Friday, November 9, 2012

Neoliberalisme, Identitas Masyarakat, Media Massa, Media Literasi

Persoalan redistribusi dalam wacana Neo liberalisme di Indonesia

Dalam proses perjuangan tak berkesudahan mewujudkan cita-cita kebangsaan menuju keadilan sosial, bangsa Indonesia saat ini telah terintegrasi dalam arus pusaran globalisasi (Amminudin, 2009: 2). Melalui klaim politik progresif dalam konteks persoalan redistribusi (redistribuition matters), mempersoalkan bagaimana keadilan ditinjau sebagai proses distribusi barang dan sumber daya secara adil, serta kesetaran akses bagi tiap-tiap individu. Klaim keadilan redistributif ini telah diperbincangkan sejak lama oleh berbagai pandangan filsafat politik dari pemikiran sosialis, sosial demokratis, sampai dengan rumusan canggih dari kaum libertarian seperti John Rawls (1971) dan Ronald Dworkin (1981) yang mensintesakan kemerdekaan individu dan kesetaraan distributif sosial demokrasi.

Paradigma keadilan redistribusi memfokuskan ketidakadilan dari perspektif sosial ekonomi dan berangkat dari analisis bahwa akar-akar ketidakadilan sosial pertama-tama bermula dari struktur sosial-ekonomi masyarakat yang timpang. Ketidakadilan sosial dalam perspektif keadilan redistributif termanifestasi dalam bentuk terjadinya eksploitasi ekonomi (pemerasan tenaga pekerja untuk keuntungan kalangan pemilik modal, penghisapan sumber daya alam untuk kepentingan bisnis dan korporasi tanpa mengindahkan kepentingan publik), marjinalisasi ekonomi (ketika tiap-tiap orang dibatasi oleh kondisi upah minim dan tidak adanya akses kepada penghasilan ekonomi yang lebih baik bagi rakyat), dan deprivasi ekonomi (ketika tiap-tiap orang hidup dibawah standar hidup material yang normal). 

Dalam konteks globalisasi terkini, perjuangan merealisasikan keadilan sosial-redistribusi tampil mengedepan ketika berhadapan dengan penetrasi agresif ekonomi neoliberal yang semakin memperdalam jurang ketidaksetaraan dan disparitas ekonomi global. Memperjuangkan keadilan sosial dalam konteks keadilan redistribusi, yaitu pembagian sumber daya dan barang-barang secara lebih adil serta meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik lagi bagi publik, menjadi penting ketika berhadapan dengan realitas ekonomi pasar tanpa regulasi, digerakkan oleh kepentingan privat dan berjalan ditengan absennya komitmen kepada publik (Wim Sierckxsens 2000; Noreena Hertz 2002; Marjorie Majo 2005). (Aminuddin, 2009: 4)

Persoalan utama dari tatanan ekonomi neoliberalisme pertama-tama berada tepat dijantung logika dari gagasan neoliberalisme itu sendiri. Gagasan neoliberalisme berangkat dari sebuah pengertian mendasar bahwa transaksi pasar ekonomi antar manusia merupakan satu-satunya model yang mendasari semua aktivitas dan tindakan antar manusia (B. Herry Priyono 2003). Setiap dinamika kehidupan dan transformasi yang berlangsung diranah kehidupan manusia hanya dapat difahami ketika dimasukkan dalam prespektif model transaksi pasar ekonomi. Dalam kehidupan bernegara, pandangan neoliberalisme ini memberikan pengaruh besar dalam melihat hubungan antara negara-pasar-publik.

 Diskursus neoliberalisme menuntut kinerja dan kepentingan pasar sebagai satu-satunya tolak ukur dalam menilai kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah. Akibatnya negara tidak memiliki kewenangan apapun untuk mengontrol dan mencampuri pasar bebas. Ketika kepentingan pasar dan kepentingan publik berbenturan, imperatif neoliberalisme menuntut agar negara memihak kepada pasar. Sebagai konsekuensi dari penempatan logika transaksi pasar bebas sebagai ‘mahkamah tertinggi’ dan parameter tiap relasi sosial yang ada, interaksi antara negara dan masyarakat harus berjalan melalui lintasan tersebut. Logika pasar bebas mengasumsikan pengedepanan kepentingan tiap-tiap individu, bukan kebijakan kolektif maupun kepentingan publik. Masyarakat dalam asumsi pandangan neoliberal adalah kumpulan dari individu-individu yang dapat dipuaskan dalam relasi permintaan dan penawaran di dalam pasar bebas. 

