Saturday, November 10, 2012

Pergeseran Konsep Seks, Norma, dan Pornografi Erotika di Masyarakat

(Oleh : Prof. Dr. Burhan Bungin Msi, dalam PORNOMEDIA Konstruksi Sosial Teknologi Telematika & Perayaan Seks di Media Massa)


Dibeberapa media massa baik elektronik maupun cetak, masalah pelecehan seks menjadi sisi lain dari daya tarik atau perekat media tersebut. Dengan kesan dieksploitasi, pelecehan seksual menjadi rubrik-rubrik atau berita menarik dari media tersebut. Media-media itulah yang secara efektif membawa masuk tingkah laku pelecehan seks ini kerumah-rumah. Melihat gejala yang terjadi di masyarakat yaitu munculnya berbagai kasus pelecehan seks, terutama terhadap wanita, maka muncul pertanyaan yaitu bagaimana konsep masyarakat perkotaan saat ini tentang seks normatif. Apa mungkin di mayarakat kota telah terjadi pergeseran konsep seks normatif. Mungkinkah gejala-gejala tersebut hanyalah deviasi semu, atau bahkan hanya sub-kultur tertentu saja yang hidup di masyarakat, kemudian bagaimana pula hubungan antara perubahan sosial yang ada dengan pelecehan seks yang bermunculan saat ini. Mungkinkah hal tersebut adalah sebagai deviasi-deviasi endemis ?

Perdebatan Umum disekitar Erotika dan Pornografi
Perdebatan mengenai erotika dan pornografi muncul kepermukaan tidak hanya karena nilai-nilai seksual, akan tetapi terkadang perdebatan tersebut muncul hanya untuk menentukan makna sebenarnya dari kata porno itu sendiri. Perdebatan kemudian berputar-putar pada sudut pandang objek dan subjek yang selalu saling tidak bersimpul.
Perdebatan-perdebatan latent-manifes selalu dijumpai dimana saja. Hal tersebut antara lain disebabkan karena subjektifitas objek dan subjek pelaku selalu dipertentangkan. Sehingga akhirnya merekonstruksi nilai yang berbeda-beda berdasarkan pada subjektifitas masing-masing.
Konsensus nilai di masyarakat (termasuk pula nilai-nilai seksual) selalu diterjemahkan secara subjektif oleh masyarakat tersebut. Bahkan subjektifitas ini pun terjadi pada sub-sub kultur tertentu di masyarakat dan sekaligus memberi makna tersendiri terhadap perilaku porno. Subjektifitas masyarakat yang berbeda dalam melihat perilaku porno menyebabkan sulit untuk memilah-milahkan perilaku tersebut dari perilaku verbal dan nonverbal atau visual. Bahkan sulit menentukan apakah perilaku tersebut menyimpang atau tidak. Kendati demikian, makna perilaku tersebut dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pada masyarakat agama perilaku porno seks verbal (pornowicara) lebih banyak diterima masyarakat. Dalam arti apabila seseorang berbicara persoalan seks secara verbal, walaupun didengar oleh masyarakat dalam berbagai kelompok umur atau bermakna melecehkan, selalu dapat diterima dengan alasan bahwa tidak ada malu dalam membicarakan persoalan agama, termasuk membicarakan kehidupan seks dalam keluarga.
Dalam karya-karya seni dan hiburan, umpamanya lawak, ludruk, wayang, tayub, ronggeng, ketuk tilu, janggrong, tandakan, gandrung, joget, dan sebagainya, serta dialog-dialog tentang seks walaupun bermakna melecehkan, selalu dapat diterima oleh masyarakat. Bahkan kadangkala hal tersebut dipandang sebagai cara lain untuk membangkitkan rasa humor penonton.
Karya-karya seni visual seperti karya lukis, patung, relief, maupun arca dan semacamnya, walau mengekspos seks secara berlebihan serta bermakna melecehkan, selalu dapat diterima oleh masyarakat sebagai seni itu sendiri. Kendatipun pada masyarakat agamis karya-karya seperti itu selalu ditolak dan tetap dipandang sebagai karya-karya yang mengandung makna porno. Paling banyak mendapat kritik adalah karya-karya seks visual melalui film dan fotografi. Walaupun karya-karya film dan fotografi hanya mengulang apa yang pernah dilakukan oleh para pelukis dan pemahat dalam mengeksploitasi seks, akan tetapi hal ini tetap dipandang oleh mayoritas masyarakat sebagai karya yang sarat dengan pesan-pesan porno.
Melihat bahwa porno itu selalu diterjemahkan secara subjektif menurut konteks nilai yang berlaku di masyarakat dan dalam kurun waktu tertentu, maka perdebatan-perdebatan tentang persoalan seks dan hal-hal disekitarnya harus dimulai dari pandangan intrasubjektif tentang makna sebenarnya dari porno yang diperdebatkan itu.
 Perdebatan harus menjawab persoalan-persoalan porno berdasarkan konsensus nilai di masyarakat Indonesia mengenai makna porno itu sendiri. Paling tidak harus dapat menjawab, pertama bahwa porno dapat menggeserkan konseptualisasi seks secara normatif, dimana seks sebagai ‘sesuatu’ yang sakral menjadi seks yang dipahami sebagai komoditas. Kedua, eksploitasi seks dalam berbagai aspek akan mengundang syahwat bagi lawan jenis, sehingga porno tidak dapat dihindari. Kedua aspek tersebut dapat membawa masyarakat pada konsekuensi perilaku seks menyimpang dimasyarakat, karena dipandang bertentangan dengan nilai konsensus masyarakat di Indonesia.

