang dewasa... ... Maka, tak jarang anak-anak diposisikan baik secara terang-terangan maupun secara halus sebagai konsumen atau bahkan sebagai benda, objek konsumsi.”

Objek konsumsi di sini tentu juga termasuk eksploitasi tubuh anak yang semakin lama dinilai sebagai sesuatu yang wajar. 

Perlindungan Hukum bagi Anak di Indonesia
Indonesia telah memiliki Undang-undang tentang Pornografi. Terkait dengan anak, hal ini diatur pada pada pasal 11. Dinyatakan bahwa Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10. Hal ini menyangkut:
-  larangan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi dan larangan menyediakan jasa pornografi (pasal 4),
-      larangan meminjamkan atau mengunduh pornografi (pasal 5),
-  larangan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi (pasal 6),
-   larangan dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi (pasal 8),
-  larangan menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi (pasal 9), dan
-   larangan mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan atau yang bermuatan pornografi lainnya (pasal 10).
Selain itu diatur Bab khusus mengenai Perlindungan Anak pada Bab III mengenai:
-    perlindungan anak dari pengaruh pornografi  dan mencegah akses anak pada pornografi (pasal 15), dan
-     pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban pornografi anak (pasal 16).

Tantangan ke Depan
Meskipun sudah ada Undang-undang Pornografi dan sebagainya, keberanian sejumlah orang menjadikan pornografi dan pornoaksi sebagai komoditas, boleh jadi karena selama ini mereka –para pelaku porografi dan pornoaksi– telah terbiasa berada dalam kondisi yang kondusif untuk menjajakan pornografi dan pornoaksi. Dengan demikian, yang diperlukan adalah sikap konsisten aparat penegak hukum di dalam memerangi pornografi dan pornoaksi, tanpa pandang bulu, siapapun pelakunya harus diproses melalui koridor hukum yang semestinya.
Selain tindakan yang harus dilakukan oleh para penegak hukum, mencegah, tentu merupakan usaha nyata yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat. Langkah pencegahan, tentu harus dilakukan secara terus menerus tanpa henti dengan melibatkan berbagai pihak yang bersentuhan langsung dengan anak setiap harinya. Diantaranya, orangtua/keluarga, sekolah, dan komunitas, serta penyebaran secara luas melalui media yang tersedia (radio, televisi, jejaring sosial, dan situs-situs). Hal ini tentu saja dengan mencermati tantangan-tantangan yang dihadapi, diantaranya:
-     Terjadinya pergeseran pandangan atau nilai-nilai tentang seksualitas yang lebih longgar di kalangan anak/pelajar menjadi tantangan tersendiri yang harus ditangani.
-     Kepemilikan dan penggunaan alat komunikasi seperti handphone dan akses internet yang memudahkan untuk mendapatkan dan menyebarluaskan bahan-bahan pornografi. Untuk hal ini, dimungkinkan-kah  adanya pembatasan fasilitas dari handphone yang dimiliki oleh anak-anak? Efektifkah pembatasan akses ke situs-situs porno?
-    Sikap pro-aktif dari para aparat penegak hukum, tapi dengan mengedepankan kepentingan anak dengan menempatkan anak-anak sebagia korban, bukan sebagai pelaku kejahatan.

 
Sumber On-line :

No comments:

Post a Comment

budayakan komentar yang berbudaya