Pengedepanan kebaikan bersama sebagai pengatasnamaan keadilan sosial dalam prinsip bernegara kemudian hilang, digantikan dengan rezim pasar bebas, dan memunculkan persoalan-persoalan mendasar seperti kemiskinan, marjinalisasi ekonomi, eksploitasi ekonomi, dan deprivasi ekonomi. Persoalan mendasar tersebut bukan lagi tanggung jawab negara. Tanggung jawab utama negara dalam disiplin rezim kuasa neoliberalisme adalah menjaga agar pasar bebas berjalan tanpa hambatan (Aminuddin, 2009: 4-6).

Hal ini berlanjut pada klaim terbaru politik progresif yang berangkat dari perspektif perjuangan untuk memperoleh pengakuan (struggle for recognition) yang terkait dengan fenomena kehadiran trend politik identitas. Persoalan pengakuan/kepedulian (recognition) terkait dengan konstruksi identitas yang terbentuk secara dialogis, melalui proses terjadinya saling pengakuan, dimana sesuatu dipandang sebagai sebuah subyek ketika ia mengakui dan diakui oleh subyek yang lainnya. 

Pengakuan dari dan terhadap yang lain menjadi esensial dalam terbangunnya identitas. Didalam hubungan relasional antar subyek tersebut terbangun relasi interaktif antara suatu subyek dengan yang lainnya secara setara sekaligus terpisah. Dalam kancah globalisasi terkini, secara sosiologis perjuangan pengakuan diri (struggle for self recognition) dikondisikan oleh interaksi transbudaya dan komunikasi intens antara komunitas kultural sebagai konsekuensi dari akselerasi migrasi antara negara, penyebaran media global dan kebebasan arus informasi, serta desakan kultur hagemonik budaya massa sebagai imbas globalisasi. 

Oleh karena itu, sangat penting untuk meletakkan posisi media terutama dalam sejarah perkembangan kontemporer saat ini untuk meninjau perubahan-perubahan dalam pembentukan identitas-identitas baru dalam masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, citra-citra baru banyak dibangun oleh media. Media massa juga merupakan mesin angkut dan media produksi gaya hidup yang sangat luar biasa. Dengan luar biasa pula, media massa mampu menjadi magnet kesadaran dan citra diri atas apa yang harus dilakukan individu. Media massa menjadi tempat rujukan terpenting abad ini.

Dimensi kekuasaan media massa tidak sekedar pada pesan yang dibawa tetapi juga keseluruhan entitas pengaturannya yang selama ini dibangun. Pertama, apa yang dibawa dan apa yang disusun dalam pesan-pesan media tentu saja amat ditentukan oleh kepemilikan kekuasaan atas media massa. Ada rasionalitas ekonomi politik yang bertalian dengan rasionalitas pesan yang kemudian tercermin. Pesan media dalam logika ini lebih cenderung merujuk pada siapa yang berkuasa untuk menentukan setiap tanda, setiap teks dan setiap bahasa yang tepat untuk disiarkan. Tentu ada dinamika ‘tanda’ selanjutnya ketika pesan itu sudah diterbitkan atau disiarkan. Masyarakat bukan entitas pasif sama sekali. Masyarakat juga bukanlah tabula rasa yang kosong untuk sekedar diisi. Ia juga entitas kreatif yang juga menemukan ‘kebermaknaan’ sebuah ‘tanda’ atau ‘pesan’. Namun demikian, dalam dominasi media massa selama ini, ada keterbatasan-keterbatasan kreatifitas karena, beberapa hal. Pertama, ruang referensi sebagai rujukan sudah banyak terdominasi oleh apa yang kemudian sudah terkontaminasi media massa, kedua, institusi media massa bukanlah ruang yang netral tetapi juga terisi banyak motivasi kecenderungan yang sudah dibentuk sedemikian rupa, ketiga, ketiadaan akses yang adil bagi semua untuk menentukan apa dan bagaimana pesan harus disusun, membuat masyarakat mau tidak mau harus mengunyah dan menelan sesuatu yang sudah ‘terberi’ oleh media massa. Dalam proses yang panjang, masyarakat akan membangun relasi ketergantungan yang amat erat pada media massa.

