Chapter 7
(Gauntlett, David. Media, Gender and
Identity: An Introduction
Second
Edition.
2008. London & New York: Routledge)
Queer theory, meskipun salah satu interpretasi dari namanya,
bukanlah sebuah teori yang berbicara mengenai homoseksualitas, namun merupakan
sebuah pendekatan menuju hal-hal sexuality (perbedaan jenis kelamin), dan
secara umum- identitas, yang dibangun dari beberapa ide yang dikembangkan oleh
Michael Foucault. Versi yang paling bernilai dari Queer theory dikemukakan oleh
Judith Butler dalam bukunya, Gender Trouble: Feminism and the
Subversion of Identity
(1990). Butler, yang lahir pada tahun 1956 merupakan seorang profesor Rhetoric
and Comparative Literature di
University of California, Berkeley. Sebagian besar orang menilai bahwa Butler sebagai pencipta
Queer theory modern.
Ikhtisar Queer theory
Secara
umum, Queer theory berbicara mengenai:
- Tidak ada identitas dalam diri anda yang bersifat tetap.
- Identitas anda lebih sedikit dari tumpukan (banyaknya) hal-hal (sosial dan budaya) yang anda nyatakan sebelumnya, atau yang telah dikatakan tentang Anda.
- Tidak ada ‘inner self’ yang sesungguhnya.
- Gender, seperti aspek lainnya dalam identitas, merupakan sebuah kinerja/performance (meskipun belum tentu dipilih secara sadar). Hal ini diperkuat melalui pengulangan.
- Oleh karena itu manusia dapat berubah.
- Kesenjangan biner antara maskulinitas dan feminitas merupakan konstruksi sosial yang dibangun pada kesenjangan biner antara pria dan wanita-yang juga merupakan konstruksi sosial.
- Kita harus menantang pandangan tradisional mengenai maskulinitas dan feminitas, serta sexuality, yang menyebabkan ‘permasalahan gender’.
Butler memulai permasalahan gender dengan minatnya pada cara
bagaimana feminisme memperlakukan ‘perempuan’ sebagai kelompok yang tunggal dan
koheren (tepadu dan terarah). Disisi lain, cukup jelas bahwa untuk membuat
argumen tentang dominasi dan arus utama (mainstream) dari kaum perempuan, feminisme
harus berbicara mengenai wanita sebagai salah satu kelompok yang diperlakukan
tidak adil oleh orang-orang dari kelompok lainnya, yakni laki-laki.
Butler mempertanyakan apakah feminisme, dalam pencarian untuk
membangun ‘ketegori perempuan sebagai subjek yang koheren dan stabil,’ mungkin
benar-benar melaksanakan 'suatu peraturan tanpa disadari dan reifikasi hubungan
gender'. Dengan kata lain, salah satu ide awal di belakang feminisme adalah :
yang kita inginkan apakah sebuah masyarakat di mana setiap orang hanya
diperlakukan sebagai orang yang sama tanpa hal-hal berbau perbedaan gender yang
membuat pembedaan apapun. Tapi dengan menciptakan oposisi biner layaknya
'wanita vs pria,’ feminis menegaskan
gagasan tentang perempuan sebagai spesies unik - gagasan yang dalam konteks
lain akan dilihat sebagai diskriminasi gender.
Butler berpendapat jika istilah ‘sex’ atau sebuah pembagian
biner pada diri seseorang menjadi laki-laki atau perempuan- memiliki sebuah
sejarah, jika seseorang tidak selalu membaginya seperti itu, jika wacana
peneliti telah memformulasikan pandangan mengenai ‘dualitas’ sex, hal tersebut
bukanlah sebuah istilah universal yang tetap.
Oleh karena itu, Butler mencoba mempertanyakan bahwa
pembedaan alamiah gender terlihat sebagai sebuah pemberian, namun hal tersebut
juga merupakan sebuah konstruksi- sebuah cara untuk melihat tubuh. Jadi, ketika
kita melihat sex sebagai sebuah kategori yang dipertanyakan, yang tidak
memiliki hubungan yang diperlukan untuk setiap gender tertentu atau kepribadian
maupun identitas, dan yang pada gilirannya tidak dapat mendikte keinginan, maka
kita sampai pada suatu kesimpulan baru, yakni :
Jika gagasan stabil mengenai gender tidak lagi terbukti
menjadi premis
dasar politik feminis, barangkali
semacam politik feminis
baru tidak diharapkan
menyaingi
reifikasi
gender dan
identitas,
yang akan mengambil
variabel konstruksi identitas sebagai
prasyarat
metodologis
dan normatif,
jika bukan sebagai tujuan
politik.
(Butler, 1990: 5)
Dengan kata lain, feminis tidak dapat mengasumsikan bahwa
seseorang akan mempunyai jenis identitas tertentu hanya karena orang tersebut
‘perempuan’ atau ‘laki-laki’. Butler menunjukkan bahwa feminisme merupakan hak
untuk mengkritik generalisasi tentang 'pria' dan 'wanita' yang dibuat oleh
mereka serta mengidentifikasi diri mereka sebagai patriaki dan pen-diskriminasi
gender- sehingga harus menghindari pembuatan generalisasi seperti diri mereka
sendiri.
Butler menyatakan bahwa, desakan
(oleh beberapa feminis) pada koherensi dan kesatuan kategori wanita secara
efektif telah menolak banyaknya persimpangan budaya, sosial, dan politik di
mana susunan konkret "wanita" dibangun. Pernyataan bahwa wanita
membentuk satu kesatuan, kelompok tertindas, belum memungkinkan pemahaman yang
realistis tentang wanita (atau lainnya) dalam masyarakat. (dalam interviewnya
pada tahun 1993, Butler menegaskan kembali hubungannya dengan feminisme, dan
mengatakan bahwa dia khawatir bahwa Queer theory akhirnya berarti sesuatu yang
sangat anti feminis.