Norma Seks Sebagai Konsep yang Mendasar
Dimasyarakat dikenal dua konsep seks yang berkaitan dengan seksualitas. Walaupun kedua konsep ini selalu digunakan secara bergantian, namun untuk kepentingan studi ini perlu dibedakan, sehingga diketahui dimana wilayah seks normatif yang diperbincangkan. Konsep pertama adalah seksualitas yang berkaitan dengan semua perasaan dan perilaku biologi manusia. Kedua adalah seksualitas yang berkaitan dengan jenis dan belajar sosial. Konsep pertama disebut sebagai seks dan yang kedua disebut dengan gender[1].
Seks normatif yang dimaksud disini berhubungan dengan konsep kedua yaitu mengenai konsep-konsep yang mengatur perilaku seksual serta berkaitan dengan jenis dan belajar sosial di mayarakat. Seperti yang diketahui bersama bahwa struktur nilai dalam masyarakat Indonesia sarat dengan nlai-nilai kehidupan timur, yang notabene didominasi oleh ajaran agama. Disini, perlakuan-perlakuan seks di dalam perkawinan itulah yang menjadi wilayah seks normatif. Sedangkan tingkah laku merendahkan seks normatif baik secara verbal, visual, atau non verbal maupun kontak-kontak fisik, adalah yang dimaksud dengan porno. Hal ini seiring dengan pendapat seksolog, Pieter Mboik yang mengatakan bahwa batasan porno adalah perilaku yang menyangkut seksual, baik yang berbentuk verbal maupun isyarat (non verbal), apalagi sampai terjadi kontak fisik[2].
Konsep seks seperti yang dimaksud diatas adalah nilai-nilai yang telah terinstitusionalisasi dalam kehidupan mayarakat, dan konsep inilah yang dipandang sebagai etnik masyarakat dalam memperlakukan seks mereka. Dalam arti apabila seks harus diterjemahkan dalam konsep etik, maka seks normatif ini adalah etnik masyarakat yang dijadikan pedoman mengatur bagaimana etik seks harus dilakukan.

Empat Pemikiran Seksualitas Kontemporer
Thanh-Dam Truong, mengajukan empat kecenderungan pemikiran tentang bagaimana masyarakat melihat perilaku seks itu sendiri sebagai gejala yang secara kontemporer muncul saat ini dalam konstruk sosial gender. Pemikiran pertama bahwa seksualitas selalu dilihat dari sisi esensi dan kebutuhan biologis. Dari sisi esensi, seks selalu diterjemahkan kedalam pengertian hakekat seks itu sendiri. Sedangkan dari sisi kebutuhan biologis, seks selalu dipandang sebagai kebutuhan manusia secara alamiah.
Pemikiran kedua mendefinisikan seksualitas sebagai sebuah ekspresi dari makna dan simbol budaya yang mengelilingi seks biologis dan praktek-praktek seksual, yang secara umum mengacu pada pemikiran konstruksi sosial gender. Pendekatan konstruksi sosial gender mengidentifikasikan tiga wilayah ekspresi seksual. Ketiga wilayah tersebut adalah abstrak, menengah, dan empirik.[3]
Dalam bentuk abstrak, makna seksualitas ditemukan dalam simbol dan bahasa verbal, dan kadang-kadang didefinisikan secara longgar sebagai ideologi. Dalam bentuk menengah, simbol dan bahasa verbal tersebut mengekspresikan dirinya dalam agama, media, perdebatan, ilmiah, hukum, serta norma-norma sosial yang diterima secara umum, sedangkan praktek-praktek seksual dan pranata yang mengancam identitas manusia wanita seperti pelacuran, pornografi dan pemerkosaan dianalisa sebagai ekspresi empirik dari gejala-gejala yang lebih mendasar yaitu kontrol pria terhadap seksualitas wanita serta kekerasan pria terhadap wanita. Pendekatan ini lebih memusatkan perhatiannya pada wanita (female-centered), dan sangat jelas bahwa seksualitas sebagai ungkapan kekuasaan sosial pria (secara ideologis, institusional, maupun tngkah laku), serta menganggap bahwa promiskuitas dan kekerasan seksual sebagai ciptaan pria.
Pemikiran ketiga menganut pendekatan historis terhadap hubungan seksual. Pendekatan ini menegaskan peran hubungan ekonomi dalam bentuk norma-norma dan hubungan seksual. Pendekatan ini mencoba melihat sebuah penekanan kontrol terhadap seksualitas dan kerja wanita dalam pengorganisasian sosial pelahiran dan pemeliharaan anak serta pelayanan rumah tangga.
Sedangkan pemikiran keempat mencoba membawa persoalan seks bukan sekedar persoalan laki-laki dan perempuan. Tekanan diberikan pada diskursus seks (wilayah penegetahuan), yang diikuti dengan sumber-sumber seksual dan historis serta metode pengontrol yang beragam. Persoalan seks merambah masuk dalam diskursus yang dominan ditentukan oleh rezim yang berkuasa. Sehingga akhirnya praktek-praktek seks diatur oleh rezim tersebut dan kemudian pribadi-pribadi mengenali dirinya sebagai objek-objek seksual.