Titik ketimpangan inilah yang akan mencuatkan permasalahan tersendiri. Tidak berkuasanya masyarakat untuk terlibat secara penuh menentukan bagaimana isi media selalu menjadi celah kosong yang dimanfaatkan media. Apalagi ketika masyarakat sudah begitu tergantung dan terikat oleh kebutuhan akan media massa. Tidak sedikit kasus-kasus konflik identitas yang meluas juga terpicu oleh efek-efek yang tidak terhindarkan dari konten media massa. Bahkan dalam hal tertentu, konflik telah menjadi ‘komoditas menguntungkan’. Kesan realitas kedua yang ditampilkan media massa seakan justru telah menjadi ‘realitas’ itu sendiri yang orisinil.

Ketika masyarakat menonton dan menyimak perkembangan informasi oleh berbagai media massa, seakan apa yang dibaca, apa yang didengar dan apa yang dilihat sebagai realitas apa adanya. Pada kenyataannya, apa yang media tampilkan hanyalah realitas kedua yang sudah banyak mengalami perubahan baik dalam teknis penyampaian, editing ataupun juga karena dimensi ruang media itu sendiri. Apa yang masyarakat lihat dan dengar bukanlah ‘realitas sesungguhnya’ tetapi sekumpulan kode bahasa yang khusus dan termodifikasi dalam kemampuan teknologi audio visual maupun cetak yang menyerupai gambaran realitas. Walaupun sebenarnya gambaran realitas yang ditampilkan tidak akan pernah menyamai atau mewujud seperti realitas itu sendiri. 

Ketika rujukan terhadap pembentukan identitas adalah realitas yang sudah terkomodifikasi dalam kepentingan-kepentingan tertentu yang jarang disadari oleh masyarakat dan diterima begitu saja menjadi kebenaran, maka di titik inilah persoalan terbesar dari ‘krisis identitas’ yang timpang dan dominatif. Sebuah identitas selalu akan dipengaruhi oleh perkembangan konteks ruang yang lain seperti kebudayaan politik, ekonomi dan lain sebagainya. Identitas juga selalu merujuk pada relasi-relasi dengan kepentingan-kepentingan yang lain. (http://risangpribadi.blogspot.com/2010/02/kuasa-media-massa-dan-politik identitas.html - diakses pada 9 Mei 2012)

Hegemoni Realitas dalam Iklan

Rujukan terhadap pembentukan identitas dalam media massa berkaitan secara erat dengan kegiatan periklanan atau komersialisasi. Dalam menganalisis masalah komersialisasi dan kapitalisme, sebagaimana Marx, Benston (1969, dalam Ollenburger, 2002: 53) mengembangkan dua tipe nilai yakni nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange value). Secara sederhana, nilai guna dapat dimaknai sebagai proses individual dalam menikmati barang atau jasa dengan pertimbangan kegunaan dan manfaat. Sedangkan nilai tukar berarti menggunakan barang dan jasa atas pertimbangan konstruksi sosial dan pasar. Dengan demikian, nilai tukar merupakan kebutuhan yang tidak primer, tetapi akibat derasnya arus komunikasi dan informasi membuat seseorang merasa wajib dan perlu untuk membeli produk-produk yang diiklankan.

Menurut Jeffkins (1997), iklan adalah cara menjual melalui penyebaran informasi, dimana merupakan suatu proses komunikasi lanjutan yang membawa para khalayak ke informasi terpenting yang memang perlu mereka ketahui. Dengan kata lain, iklan adalah suatu cara membicarakan hal-hal tertentu kepada khalayak ramai, sebagai calon konsumen, mengenai suatu produk, baik barang maupun jasa, melalui berbagai media komunikasi massa, baik cetak maupun elektronik, dengan bermacam metode untuk mempengaruhi atau mendorong masyarakat, sebagai calon konsumen, agar tertarik untuk membeli barang atau jasa tersebut.

