Saturday, November 10, 2012

Perempuan dan Media Massa: Oleh Pria untuk Priakah?

(Tulisan Debra H. Yatim dalam Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, disunting oleh Idi S. Ibrahim dan Hanif Suranto, tahun 1998, penerbit Remaja Rodakarya—Bandung)

Dari seluruh jam yang dicurahkan masyarakat dunia untuk melakukan pekerjaan, duapertiga adalah waktu yang dicurahkan oleh kaum perempuan. Perempuan di kawasan pedesaan menghasilkan sedikitnya 50 persen produk pangan dunia. Mereka terlibat dalam setiap aspek bercocok tanam, termasuk menebar benih, melekuh, menandur, memupuki dan menuai panen. Di sementara kawasan, perempuan juga harus memasarkan hasil pertaniannya. Sejumlah besar perempuan di dunia menjadi pencari nafkah utama atau menyumbang terhadap pencarian nafkah keluarga. Di beberapa kawasan dunia berkembang, seperempat sampai separuh rumah tangga di pedesaan dikepalai secara tetap, atau secara de facto, oleh perempuan

 (Kutipan ini diambil dari penerbitan keluarga Food and Agriculture Organisation (FAO) di naungan PBB, dengan judul Women in Agriculture.)

Tidak ada alasan bagi kita untuk menyimpulkan bahwa keadaan berbeda di Indonesia. Data menunjukkan bahwa penghasil dan pengolah pangan di Indonesia terutama adalah perempuan. Karena agrikultur masih sentral bagi perekonomian Indonesia, seberapa pun besarnya kemajuan industrialisasi, kenyataan yang berlaku bagi Indonesia masih harus dipijakkan kepada agrikultur.
Namun demikian, kita tidak perlu meluangkan waktu yang terlalu lama mengintip ke media di Indonesia untuk menyadari bahwa realitas sosial ini nyaris tidak dicerminkan olehnya.
Ulasan tentang pedesaan mendapat ruang yang sangat sedikit dalam pemberitaan rata-rata media. Kalaupun ada berita tentang bidang agrikultur (mengingat pengadaan pangan masih merupakan pokok bahasan yang penting) itu munculnya dengan suatu bias yang mencolok—yakni bias yang berat kepada lelaki.
Buktinya? Dalam setiap pemberitaan atau pengulasan tentang pertanian, hampir seluruh petani dan pekerja ladang digambarkan oleh media sebagai pria. Laporan yang disajikan media pun dibuat berdasarkan laporan dari petani dan pekerja laki-laki. Bias semacam ini dapat ditemukan tidak saja di media massa jalur umum, tetapi juga di media pendidikan serta media pembangunan, yakni media yang curahan perhatiannya melulu pada masalah pembangunan.
Dengan begitu, kontribusi yang begitu besar kaum perempuan di dalam masyarakat yang masih berpijak pada agrikultur bisa dikatakan sedikit, bahkan sama sekali tidak terepresentasikan di dalam media.

Media: Cermin atau Realitas?
Analisis terhadap apa yang disebut sebagai media jalur umum (mainstream), yang menjadi titik perhatian makalah ini, menunjukkan bahwa media jalur umum justru memperkukuh stereotip-stereotip gender dan nyaris menegasikan kontribusi ekonomik perempuan di dalam masyarakat.
Contoh paling jelas, tentu, adalah penggambaran tadi: sudah berita tentang perkembangan pedesaan mendapat porsi terlalu sedikit, sumbangsih kaum perempuan di dalam perkembangan itu dikesampingkan karena kecondongan lebih mengutamakan sumbangsih kaum pria.
Lebih jauh, kecenderungan menegasikan kontribusi perempuan berlaku tidak saja di bidang pertanian atau di tingkat kehidupan di desa, tetapi juga di kota. Artinya di setiap lapis kehidupan yang diulas oleh media.
Sekadar sebagai pembelaan terhadap media, kerap dikatakan bahwa media tidak lebih, tidak kurang adalah cermin bagi realitas yang beredar di masyarakat. Namun, ingin ditawarkan di sini bahwa itu tidak seluruhnya benar. Media memiliki hubungan dua arah dengan realitas sosial.
Di satu pihak, betul media jadi cermin bagi keadaan di sekelilingnya. Namun, di lain pihak, ia juga membentuk realitas sosial itu sendiri.           Lewat sikapnya yang selektif dalam memilih hal-hal yang ingin diungkapkannya, dan juga lewat caranya menyajikan hal-hal tersebut, media memberi interpretasi, bahkan membentuk, realitasnya sendiri.
Termasuk di dalam interpretasi selektif ini yakni pengukuhan nilai, sikap, serta pola-pola perilaku masyarakat. Misalnya, dengan selalu mempertegas sudut pandang bahwa pria adalah penentu kebijaksanaan di dalam masyarakat (seperti contoh di bidang pertanian tadi)—yang secara implisit mengatakan bahwa perempuan cuma berperan periferal belaka—media jadi melakukan misinterpretasi terhadap peran-peran yang dipegang oleh kaum perempuan.