Teori Perilaku Adatif dan Pelecehan Seks
Robert K. Merton dalam teori perilaku adatif dan atau perilaku menyimpang, lebih banyak menekankan pada bagaimana aktor  beradaptasi dengan pola-pola sosial budaya dalam memilih tujuan-tujuan (goals) dan alat-alat atau cara (means) yang digunakan. Rasionalisasinya adalah bahwa Merton lebih menspesifikkan teorinya pada kebebasan aktor dalam menyesuaikan perilaku dengan tujuan-tujuan serta cara-cara yang ditempuh, yang mana kebebasan aktor tersebut dipengaruhi oleh faktor sosial budaya yang ada. Disamping itu, bahwa kebebasan adalah identik dengan sikap masyarakat kota. Ciri khas masyarakat kota antara lain memiliki kesadaran yang tinggi dalam hal kebebasan bertindak.
Robert K. Merton dalam teorinya mengenai perilaku adaptasi mengatakan bahwa setiap individu adalah aktor yang dapat mengontrol setiap tindakannya untuk memilih tujuan-tujuan (goals) dan sekaligus pula memiliki kebebasan untuk memilik cara-cara (means) yang telah melembaga untuk digunakannya dalam memperoleh tujuan yang dikehendakinya. Dalam hal ini maka aktor dipengaruhi oleh struktur sosial budaya yang ada disekitarnya. [4]
Dengan kata lain ada nilai-nilai sosial budaya yang merupakan rangkaian konsepsi abstrak yang hidup dalam pemikiran sebagian besar warga masyarakat. Konsepsi ini erat hubungannya dengan apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk serta kaidah-kaidah yang mengatur tindakan aktor untuk mencapai tujuannya. Nilai-nilai sosial budaya tersebut berfungsi sebagai ukuran tindakan aktor. Dengan demikian apabila tidak terjadi penyelarasan antara tujuan-tujuan aktor dengan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan, maka akan terjadi perilaku menyimpang.
Merton kemudian mengajukan beberapa pola perilaku adaptif sebagai usaha aktor untuk menyelaraskan perilakunya untuk memperoleh tujuan-tujuan dan cara yang harus digunakan, sebagai berikut :

Bentuk-Bentuk Usaha Peyelarasan
Nilai Sosial Budaya
Cara-Cara (Norma) yang Telah Melembaga
Conformity
+
+
Innovation
+
_
Ritualisme
_
+
Retreatism
_
_
Rebellion
+/­­-
+/-

·   Perilaku Conformity : terdapat pada aktor yang relatif stabil. Aktor sangat dipengaruhi oleh sosial budaya yang ada pada sistem sosialnya.
·   Perilaku Innovation : aktor yang terlalu menekankan pencapaian tujuan-tujuan, sedangkan aktor menganggap bahwa cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut tidaklah memadai.
·  Perilaku Ritualisme : perilaku ini terdapat pada aktor yang selalu memegang teguh pada cara-cara yang telah melembaga dalam masyarakat, walaupun itu ia harus melepas tujuan-tujuannya.
· Perilaku Retreatisme : perilaku aktor yang tidak mempercayai tujuan-tujuannya berdasarkan sistem sosial budaya yang ada dan cara-cara yang telah melembaga, maka aktor akan meninggalkan tujuan-tujuannya dan cara-cara yang telah melembaga tersebut.
·  Perilaku Rebellion : aktor rebellion dapat mengajukan tujuan-tujuannya dan cara-cara sendiri sebagai subtitusi untuk mencapai tujuannya.
Merton menyarankan bahwa pemenuhan kebutuhan seks harus diselaraskan dengan kaidah atau cara-cara yang telah melembaga dalam sistem sosial yang ada serta memilih perilaku conformity



[1] Paul B. Horton dan Chester L. Hunt: 1987, h. 155. Dalam Tulisan ini, konsep pertama dan kedua disebut dengan seks.
[2] Sarinah: 21 September 1992
[3] Otner: 1974; Rubin: 1975, Ibid.: 1992 hal 6
[4] Robert K. Merton: 1967, hal 131

daftar pustaka:

Bungin, Burhan. 2003. Pornomedia, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika & Perayaan Seks di Media Massa. Jakarta: Prenada Media.

No comments:

Post a Comment

budayakan komentar yang berbudaya