Realitas yang ditampilkan dalam iklan, bukanlah sebuah sebuah cermin realitas sosial yang jujur. Tapi iklan adalah sebuah cermin yang cenderung mendistorsi realitas, atau Marchand menyebutnya sebagai a hall of distorting mirrors. Iklan cenderung membangun realitas yang cemerlang, melebih-lebihkan, dan melakukan seleksi tanda-tanda atau images, sehingga tidak merefleksikan realitas akan tetapi mengatakan sesuatu tentang realitas. Iklan merangkum dilema-dilema sosial atau aspek-aspek realitas sosial dan mempresentasikannya secara tidak jujur. Iklan menjadi cermin yang mendistorsi realitas yang dipresentasikannya dan sekaligus menampilkan images dalam visinya (Noviani, 2002:53-55). 

Tidak ada iklan yang ingin menangkap kehidupan seperti apa adanya, akan tetapi selalu ada maksud untuk memotret ideal-ideal sosial dan menampilkannya sebagai sesuau yang normatif. Iklan tidak berbohong akan tetapi juga tidak mengatakan yang sebenarnya. Dunia abstrak yang dipresentasikan iklan merupakan sebuah usaha yang disengaja untuk mengkonstruksi asosiasi-asosiasi antara suatu produk dengan imajinasi individu, dengan kelompok demografik maupun psikografik tertentu, atau dengan dengan kebutuhan dan kesempatan tertentu. Sedikit berbeda, menurut Schudson, iklan tidak merepresentasikan realitas, tidak pula membangun sebuah dunia yang betul-betul fiktif. Iklan berada dalam ruang realitasnya sendiri, yang disebutnya sebagai capitalism realism. Periklanan dalam masyarakat kapitalis tidak menggambarkan realitas dengan apa adanya, akan tetapi realitas yang seharusnya (what the life should be) dengan berusaha menyamai atau melebihi nilai kehidupan (Noviani, 2002:56). 

Iklan berusaha menampilkan sebuah representasi realitas konkret yang secara historis benar dalam perkembangan kapitalisnya. Iklan pun melakukan simplifikasi-simplifikasi dan tipifikasi-tipifikasi sebagai upaya untuk mencapai efektifitas penyampaian pesan. Iklan juga selalu mengemukakan kemajuan atau progress, memfokuskan pada hal-hal yang baru, dan kalaupun menghadirkan tanda maupun image budaya, hanya dalam rangka membantu khalayak mengasimilasi kreasi baru dari iklan. Dalam iklan selalu ada optimisme dengan cara mengidentfikasi solusi dari setiap permasalahan dengan produk -produk tertentu mapun dengan gaya hidup.

Pemahaman capitalism realism Schudson hampir sama dengan apa yang dikemukakan Erving Goffman mengenai commercial realism. Commercial realism adalah sebuah transformasi standar yang diterapkan dalam periklanan, yaitu semacam penggambaran tentang publik yang digunakan oleh iklan. Commercial realism membedakan cara orang mempresentasikan dirinya dalam kehidupan aktual dengan dua cara, yaitu:
1.             Jika dalam kehidupan nyata aktivitas manusia bersifat sangat ritual, didasarkan pada idealisasi-idealisasi sosial, maka dalam iklan, aktivitas tersebut bersifat lebih ritual lagi. Iklan justru menyangatkan atau melebihkan apa yang terjadi di dunia nyata,
2.             Dalam kehidupan nyata individu tidak cukup bisa memperbaiki kehidupan mereka untuk mendapatkan idealisasi sosial yang betul-betul ritual sifanya. Akan tetapi dalam commercial realism perbaikan kehidupan dapat dilakukan dengan sangat cermat sehingga idealisasi sosial dapat digambarkan dengan selengkap mungkin (Noviani, 2002:56 -57).

Demikianlah realitas iklan, seperti dijelaskan Schudson dan Goffman, merupakan capitalism realism atau commercial realism. Menyajikan realitas-realitas yang merupakan penyangatan dari realitas sosial yang nyata, menyajikan simplifikasi, idealisasi sosial, dan tipifikasi yang diterima individu sebagai kebenaran, realitas yang taken for granted. Iklan, sebagai bagian dari masyarakat kapitalis, memang powerfull dan sulit dielakkan. Menyediakan gambaran tentang realitas, sekaligus mendefinisikan kebutuhan dan keinginan individu. Iklan mendefinisikan makna gaya hidup, makna selera dan cita rasa yang baik, bukan sebagai sebuah kemungkinan atau saran, melainkan sebagai tujuan yang hendak dicapai dan tidak bisa untuk dipertanyakan. Menurut Williamson, iklan selain memiliki fungsi untuk menjual produk pada individu, juga memiliki fungsi yang lain, yaitu menciptakan struktur makna. Dalam menjalankan fungsinya untuk menjual produk, iklan harus memperhitungkan bukan hanya kualitas dan karakter yang melekat pada produk, tetapi juga memperhitungkan cara-cara yang dapat dilakukan untuk membuat benda tersebut mean something to us. Dengan kata lain, periklanan harus mampu menerjemahkan pernyataan dari things statements menjadi human statements (Judith, 1985:12).