Penerimaan Media oleh Masyarakat
Di Indonesia, banyak pihak sepakat bahwa media bukan kebutuhan pokok dari kebanyakan orang (dibandingkan, misalnya, dengan 10 kebutuhan pokok, atau kebutuhan akan pekerjaan yang menafkahi, dan sebagainya). Mengapa? Karena media nota bene adalah institusi masyarakat kelas menengah urban—digarap dan diedarkan oleh orang urban di wilayah kota besar. Akibatnya, media punya bias urban yang besar. Ia pun jadi nyaris ridak punya relevansi yang berarti bagi masyarakat pedesaan dan pertanian.
Tetapi, meskipun kita menerima bahwa media tidak relevan bagi sebagian besar masyarakat (yakni penduduk pedesaan) setiap sajiannya sangat berdampak pada proses sosialisasi masyarakat luas, baik yang di kota maupun yang di desa.
Hal itu karena, pertama, lewat sajiannya, yang lambat laun membentuk opini publik, keyakinan individu serta persepsi masyarakat terhadap dirinya, media ikut membentuk pemikiran dan ideologi masyarakat di mana ia beredar; kedua, diakui atau tidak, Indonesia menganut sistem sentralisasi terhadap seluruh informasi dan keputusan (yang berarti setiap pikiran dan pendapat tokoh di kota akan berlaku pula bagi rekannya di desa).
Patut kita catat suatu ciri tambahan: di negara berkembang macam Indonesia, sikap yang umum terhadap media adalah penerimaan secara tidak kritis terhadap setiap sudut pandang serta penyajian fakta dan opini yang ditawarkan oleh media.
Mari kita susun suatu gambaran simplistis yang mungkin muncul dari ketiga hal ini:
Suatu fakta/opini ditawarkan oleh media. Sajian itu cuma dibaca/didengar/ditonton oleh orang di kota. Karena sifat penyajiannya yang direstriksi oleh peraturan, gambaran yang disampaikan oleh media itu tidak lengkap. Karena terbiasa dengan kondisi restriktif itu, sang pembaca/pendengar/penonton yang orang kota itu terbiasa pula untuk “menelan” sajian media itu secara tidak kritis. Namun, tokoh kota kita ini seorang pengambil keputusan yang sebagian berpijak pada pengetahuan yang disadapnya dari media. Kebijaksanaan itu terlalu luas, termasuk juga di daerah pedesaan. Alhasil, media telah berdampak pada sosialisasi masyarakat luas, kendati ia tidak dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat per se.
Ada sudut lain yang juga patut jadi kajian: dalam satu-setengah dekade terakhir, perlahan tapi pasti sebagian besar lembaga media massa utama menjadi milik segelintir saja kelompok bisnis dan individu. Kepemilikan itu tidak saja pada surat kabar dan majalah, tapi juga merembet kepada media siaran: televisi dan radio.
Kenyataan ini mau tidak mau mempunyai efek yang cukup besar terhadap penyuguhan sudut pandang dan fakta yang disajikan oleh media. Opini, bisa serta interpretasi segelintir orang atau kelompok boleh jadi di-“telan” begitu saja oleh mayoritas konsumen media, sebagai akibat sikap tidak kritis tadi. Sudut pandang-sudut pandang ini tidak saja lalu jadi sudut pandang yang dijunjung dan diterima. Itu kemudian juga jadi bagian dari pemikiran yang dianggap “kebenaran” (the truth).
Sekarang, mari kita kaji keadaan ini berkaitan dengan posisi perempuan di dalam masyarakat. Yang kita sebut masyarakat itu adalah laki dan perempuan. Jelas setiap isu di dalam media (sebagai institusi masyarakat) menyangkut pula perempuan. Bahwasanya penggambaran di dalam media mengakui sumbang peran perempuan atau tidak mengakui kehadirannya di dalam perguliran masyarakat, itu akan ada dampaknya. Tidak saja pada perempuan urban, tapi bagi seluruh masyarakat: laki dan perempuan, di kota maupun di desa.
Ditilik dari posisi perempuan di dalam masyarakat (atau lebih tepat, posisi yang dipaksakan atas dirinya), kondisi seperti ini tidak menguntungkan. Mengapa? Media yang kadang jadi cermin, tapi lebih sering menjadi pembentuk, realitas masyarakatnya cenderung memelihara status quo. Hal ini tentu ada kajiannya tersendiri—antara lain media acap jadi corong ideologi pemegang kekuasaan, media cuma dapat hadir dengan dukungan masyarakat bisnis, media sendiri adalah suatu usaha bisnis, dan sebagainya—dan tidak perlu kita coba telaah di sini. Tetapi, dalam keadaan sang status quo tidak banyak memberikan penghargaan secara wajar terhadap sumbang peran perempuan di dalam gerakan masyarakat, sumbangsih tersebut akan selamanya tidak terwakili.
Media, yang menjadi kekuatan konservatif karena memelihara status quo dan tidak gemar “mengguncangkan kapal,” lalu mulai percaya pada pesan-pesan yang diterbitkannya sendiri. Lebih parah, masyarakat mulai menerima pesan-pesan status quo tersebut sebagai kebenaran mutlak (the absolute truth). Hal yang tadinya adalah realitas ciptaan akhirnya merusak dan berkembang seolah, dan menjadi, realitas yang nyata.
Akhirnya, topik macam sumbang peran perempuan dalam masyarakat, yang tidak terepresentasikan di dalam media, sama sekali tidak terungkap. Dan itu dianggap sebagai suatu kebenaran yang menggambarkan keadaan masyarakat sesungguhnya. Tapi karena di dalam kehidupan sehari-hari kita tetap lihat kenyataan ada perempuan yang ikut giat bekerja dan menyumbangkan gagasan dan pikiran dalam perguliran masyarakat, perempuan sesekali boleh muncul di dalam media. Tapi walhasil, sifat kemunculannya itu sebagai gambaran token belaka. Tidak saja penampilannya secara basa-basi begitu, tetapi penggambarannya pun sebagai unsur yang periferal belaka di dalam masyarakat. Kecenderungan ini lalu terejawantahkan dalam bentuk perempuan sekadar jadi penghias, atau dengan lain perkataan, bumbu penyedap di antara topik-topik yang jadi suguhan media.

