Saturday, November 10, 2012

Etika Komunikasi dan Masalah Pornografi

(Oleh : Dr. Haryatmoko, dalam Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi)

Pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi eksplisit (gambar, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik (R. Ogien, 2003: 31, 47). Mesum, cabul atau tidak senonoh dipahami sebagai sesuatu yang melukai dengan sengaja rasa malu atau rasa susila dengan membangkitkan representasi seksualitas. Bisa saja penilaian ini dituduh bersifat subjektif karena mengacu pada situasi mental atau afektif seseorang. Akan tetapi, ukuran tidak hanya berhenti pada subjektivitas semacam itu, karya yang ‘mesum, cabul, atau tidak senonoh’ itu didasarkan pula oleh komunitas setempat atau oleh setiap  orang yang sehat akal. Definisi tersebut akan lebih meyakinkan lagi bila karya itu tidak mengandung nilai seni, sastra, ilmiah, atau politik.
Definisi diatas agak dipertanyakan bila sudah menyangkut masalah representasi mental (kepercayaan, impian, ingatan), atau bila terkait dengan objek fisik (pakaian dalam dan perlengkapan objek seksual), atau objek abstrak yang terungkap dalam budaya atau masyarakat tertentu. Namun, isi representasi publik ini bagaimanapun tidak bisa dikatakan relatif. Persepsi dan kategori yang dipakai oleh komunitas tertentu tidak sepenuhnya relativis. Ada acuan pada konsepsi umum tentang seni, misalnya, maksud pengarang/seniman dalam penentuan karya, hakikat universal apresiasi karya seni yang bisa dipertanggung-jawabkan, dan konsepsi moral (menolak dehumanisasi dan pengobjekan).

Argumen Penolakan Pornografi dan Etika Minimal
Dalam debat politik, biasanya ada tiga alasan utama yang dikemukakan untuk menolak pornografi, ialah pertama, perlindungan terhadap orang muda atau anak-anak, kedua mencegah perendahan martabat perempuan, ketiga mencegah sifat subversifnya yang cenderung menghancurkan tatanan nilai seksual keluarga dan masyarakat (ibid, 2003: 7). Pornografi dikhawatirkan akan mengganggu anak-anak atau remaja sehingga akan mengalami gangguan psikis dan kekacauan dalam perilaku yang mirip dengan bila mereka mengalami pelecehan seksual. Pornografi cenderung akan dipakai oleh remaja sebagai pegangan perilaku seksual. Padahal dalam program tersebut sama sekali tidak ada ungkapan perasaan, mengabaikan afeksi, mereduksi pasangan perempuan melulu sebagai objek pemuasan diri. Pornografi cenderung membangkitkan suasana kekerasan terhadap perempuan.
Dengan bahasa lugas, pornografi dianggap akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Bahkan seandainya pornografi tidak merangsang lagi, bukan berarti tidak membahayakan psikologis anak. Selain itu, penyebaran pornografi secara meluas dikhawatirkan akan meningkatkan kekerasan terhadap perempuan. Bahkan menurut etika minimal, pornografi melukai pihak lain. Etika minimal terdiri atas tiga pilar (R. Ogien, 2003: 12-13), yaitu pertama, sikap netral terhadap konsepsi yang ‘baik’. Konsepsi ini menghargai hak akan kemandirian moral yang dalam kasus ini berarti kebebasan memilih apa yang baik bagi dirinya dalam hal seksualitas. Kedua, prinsip  menghindar dari merugikan pihak lain. Prinsip ini berasal dari cara berfikir konsekuensialis yang sangat peduli pada efek yang menimpa individu, bisa berupa kerugian fisik atau psikologis. Ketiga, prinsip untuk menempatkan nilai yang sama pada suara atau kepentingan setiap orang. Prinsip ini berasal dari tradisi deontologi di mana kewajiban setiap orang untuk tidak menjadikan orang lain sebagai sarana, tetapi tujuan pada dirinya. Prinsip kedua dan ketiga menjamin kesetaraan, maka berfungsi mengatur hubungan dengan pihak lain, dengan menghindari semua bentuk paternalisme.