Iklan melalui pesannya mempertukarkan nilai-nilai kemanusiaan yang dilekatkan pada produk. Iklan memberikan makna sosial tertentu terhadap sebuah produk. Jadi periklanan menjual sesuatu yang lain disamping barang-barang konsumsi, iklan menyediakan struktur atau kelas tertentu bagi individu dimana mereka dan produk dapat dipertukarkan. Iklan menjual pada kita ourselves (diri kita). Dan individu membutuhkan diri tersebut. Iklan membuat individu merasa sebagai in-group atau out-group dari suatu kelompok sosial melalui barang-barang konsumsi yang mampu mereka beli, dan hal ini mengaburkan posisi dan kelas sosial sesungguhnya dari individu. Sistem kepercayaan dan gagasan semacam inilah yang merupakan ideologi. Dalam ideologi, terdapat makna-makna tertentu yang dibuat penting oleh suatu kondisi masyarakat sekaligus terdapat usaha-usaha untuk mengekalkan kondisi tersebut. Individu merasa perlu untuk terafiliasi ke dalam suatu kelas atau kelompok tertentu, memiliki tempat sosial tertentu Di sini, ideologi menggambarkan produksi makna dan ide, bagaimana kelompok-kelompok digambarkan dan diposisikan. Ideologi sebagai sebuah sistem kepercayaan yang diterima individu dari kelompok atau kelas sosial tertentu, bukan sesuatu yang ada dalam diri individu. Merupakan seperangkat kategori yang sengaja dibuat dan kesadaran palsu yang bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial tampak nyata, wajar, dan alamiah, dan tanpa sadar diterima sebagai kebenaran. 

Selanjutnya, Antonio Gramsci membangun teori tentang hegemoni yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap idelogi kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai dan tanpa kekerasan. Gramsci berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga kekuatan ( force) dan hegemoni. Jika kekuatan ( force) menggunakan daya paksa membuat pihak lain mengikuti dan mematuhi cara -cara produksi atau nilai-nilai tertentu, maka hegemoni meliputi perluasan dan pelestarian kepatuhan aktif (secara sukarela) dari kelompok yang didominasi oleh kelas penguasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral, dan politik. Proses ini terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan ketika individu menafsirkan pengalaman tentang kenyataan. Jadi hegemoni bekerja melalui dua saluran, yaitu ideologi dan budaya melalui mana nilai-nilai itu bekerja (Eriyanto, 2001: 103-104).

Hegemoni bekerja melaui konsensus ketimbang upaya penindasan. Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Dalam hal ini media dapat menjadi sarana di mana suatu kelompok mengukuhkan posisinya dan memarginalkan kelompok lain melalui wacana yang dibangun. Proses marginalisasi wacana tersebut berlangsung secara wajar, apa adanya, dan dihayati bersama sehingga menjadi konsensus. Wacana diterima secara taken for granted (tidak perlu dipertanyakan), sebagai suatu common sense maka saat itulah hegemoni telah terjadi.

Media Massa dan Konstruksi Identitas

Identitas bukanlah sesuatu yang stagnan, identitas dikonstruksi sepanjang waktu dan dapat secara konstan diperbaharui atau dirubah secara total. Jadi, pengaruh media populer dalam konstruksi identitas tidak berlangsung dalam kurun waktu sesaat saja, melainkan terus-menerus, sepanjang individu tersebut berinteraksi dalam lingkungan sosialnya dan sepanjang terdapat terpaan media pada individu. 