Bagaimana Penampilan Perempuan?
Menengok sebentar ke media massa di Indonesia, kita akan melihat bahwa isu-isu berbobot yang menyangkut kepentingan perempuan nyaris tidak disorot secara berarti.
Isu-isu itu misalnya, keberangan jutaan perempuan atas kecenderungan meningkatnya perkosaan di tempat-tempat umum; kekesalan banyak akseptor perempuan terhadap tatacara pelaksanaan pemasangan beberapa alat kontrasepsi secara paksa; meningkatnya sekian penyakit khas perempuan akibat kehidupan modern; atau kemajuan/kemunduran yang dicapai oleh konvensi untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan yang diratifikasi PBB, untuk menyebut cuma beberapa kemungkinan.
Jika pun ada perhatian, media cenderung cuma memberi ruang bagi hal-hal yang secara tradisional disebut sebagai “urusan wanita.” Berita-berita demikian misalnya, yang menyangkut rumah tangga, mode, perawatan keluarga dan anak, serta profil tokoh panutan perempuan—kebanyakan tokoh mana justru jadi sorotan karena melakukan kegiatan persis sekitar ha-hal tersebut.
Jika pun ada topik yang sesungguhnya menyangkut masyarakat luas (program KB, sekolah yang tepat untuk anak, meningkatnya jumlah kepala keluarga yang perempuan), karena sudah jadi porsi ”urusan wanita,” dia cenderung terlanjur diberi label ‘tidak berbobot.’
Surat kabar harian sampai tahun ‘80-an masih memiliki ‘Halaman Wanita.’ Dengan berakhirnya Dekade Perempuan yang dicanangkan PBB (1975-1985), kita melihat bahwa kesukaan menyisihkan satu halaman khusus untuk berita “urusan wanita” itu dihentikan. Tetapi, sesungguhnya, Halaman Wanita masih hadir. Baik di Edisi Minggu ataupun di Halaman Features khusus untuk wanita. Surat kabar Media Indonesia dalam upaya meluaskan sidang pembacanya merasa perlu melahirkan kembali gagasan Halaman Wanita pada tahun 1990.
Topik-topik “urusan wanita” sesungguhnya sudah banyak dikunyah-kunyah oleh majalah khusus untuk wanita, yang cenderung membatasi urusan tersebut sebatas masalah domestik dan personal saja.
Namun, menarik kita simak bahwa media yang sifatnya lebih umum, misalnya koran, majalah berita serta televisi dan radio lalu terjerembab di dalam pembatasan sempit yang sama, yang sebetulnya sudah dimonopoli majalah wanita tadi.
Maksudnya, kita akan membaca, melihat dan mendengar mengenai pembukaan suatu pameran gizi untuk anak oleh seorang nyonya pejabat yang didampingi Ratu Kecantikan Sejagat, misalnya, baik di Kompas, Tempo, TVRI, RCTI dan RRI dengan pola penyajian yang nyaris mirip: di kolom-kolom nama dan peristiwa, atau sebagai “bumbu penyedap” di penutupan acara Dunia Dalam Berita atau Warta Berita RRI setelah penyajian berita-berita “keras” yang lebih “berbobot.”
Kita boleh berargumentasi bahwa berdasarkan sifatnya, berita demikian memang sekadar merupakan bumbu penyedap. Tetapi, ketika ada berita yang berdampak lebih luas terhadap kemanusiaan—misalnya, bahaya yang mengancam masyarakat luas apabila penggunaan ASI tidak dibuat “modis” kembali—karena pelakunya (pemberi ASI) memang hanya bisa perempuan, berita demikian pun di-“buang” ke halaman wanita atau features, atau menjadi bahan kunyah-kunyahan majalah wanita kembali. Padahal kepentingan pria pun termaktub di dalam isu tersebut.
Susan Brownmiller, penulis buku Against Our Will – Men, Women and Rape (Simon and Schuster, New York, 1975) menulisa bahwa ada tiga cara jitu seorang perempuan menjadi laik berita di harian-harian populer: sebagai istri atau putri pembesar, sebagai korban (perkosaan/pembunuhan atau kejahatan lainnya) yang tak bersalah dan/atau tak bernama, atau sebagai pelaku suatu tindak kejahatan sendiri.
Sebagai tambahan, dewasa ini, cara lain jadi laik berita adalah sebagai perempuan eksekutif yang bergerak di bidang yang tadinya didominasi melulu oleh kaum pria.
Baik koran, majalah, televisi maupun radio gemar menyuguhkan ulasan mengenai perempuan yang berprestasi. Profil wanita karir, lembar wanita, wanita sukses—apapun namanya, rubrik profil umumnya mencoba menampilkan sosok yang sangat berhasil, yang kebetulan ber-gender perempuan.
Karena sukses atau prestasi di dalam masyarakat lama sekali menjadi monopoli kaum lelaki, profil perempuan kerap disuguhkan dari sudut pandang kesuksesan ala pria—atau ala sebagaimana diinginkan pria. Maklum, kebanyakan praktisi media massa Indonesia sampai sekarang adalah pria.
Seolah sebagai kompensasi, profil akhirnya menampilkan sang sosok perempuan berprestasi itu sebagai tidak terlalu melenceng jauh dari batas domestik. Batasan yang dari awal sudah dipancang khusus untuknya. Senapas dengan itu, nama suami atau ayahnya juga seolah patut dicantumkan dalam profil (yang menunjukkan kepada kita sebab-musabab sebenarnya mengapa sosok tersebut diprofilkan).
Akhirnya, penampilan perempuan berprestasi macam inilah yang banyak ikut membentuk citra mengenai perempuan yang sukses; yakni perempuan yang cukup rendah hati (atau cukup berbesar hati?) untuk mengatakan: “Tanpa restu suami (ayah, abang, mentor, keluarga—pilih salah satu) saya, saya tidak mungkin mencapai ini semua.”
Kalau patokan sudah jelas begini, agak sulit bagi orang untuk bisa dikatakan sukses jika ia tidak memenuhi sekian kriteria dasar. Perempuan berprestasi yang tidak memenuhi “kriteria dasar” itu, namun nyata-nyata punya sesuatu yang patut diungkapkan akhirnya jadinya ditampilkan sebagai suatu “keanehan,” mirip tokoh sirkus atau pasar malam.
Andaikata ada perempuan yang muncul dalam pemberitaan bukan sebagai istri/putri pembesar, dan bukan pula karena suatu prestasi—berarti dia muncul sebagai sosok yang memang bernilai berita—cara pengulasannya akan dsajikan dari sudut pandang laki-laki.
Ada suatu kenyataan, yang jarang diungkapkan, apalagi diakui sebagai kenyataan: Berita itu sebagian besar dibuat oleh kaum lelaki. Mengapa demikian? Karena di dunia yang besar, luas dan buas ini, cuma laki-lakilah yang dipandang sebagai berkecimpung di dalam ‘kehidupan nyata’—kehidupan yang menyangkut pemerintahan, industri, olah raga, petualangan dan kriminalitas. Media massa digarap, disunting, dan diedarkan oleh pria untuk pria. Pembaca/konsumen media ber-gender perempuan sekadar efek sampingan. Kepentingan mereka cuma diukur sebesar kolom untuk iklan, berita ‘lembik’ yang bisa di-“buang” ke halaman wanita, atau apabila mereka cukup cantik/seronok/kontroversial untuk dapat meningkatkan tiras penjualan media tersebut.
Kembali ke pokok yang disajikan di awal makalah, media tidak sekadar jadi cermin (suatu realitas sosial). Dia juga ikut membentuk realitas itu. Realitasnya adalah kehadiran dan sumbeng-peran perempuan di seluruh alur kehidupan masyarakat. Tetapi karena yang berkecimpung di dalam penggarapan media sebagian besar laki-laki (4.687 wartawan pria dibanding 461 wartawan perempuan menurut catatan mutakhir PWI), sudut pandang laki-laki yang dominan. Itu dibaca dan dicerna oleh masyarakat selama sekian tahun. Akhirnya itu dipandang sebagai kenyataan sosial, bahwa perempuan cuma sekian persen ikut menyumbang dalam gerak dinamika masyarakat.
Dengan kajian begini, siapa yang heran kalau penampilan perempuan yang ditangkap orang awam adalah sebagai sosok yang berada di periferi masyarakat, tidak jadi penentu dalam masyarakat tersebut, dan selalu berada di dalam bayang-bayang sang pria.
Lebih jauh, perempuan baik sebagai obyek maupun sebagai subyek berita, muncul sebagai makhluk yang tidak bersentuhan sama sekali dengan isu-isu sosial, politik dan ekonomi yang besar dan penting.
Jika dalam pemberitaan, perempuan tampil sebagai makhluk yang kurang tertarik untuk mengetahui tentang dunia luar yang luas dan dinamis, di dalam fiksi di media cetak (koran, majalah dan tabloid) maupun media siaran, perempuan kerap tampil sebagai makhluk yang sangat tergantung, tidak percaya diri, tidak rasional, percaya takhayul dan beremosi dalam kadar berlebihan.