Hukum Represif, Perempuan Menjadi Korban
Dalam konteks ini, penilaian moral yang bertanggung jawab mengadakan verifikasi, artinya bila dilihat dari sudut logika, dalam silogisme, premis minor selalu berhubungan dengan fakta. Apa yang terkait dengan fakta harus bisa diverifikasi. Misalnya hars di cek terlebih dahulu dengan suatu penelitian bahwa melihat tayangan porno, mendorong meningkatnya perkosaan. Menurut teori peniruan, semakin orang sering melihat pornografi, semakin ia terdorong untuk ikut melakukan (ibid, 80). Tetapi bagaimana hipotesis teori catharsis yang mengatakan bahwa semakin orang sering mengkonsumsi pornografi, semakin tidak ingin melakukan.
Yang terpenting ialah bagaimana supaya hukum yang melarang pornografi jangan sampai menjadikan perempuan sebagai korban lagi. Bahayanya ialah bahwa koersi dalam bentuk peraturan cara berpakaian, tapil, dan seni justru cenderung membidik untuk membatasi perempuan. Dampaknya ialah lingkup ekspresi perempuan makin dibatasi.
Pornografi dianggap merendakan nilai seksualitas perkawinan. Ia tidak menghargai cinta-penuh-perasaan dalam hubungan dua insan dengan lebih ingin menekankan serta membangkitkan afirmasi hasrat seksual. Sejalan dengan menyebarnya nilai hedonis, pornografi cenderung mengedepankan kenikmatan dan pengakuan akan kebiasaan seksual yang keluar dari kecenderungan yang wajar.
Kecenderungan media untuk menampilkan yang sensasional atau spektakuler  mempengaruhi insan media sehingga mudah tergoda mempresentasikan pornografi karena paling mudah memancing kehebohan. Dari sini tampak bahwa perdebatan tentang pornografi bukan hanya masalah melalui konseptual, tetapi menyangkut masalah pengambilan sikap moral dan politik. Permasalahan pornografi menjadi semakin pelik karena pertama, berhadapan dengan kebebasan berekspresi, terutama bila mengandung nilai seni. Kedua, bagaimana menghadapi hak akan informasi. Dan ketiga, bagaimana menjamin hak untuk memenuhi pilihan pribadi, bila pilihan ini tidak melukai orang lain, bahkan bila nilai seni dan pendidikannya dianggap meragukan.
Menghadapi ketiga masalah ini, langkah pertama ialah menentukan batasan pornografi supaya tidak dialihkan hanya menjadi masalah relativisme. Masalah pornografi bukan masalah relativis bila mempertimbangkan setidaknya empat acuan: pertama, mempertimbangkan konsepsi umum tentang seni. Dalam hal ini perlu diperhitungkan peran maksud pengarang/pembuat dalam penentuan ciri-ciri karya seni, hakikat semua apresiasi yang masuk akal tentang karya seni. Kedua, mempertimbangkan konsepsi moral. Dasar ukuran moral umum ialah apakah mengakibatkan dehumanisasi atau terjadi pengobjekan manusia. Ketiga, perlu diperhitungkan reaksi emosional yang ditimbulkan. Reaksi emosional macam apa yang ditimbulkan karya tersebut (senang, jijik, atau rangsangan seksual). Keempat, perlu dipertimbangkan pandangan dari berbagai teori psikologi (Catharsis, Imitasi, dan Pembiasan). Dari  keempat pertimbangan itu, penting untuk mendefinisikan secara lebih bertanggung jawab pembedaan seni dan pornografi, termasuk pembedaan antara pornografi dan erotisme.