Dalam konstruksi identitas, tidak dapat dilupakan adanya faktor tekanan dari masyarakat atau kelompok sosial tehadap seseorang ketika mereka dalam proses konstruksi identitas. Bentuk tekanan ini menurut Hamley dapat berupa sejumlah harapan-harapan tertentu oleh masyarakat tentang bagamana individu harus atau seharusnya hidup. Dengan kata lain masyarakat memberikan batasan-batasan tentang identitas yang harus dipelihara dan identitas yang tidak dapat diterima. Dalam kondisi demikian, terdapat kemungkinan bahwa identitas yang diharapkan oleh masyarakat sesungguhnya berbeda atau bahkan berlawanan dengan identitas yang dianggap cocok oleh individu bagi dirinya. 

Dalam memahami poses pembentukan identitas, Henry Tajfel dan John Turner mengemukakan Teori Identitas Sosial ( Social Identity Theory) bahwa proses pembentukan identitas dalam diri individu melalui tiga tahapan, yaitu: kategorisasi, identifikasi, pembandingan sosial. Yang pertama kategorisasi (categorization), individu mengenali dan mengelompokkan identitas-identitas berdasarkan kategori sosial seperti etnis, ras, religi, pekerjaan, status sosial, dan lain sebagainya. Kategori-kategori ini selanjutnya akan memberikan suatu pengertian tentang siapa dan bagaimana individu pemilik identitas. 

Selanjutnya yang kedua adalah identifikasi (identification). Pada tahap ini individu mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok-kelompok tertentu dimana ia terafiliasi. Dalam identifikasi terkandung dua makna dalam diri individu, pertama, bahwa sebagian dari diri individu dibangun berdasarkan keanggotaan dalam suatu kelompok. Dalam hal ini terdapat pemikiran kami versus mereka. Kedua, bahwa pada saat tertentu individu berfikir bahwa dirinya sebagai aku, dan memandang orang lain sebagai dia. Jadi pada saat tertentu individu memandang dirinya sebagai anggota suatu kelompok, yang disebut sebagai social identity, dan pada saat yang lain memandang dirinya sebagai individu yang unik, yang disebut sebagai personal identity

Tahap ketiga dari proses pembentukan identitas adalah pembandingan sosial (social comparison), yaitu tindakan individu yang membuat perbandingan antara dirinya dengan orang lain dalam rangka mengevaluasi dirinya. Anggota suatu kelompok membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain untuk menguatkan persepsinya bahwa kelompoknya adalah positif, dan implikasinya, memperoleh konsep diri bahwa dia sebagai anggota kelompok juga positif. Keberadaan media massa turut mempengaruhi tahapan-tahapan dalam pembentukan identitas tersebut.

Literasi Media 

Media literacy (literasi media) merupakan keahlian yang diambil begitu saja. Sama dengan keahlian lain, literasi media dapat dikembangkan. Keahlian yang harus dikembangkan melalui literasi media adalah cara berpikir bagaimana pentingnya media massa dalam menciptakan dan mengendalikan budaya yang membatasi kita dan hidup kita (Baran, 2004: 50)
Sementara itu, definisi literasi media adalah :
1.  Kemampuan untuk ‘membaca’ televisi dan media massa lainnya. Literasi media mengajarkan orang untuk dapat mengakses, menganalisis, dan memproduksi media.
2.   Merupakan proses analisis dan pembelajaran pesan-pesan yang disampaikan melalui media, baik cetak, audio, video, ataupun multimedia.
3.   Kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan-pesan dalam berbagai bentuknya; ekspansi konseptualisasi tradisional yang bersifat literer yang meliputi berbagai bentuk simboliknya.
4.  Kemampuan untuk dapat memisah-misahkan dan menganalisis pesan-pesan yang disampaikan, serta hiburan yang dijual kepada masyarakat setiap harinya.
5.    Kemampuan untuk berfikir secara kritis dalam menghadapi berbagai jenis media dari video musik dan web, hingga penempatan produk dalam sebuah film.
6.      Literasi media berarti mampu mengartikan, mengerti, mengevaluasi, dan menulis hal-hal yang disampaikan oleh berbagai bentuk media.
7.   Mampu membaca, mengevaluasi, dan membuat teks, citra/gambar serta suara atau kombinasi dari berbagai elemen tadi.
Tahapan literasi media terdiri dari:
1.       Peduli akan pentingnya mengelola media, membuat pilihan tontonan, mengurangi waktu mengkonsumsi media massa.
2.       Mempelajari beberapa keahlian khusus untuk melihat secara kritis, belajar menganalisis dan bertanya apa yang ada didalam frame, bagaimana hal itu terbentuk, dan hal apa yang mungkin terlewati. Kemampuan untuk melihat secara kritis bisa dipelajari dari kegiatan interaktif yang dilakukan secara berkelompok.
3.   Melihat ke belakang frame untuk mengeksplorasi isu lebih dalam lagi. Siapa yang memproduksi media tersebut dan apa kegunaannya? Siapa yang memperoleh untung ? dan siapa yang merugi ?