Perempuan dalam Berita
Jika akhirnya perempuan masuk berita di Halaman Satu surat kabar atas “kekuatannya” sendiri, lebih sering ia muncul sebagai sosok korban suatu tindak kriminalitas, atau sebagai obyek dalam sebuah kisah yang “bintang utamanya” adalah laki-laki.
Untuk mendukung asumsi ini, penulis mengambil delapan surat kabar harian ibukota yang beredar Jumat, 29 Januari 1993 (data Deppen tahun tersebut menunjukkan di Jakarta beredar 16 surat kabar harian). Secara selayang pandang penulis mengamati berita-berita yang dijajakan di Halaman Satu, sebagai halaman terpenting dan etalase sebuah koran.
Harian-harian tersebut adalah (sesuai urutan abjad huruf depan nama koran): Berita Buana, Bisnis Indonesia, Kompas, Neraca, Pos Kota, Republika, Sinar Pagi dan Suara Karya.
Dari 10 (sepuluh) berita utama yang disajikan di Halaman Pertama Berita Buana, cuma satu yang menyangkut perempuan. Beritanya? Kampiun sumo Takahanada memutuskan hubungan dengan tunangannya, bintang porno Jepang yang cantik dan mungil, Rie Miyazawa...dengan mengumumkan, “Saya sudah tak cinta lagi Rie Miyazawa.”