Pornografi dan Erotisme
Untuk mengindari kecenderungan argumen otoritas, logika pornografi lebih jernih dipahami bila dianalisis melalui mekanisme manipulasi ikon. Ikon merupakan tanda yang mirip dengan apa yang digambarkannya. Ikon mau seperti aslinya atau yang diacunya (foto atau gambar), bahkan kalau bisa lebih dari sekedar aslinya (hiperrealitas).
Dalam pornografi, gambar ingin memberikan semua yang ingin diketahui dan langsung tanpa membutuhkan saat untuk merenung. Gambar harus jelas dan sederhana sesuai dengan aslinya bahkan lebih dari aslinya (hiperrealitas), misalnya dengan menonjolkan bagian tertentu dari tubuh. Penampilan gambar atau tulisan tidak boleh menimbulkan ambiguitas sehingga tidak dibutuhkan lagi penafsiran (Matthieu Dubost, 2006: 32). Maka simbolisme tidak mendapat tempat. Penafikan simbol ini juga sejalan dengan prinsip ‘harus sangat kelihatan’ (ibid., 65) sehingga tidak memerlukan lagi kisah. Dalam pornografi, tanpa konteks dan tidak ada tokoh subjek yang sebenarnya, tapi hanya dihiasi tokoh palsu, tanpa ada identitas dan sejarah. Tanpa kisah dan konteks, foto atau gambar manusia menjadi melulu benda tanpa ruh. Pornografi mereduksi sesuatu yang hidup menjadi yang dapat dimanipulasi. Melulu sebagai jejak, foto atau gambar hanyalah materi (ibid., 123).
Semua yang menimbulkan ingatan harus lenyap karena fokus hanya pada rangsangan sesaat. Ingatan akan mengganggu. Ia menjembatani gambar dengan waktu lain atau kisah lain. Padahal yang mengingatkan pada liyan akan mengalihkan perhatian, mencegah dominasi gambar. Semua yang membangun realisme harus ditiadakan karena mengaburkan realisme. Ketika seorang pasien laki-laki dimandikan oleh perawat perempuan, meski dalam keadaan telanjang dan hanya berdua dikamar, kebanyakan pasien tidak mengalami ereksi karena perawat mengalihkan perhatian dengan mengajak berbicara. Disana ada kisah, ada ingatan, dan ada kehadiran liyan yang tidak memungkinkan laki-laki mendominasi. Analogi ini menjadi pelajaran bahwa yang telanjang tidak selalu mengancam moralitas karena ada wacana, ingatan, dan kisah. Dalam pornografi, wacana kehilangan kemandiriannya karena hanya akan diperbudak untuk merangsang hasrat seksual.
Apa dampak dari prinsip pornografi ‘semua harus sangat kelihatan’ ini? Ada empat dampak langsung yaitu depersonalisasi tubuh, tiadanya tuntutan kebenaran, tirani terhadap liyan, dan estetika buruk-muka. Pertama, depersonalisasi (hilangnya kepribadian tubuh) tubuh dipahami sebagai upaya untuk menarik keluar dari tubuh semua hal yang merepresentasikan kepribadian seseorang. Dilepaskan dari semua yang lembut, perasaan, yang manusiawi dan hubungan kesalingan, pornografi menampilkan wajah kekerasan seksualitas. Hubungannya menjadi mengobjekkan, suatu bentuk dominasi supaya fantasme tercapai (ibid., 29). Kedua, tiadanya tuntutan kebenaran disebabkan oleh imperatif ‘semua sudah kelihatan’. Gambar sudah menampilkan semua, maka tidak perlu lagi menebak atau menafsirkan. Dengan demikian, berkurang tuntutan akan kebenaran karena pornografi menolak yang tersembunyi atau yang potensial (ibid., 65). Proses pembodohan terjadi karena penonton atau pembaca tidak diajak berfikir atau berefleksi. Tidak ada proses mengolah, mengedepankan, apalagi pemikiran kritis. Yang diminta hanya menelan, mengkonsumsi supaya hasrat seks terangsang. Ketiga, tirani terhadap liyan terjadi karena subjektivitas liyan dilucuti. Dalam pornografi, tubuh adalah tanpa kehidupan, wajah tanpa ekspresi. Karena tidak menatap aku, ia tidak menilai dan menyapa aku. Realisme gambar memungkinkan tersedianya objek bagi kesendirianku (penonton) tanpa ada subjek pesaing. Realisme harus mendominasi supaya liyan disangkal dan direduksi menjadi sesuatu yang dengan mudah dapat di ramalkan (ibid., 109), artinya bisa digunakan untuk apa saja. Perjumpaan direduksi hanya menjadi hubungan dominasi. Dalam hubungan semacam ini, yang dicari hanyalah kenikmatan diri, yang lain hanyalah alasan dan sarana. Keempat, estetika buruk-muka sangat menonjol dalam pornografi. Ketelanjangan ditampilkan tanpa keprihatinan akan keindahan. Obsesi utama adalah merangsang hasrat seks dan keingintahuan sehingga tidak mempedulikan segi estetis. Ketelanjangan memberi kesan kuat sepeti onggokan tanpa kegelisahan sehingga mengingkari misteri tubuh yang jatuh cinta (ibid., 116). Tiadannya perasaan atau kelembutan yang terlibat berarti tiadanya kedalaman diri.