Batasan literasi media berarti keahlian memahami dan menggunakan isi media massa secara efektif dan efisien. Literasi media adalah memahami sumber-sumber dan teknologi-teknologi dari komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan yang akan diproduksi, dan seleksi, interpretasi dan bentrokan dari pesan-pesan tersebut (Rubin, dalam Baran, 2004: 51)

Literasi media merujuk pula pada sekumpulan perspektif dimana kita secara aktif mengungkapkan diri kita sendiri pada media untuk menafsirkan pemaknaan pesan-pesan yang kita terima. Kita membangun perspektif kita dari struktur pengetahuan. Membangun struktur pengetahuan kita, memerlukan alat dan raw material (bahan dasar). Alat-alat ini adalah keterampilan kita. The raw material adalah informasi dari media dan dari dunia nyata. Aktif menggunakan media bertujuan bahwa kita sadar tentang pesan dan secara cepat saling berinteraksi dengan media-media itu (Potter, 2005: 22). 

Literasi media bersifat multidimensional. Disana terdapat empat hal yang terkait antara dimensi-dimensi literasi media: dimensi kognitif, dimensi emosional, dimensi keindahan, dan dimensi moral (Potter, 1998: 7).

Sejumlah pakar menyebut, melakukan literasi media dapat menciptakan generasi yang literat, yang merupakan jembatan menuju masyarakat yang makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima, sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar. 

Iklan menonjolkan nilai-nilai yang sebenarnya tidak penting, memunculkan perspektif keliru tentang mutu suatu produk sehingga lebih sering menyesatkan daripada memberi tahu, menurunkan standar etika karena terlalu sering melontarkan bujukan, mengacaukan dan melencengkan informasi yang disajikan, menjadikan masyarakat terlalu memuja mode, gaya, dan perilaku boros, menyurutkan kegiatan usaha karena biaya terlalu banyak, memicu monopoli karena iklan cenderung digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang besar saja, iklan juga terlalu banyak memamerkan gaya hidup serba mewah, karenanya iklan dianggap mendorong tumbuhnya sikap materialistik. 

Iklan memang tidak berusaha meningkatkan kualitas individu atau masyarakat, karena iklan hanya menonjolkan nilai-nilai material. Meskipun pengaruhnya tidak kalah dengan institusi-institusi lainnya, iklan tidak memiliki tujuan maupun tanggung jawab sosial, hal inilah yang lazim menjadi kritik terhadap iklan. Selain itu, iklan juga tidak selamanya peduli soal benar atau salah. Iklan hanya berurusan dengan soal bagaimana memengaruhi nilai-nilai dan perilaku orang-orang sebagai konsumen, serta mendorong mereka untuk melakukan konsumsi.




Daftar Pustaka :

Buku :
Aminuddin, Faishal. 2009. Globalisasi dan Neoliberalisme: Pengaruh dan Dampaknya bagi  Demokratisasi Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Baran, Stanley J. 2004. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture. New York: The Mc. Graw Hill Companies.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS, Yogyakarta.
Jeffkins, F. 1997. Periklanan. Jakarta: Erlangga.
Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan, Antara Realitas, Representasi dan Simulasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ollenburger. 2002. Sosiologi Wanita. Jakarta: Rineke Cipta.
Potter, W. James. 1998. Media Literacy. Thousand Oaks-London-New Delhi: Sage Publications.
Potter, W. James. 2005. Media Literacy. Thousand Oaks-London-New Delhi: Sage Publications.

Internet :
http://risangpribadi.blogspot.com/2010/02/kuasa-media-massa-dan-politik-identitas.html

No comments:

Post a Comment

budayakan komentar yang berbudaya