Harian Bisnis Indonesia menjajakan 11 berita di Halaman Satu, dan tidak satu pun memberitakan gerak-gerik perempuan.
Kompas, sebagai surat kabar yang beroplah besar secara nasional, memuat sembilan berita di Halaman Satu, dengan dua berita tentang perempuan: Monica Seles Jumpa Steffi Graf di Final (Tenis Australia Terbuka 1993); dan pendapat Prof. Dr. Ny. Miriam Budiardjo, anggota delegasi Indonesia, yang mengemukakan, Indonesia sama sekali tidak menentang pembentukan komisi Hak Asasi Regional, hanya Indonesia menyatakan bahwa usaha ke arah itu akan menghadapi banyak kesukaran.
Harian Ekonomi Neraca memuat 7 berita di Halaman Satu, dan tidak satu pun mengulas pandangan atau kegiatan yang dilakukan perempuan.
Sementara itu, harian Pos Kota, yang cenderung memberatkan isi kepada berita kriminalitas, memuat sejumlah 22 berita, dengan lima yang menyangkut perempuan, dua di antaranya lebih berupa pumpunan (features). Sebagai ilustrasi, berikut kutipan kalimat-kalimat pertam kedua pumpunan tersebut:
Nah Ini Dia..! Ditinggal Ronda “Kebobolan”—Tujuan siskamling adalah untuk mencegah terjadinya pencurian, namun yang dialami Asmawi (35) justru kebalikannya. Saat dia ronda kontrol keamanan lingkungan di malam hari, di rumahnya justru ‘kebobolan’ barang antik. Istrinya yang cantik dan dimanjakan selama ini, tengah malam disatroni Panjul (30) tentangga sendiri!
Lelaki yang tinggal di Desa Sumberagung Kecamatan Kesamben Kabupaten Blitar ini memang tergolong mujur. Walaupun wajahnya simpang-siur tak menentu, ketika jatuh hati kepada Atminah (30) yang cantik dan manja dan centil, dapat sambutan positif. Apakah Asmawi main dukun dan guna-guna, tidak juga. Dugaan paling kuat barangkali, Atminah tertarik pada lelaki itu karena kekayaannya yang cukup bisa diandalkan.
Judul pumpunan yang satu berbunyi:
Wanita-wanita Penjaja Cinta di Pantai Selatan (5)—Mesum di balik gundukan karang.
           