Lain dengan erotisme, karena memungkikan suatu style, bahasa, dan penantian, ia bisa menerima kehadiran liyan. Erotisme menyangkal kemahakuasaan ‘semua harus kelihatan’, maka keterbatasan kemampuan gambar (ibid., 125) justru menjadi celah keberadaan erotisme. Erotisme adalah seni waktu (ibid., 130). Pada pornografi, manipulasi ikon membuat gambar terpateri dan dikosongkan dari waktu, tanpa kisah. Sedangkan dalam erotisme gambar berkisah dalam waktu dan terbuka terhadap kebaruan serta yang tak teramalkan. Tekanan erotisme pada imajinasi dan sugesti bukan merupakan prinsip, namun bagian dari konsekuensi (ibid., 130).
Dalam erotisme, yang lebih tampak adalah pengungkapan hasrat daripada penonjolan tubuh yang telanjang. Maka, butuh keterlambatan bahkan kelambanan, toleran terhadap waktu, dan membiarkan adanya perkembangan. Dalam erotisme, ada kisah, terselip pandangan yang tak terkatakan, memiliki konteks, dan menolak semua bentuk ketergesaan. Maka erotisme menolak kodifikasi dan stereotipe. Ia memahami resiko hubungan yang sampai pada hasrat manusiawi yang autentik. Keindahan dalam erotisme bukan perayaan kenikmatan diri, tetapi untuk memberi wajah pada tubuh. Dengan kata lain, erotisme mencari celah antara ‘mengatakan semua’ dan ‘menyembunyikan semua’ (ibid., 130-131). Dalam celah itu mau ditampilkan pemandangan yang tak dikenal untuk menemukan dunia yang hilang.
Semua erotisme selalu beresiko menjadi pornografi. Pada karya tertentu tidak mudah menentukan batas antara erotisme dan pornografi, selain karena subjektivitas penilai, juga disebabkan oleh ambiguitas hubungan yang dipertaruhkan (ibid., 124). Ambiguitas itu berasal dari sejauh mana tubuh menghindar dari representasi. Nilai seni terletak dalam muatan wacana, kisah, konteks, dan ingatan, yang pada gilirannya menentukan kelembutan dan intensitas tubuh. Karya seni biasanya membiarkan dilihat tanpa perlu menunjukan diri. Kerentanan ekspresi seni yang terselip dalam erotisme berasal dari penilaian yang melulu moral. Bila kriteria moral menjadi segala-galanya, keindahan menjadi menakutkan dan mengancam. Padahal yang indah bisa membujuk keangkuhan hukum untuk mengembuskan yang manusiawi. Dalam seni, wacana mempunyai tempat yang nyata dan membentuk unsur dialetika dalam gambar. Dinamika seni sangat kaya dengan kontradiksi sehingga semua bentuk analisis, ramalan, dan penilaian konseptual hanya akan menemui kekecewaan. Ia terbuka pada yang tak terkatakan dan tetap menyimpan kreativitas meski tak terlukiskan. Seni selalu puitis. Seni mengajarkan sesuatu, mempertajam cara pandang sehingga membantu untuk memahami dunia secara lebih cerdik dan matang. Ia adalah hasrat dan akan alternatif.
Setelah melihat lebih jeli batas-batas seni dan unsur yang mengarah ke pornografi, pelanggaran atau regulasi oleh negara dalam materi ini akan lebih memperhatikan pertimbangan yang lebih jernih. Lalu negara tidak terlalu gegabah memberlakukan hukum yang mungkin akan makin membatasi kebebasan berekspresi atau hak akan informasi. Ada banyak negara mau mengontrol semua aspek kehidupan warga negara. Sejauh mana hukum pidana berhak mengatur perilaku moral perorangan?
Negara dianggap berhak menetapkan kriminal tindak prostitusi, pornografi, aborsi, selingkuh, kumpul kebo, atau perilaku seksual tertentu. Dalam negara demokrasi, sikap kritis masyarakat, kesadaran kebebasan individu, kebebasan berekspresi atau hak akan informasi menuntut peninjauan kembali wilayah kompetensi negara dalam hal moral. Setidaknya orang berharap bahwa penetapan hukum tidak hanya menjadi proses pengaturan sepihak oleh negara.