Harian Republika, yang adalah surat kabar yang paling baru dalam menggelar khazanah pers Indonesia dewasa ini (pertama terbit 4 Januari 1993), menggelar sembilan berita di Halaman Satu, dengan dua berita tentang perempuan: Unggulan Teratas Seles dan Graf Bertemu di Final, dan berita Ribuan Lebah Ngamuk, Seorang Tewas dan 9 Luka, yang memberitakan bagaimana Jumiati (6) tewas akibat sengatan, dan delapan anak serta seorang ibu, Ny. Sri Pontiah, 33, luka-luka.
Surat kabar Sinar Pagi menyajikan 20 berita di Halaman Satu, dan empat di antaranya menyangkut perempuan: Wanita Pemalsu Kartu Kredit Internasional Ditangkap; Tiga Orang Termasuk Wanita Asing Karyawan Kedubes Pakistan Tewas Tak Wajar; Ibu dan Tiga Anak Tewas Terbakar di Flores dan Wanita Dibius Teman Kencan di Hotel, Dipreteli.
Harian  umum Suara Karya menyajikan 12 berita di Halaman Satu, dan cuma satu berita yang menyangkut perempuan: Monica Seles Lawan Steffi Graf di Final.
Apa yang dapat dikaji dari pandangan sekilas Halaman Satu delapan surat kabar yang beredar dalam sehari?
Berita yang menyangkut perempuan mengetengahkan perempuan sebagai:
·      Korban tindak kejahatan, terutama kekerasan (seksual dan penganiayaan).
·      Korban suatu kekuatan di luar kekuasaan dirinya (alam, penguasa).
·      Obyek seks, dan pendamping kisah yang “dibintangi” laki-laki.
·      Sebagai istri orang.
Yang terakhir dicantumkan karena, sebagai tokoh perempuan satu-satunya (di luar Monica Seles), pengamat masalah politik terkenal Miriam Budiardjo disebutkan sebagai Prof. Dr. Nyonya ... Rekan-rekannya yang sama termahsyurnya cukup dicantumkan sebagai Dirjenpol Deplu Wiryono Satrohandoyo, Dr. T. Mulya Lubis, LLM., dan Prof. Mochtar Kusumaatmadja, tidak peduli status perkawinannya.
Kecenderungan menggunakan singkatan Ny. di depan nama perempuan yang masuk berita atas kekuatannya sendiri bisa dilihat sebagai pengejawantahan gejala lain pula. Yakni, saking jarangnya perempuan masuk berita, untuk membedakan gender-nya praktisi media massa terpaksa mencantumkan singkatan kualifikasi tersebut, supaya orang tahu dia perempuan.
Berarti, kajian ini pun menegaskan premis penulis semula: bahwa berita dibuat oleh pria untuk pria. Asumsinya adalah kaum lelaku sama-sama tahu bahwa yang diberitakan selalu gender mereka. Sekali-kalinya ada lawan jenis yang masuk berita, ia harus ditandai secara khusus.
Dari kesemua contoh di Halaman Satu kedelapan surat kabar, hampir seluruh berita tentang perempuan menunjukkannya sebagai korban. Jika tidak, ia adalah obyek seks, yang merupakan efek sampingan cerita utama tentang laki-laki, atau melulu dicantumkan sebagai penarik perhatian. Sekali-kalinya muncul sebagai pengamat politik, ia adalah seorang Nyonya. Sementara itu, pada kedua harian ekonomi dan bisnis, Bisnis Indonesia dan Neraca, pada Jumat 29 Januari 1993, sama sekali tidak  ditemukan berita berpelaku perempuan di dalam arena perbisnisan di Indonesia.

Kesimpulan
Media massa banyak andilnya dalam pembentukan sikap dan perilaku yang menentukan status perempuan di dalam masyarakat.
Media jarang sekali menampilkan perempuan sebagai terlibat secara signifikan, baik dalam dunia pekerjaan, maupun dalam kehidupan publik.
Alhasil, masyarakat awam umum melihat peran perempuan dalam kehidupan sehari-hari sebagai periferal. Caranya masyarakat awam melihat peran ini akhirnya menjadi salah satu faktor yang menentukan status perempuan itu sendiri di dalam masyarakat.
Secara umum, media nyaris tidak menaruh perhatian sama sekali pada isu-isu khas yang penting bagi perempuan, atau sumbangsih sosial yang diberitakan kepada masyarakat oleh perempuan yang mandiri dan berbakat, atau bahkan bahwa sebagian besar makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat pada tahap awalnya diolah oleh perempuan di desa, sebagaimana dipaparkan penulis di pendahuluan makalah ini.
Dalam media massa, perempuan tampil sebagai sosok pasif, tidak mandiri, tergantung dan tidak berani mengambil keputusan. Distorsi semacam ini akhirnya mengabsahkan dan melestarikan ketimpangan yang ada.


No comments:

Post a Comment

budayakan komentar yang berbudaya