Paternalisme Negara = Polisi Moral
Etika politik sebagai ‘hidup baik bersama dan bagi orang lain untuk memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi yang lebih adil’. (Ricoeur, 1990) menunjukan, campur tangan negara dalam hal moral orang perorangan sarat dengan dilema. Disatu pihak, bila negara banyak campur tangan dalam hal moral, kecenderungannya bukan memperluas lingkup kebebasan warga negara, tetapi justru mempersempit. Dengan banyak campur tangan pada lingkup privat, ruang publik menjadi rentan karena banyaknya pembatas koersif. Hukum menjadi alibi tanggung jawab, orang menghindar dari tanggung jawab justru ketika hukum terlalu koersif. Suasana seperti itu mendorong ke pembodohan masyarakat. Dipihak lain, bila kebebasan seseorang merugikan pihak lain, atau pemenuhan hak seseorang mengancam kebebasan pihak lain, campur tangan negara sulit ditolak.
Sikap paternalistik negara biasanya mengatasnamakan tujuan luhur. Pertama menjaga keteraturan dan kepantasan publik dengan melindungi anak-anak, mereka yang dianggap rentan/lemah atau orang yang belum dewasa, yang tidak berpengalaman dari pengaruh perilaku, gambar, tulisan, audiovisual yang dianggap berbahaya atau merugikan, melindungi dengan melawan eksploitasi dan pembusukan (bdk. Komisi Wolfenden, 1975). Kedua, melindungi perempuan agar tidak diperlakukan sebagai objek (pornografi) atau menjadi korban eksploitasi, pelecehan atau kekerasan seksual. Ketiga, mencegah dan menghukum semua yang dikategorikan melanggar batas moral diluar pernikahan.
Meski tujuan ini tampak luhur, campur tangan negara tidak lepas dari beberapa keberatan. Pertama, tujuan itu mempertanyakan otonomi moral. Kemampuan orang perseorangan untuk menentukan yang baik dan jahat diragukan. Negara menjadi polisi moral yang mengawasi gerak-gerik dan perilaku warganya, dan akan mencurigai semua bentuk hubungan orang dewasa. Moralisme yang berlebihan ini akan membatasi kreativitas masyarakat karena mobilitas individu amat dibatasi dan diawasi.
Kedua, prinsip subsidiaritas tidak dihormati (bila individu atau kelompok yang lebih kecil dengan kemampuan dan sarana yang ada bisa menyelesaikan, kelompok yang lebih besar atau negara tidak perlu campur tangan). Diabaikannya prinsip ini akan melemahkan peran civil society dan inisiatif dari bawah karena negara cenderung mengurusi semua. Ketiga, paternalisme ini elistis dan diskriminatif, ada kehendak mengontrol massa yang dianggap berbahaya dengan melindungi dari pengaruh gagasan buruk tentang pornografi. Representasi seksual terbuka yang disertai reaksi distinction sosial kelompok elite tidak menimbulkan masalah apa-apa. Begitu orang banyak mulai menikmati hal-hal yang dihargai elite, lalu menjadi vulgar, tidak ada lagi nilai moral dan keindahan, serta dianggap berbahaya (R. Ogien, 2003: 43).
Landasan pelarangan pornografi menjadi menarik katika argumen kelompok yang memperjuangkan nilai tradisional mengarah ke titik yang sama dengan kelompok liberal. Ketidaksetujuan kelompok tradisional karena pornografi dianggap mengancam nilai keluarga. Sedangkan keberatan kelompok liberal terletak dalam visi hubungan manusia dilihat melulu dari sisi instrumental, hedonis, dan mengacaukan dengan makna cinta. Dalam pornografi, tercipta semacam hubungan antara subjek dan pribadi imajiner, gambar orang dalam kertas atau layar. Dengan demikian, orang dicabut dari realitas ke fantasi, dari alturisme ke egosentrisme. Akibatnya, yang mau ditonjolkan hanya hasrat seksual, cinta dikalahkan oleh kepuasan dorongan nafsu seks. 

daftar pustaka :
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

1 comment:

  1. hai..saya juga merupakan pelajar komunikasi di Malaysia. jika sudia berkawan boleh add saya as a friend di facebook or twitter.

    blog saya j41806.blogspot.com

    ashamsuri@yahoo.com

    salam perkenalan dari Malaysia.

    ReplyDelete

budayakan komentar yang berbudaya