Gender as a Performance
Kebanyakan
humanist memandang seseorang dalam melihat
gender sebagai sebuah atribut, dimana terinstal oleh budaya, setidaknya menjadi
tetap sebagai sebuah bagian permanen dari diri seseorang. Tapi Butler lebih
memilih posisi historis dan antropologis tersebut untuk memahami gender sebagai
relasi antara subyek sosial yang dibentuk dalam konteks spesifik. Dengan kata
lain, dari pada menjadi atribut tetap, jenis kelamin (gender) seseorang harus
dilihat sebagai variabel cairan (fluida) yang dapat bergerak dan berubah dalam
konteks dan pada waktu yang berbeda.
Gender, kemudian merupakan sebuah kinerja (performance) dan tidak lebih. 'Tidak ada
identitas gender di balik ekspresi gender; ... identitas secara performative dibentuk oleh 'ekspresi’ yang
dikatakan sebagai hasilnya (ibid: 25). Selanjutnya, gender adalah apa yang anda
lakukan pada waktu tertentu, daripada siapa anda sesungguhnya secara universal.
Kita sudah mengenali gender sebagai sebuah pencapaian. Jika
seorang wanita memakai baju baru dan make-up, dia akan menyatakan 'Saya merasa
seperti ‘wanita’ malam ini’, kasus serupa, seorang pria yang mengambil bor
listrik mungkin melihat dirinya di cermin dan akan berkata ‘betapa laki-lakinya
saya!’ Fakta mengenai ekspresi diatas menunjukkan bahwa sebagian besar orang,
setidaknya sadar bahwa gender merupakan semacam kinerja (performance) (ibid: 22).
Dalam beberapa saat tertentu, media dapat membuat perilaku
gender tampak lebih alami, tapi jika dilihat dari waktu ke waktu, perubahan
yang luas mengungkapkan kekonstruksian dari gender performance.
Subversion
Kita
tidak harus menunggu revolusi gerakan feminisme, atau masyarakat untuk menjadi
lebih liberal serta menjadi berbeda sebelum peran gender dapat diubah, Butler
menyatakan (ibid: 30)
Jika seksualitas secara kultur tersusun
dalam hubungan kekuasaan
yang ada,
maka dalil dari seksualitas normatif yang berada "sebelum",
"diluar", atau "diantara"
kekuasaan, merupakan
sebuah kemustahilan budaya dan merupakan mimpi politik praktis, sebagai penundaan yang nyata dari
tugas kontemporer
serta pemikiran ulang
kemungkinan
subversif
terhadap seksualitas
dan identitas
dalam hal kekuasaan tersebut.
Dengan
kata lain, ‘forms’ Gender dan Sexuality dapat diciptakan kembali saat ini.
Beberapa komentator memfokuskan terhadap pernyataan Butler mengenai forms gender yang dapat dilemahkan/dirusak
melalui parody. Pada kenyataannya, ide Butler untuk
melemahkan pengertian tradisional mengenai gender tersebut berjalan dengan baik
melebihi parodi, jelas dalam hal apapun.
Dengan memberikan bentuk/wujud berbeda terhadap performance harian kita mengenai identitas, kita
mungkin dapat mengubah norma-norma gender dan pemahaman biner mengenai
maskulinitas dan feminitas. Kemudian, dikeseharian kita, hal ini akan menjadi project
politik.
Did Butler really say that?
Semenjak Gender Trouble dipublikasikan, beberapa orang
menginterpretasikannya dengan mengatakan bahwa sex dan gender merupakan social construct yang kita harapkan. Butler menyatakan, paling tidak, pengertian
terbaru tentang gender bisa ditantang dan ditumbangkan melalui alternative
performance identitas.
Namun, argumen ini juga menjadikan Butler mendapat masalah dengan orang-orang
yang berfikir bahwa hal ini merupakan pandangan yang sangat idealis tentang
bagaimana politik seksual dalam masyarakat modern dapat berubah.
Butler kemudian berfikir bahwa, walaupun terdapat kemungkinan
terhadap subversi, kita masih tetap harus mengikuti mengapa gender masih
menjadi bersifat ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’ seperti yang ditetapkan oleh ilmu
biologi dan terlihat sebagai realitas yang spesifik bagi kebanyakan orang.
Using Butler
Sebuah kritik yang nyata tentang Butler adalah bahwa dia
tidak benar-benar menguraikan bagaimana orang-orang harus menolak permasalahan
gender, atau menyebabkan ‘gender trouble’. Tidaklah mudah untuk membayangkan
apakah forms ini akan bertahan meskipun Butler
tidak menyertakan ilustrasi.
Teori-teori feminis dan Gender dengan cepat mendapat tempat,
benar saja, bahwa di awal 1990-an, ikon
pop Madona tampaknya merupakan perwujudan hidup dari manifestasi Butler. The
Sex book (1992), the videos for Express Yourself (1989), Justify My Love
(1990), and Erotica (1992), bahkan, keseluruhan dari album Erotica
merepresentasikan semuanya- pengaburan dan kebingungan gender, keluwesan
seksualitas, pelanggaran terhadap stereotip maskulin dan feminin-, seperti apa
yang Butler serukan.
Meskipun demikian, tantangan yang disusulkan oleh Butler
mengenai gender akan mendapatkan kekuatan lebih jika dibawakan oleh tokoh-tokoh
media populer-dan gagasan tentang 'penyebaran' identitas jauh lebih masuk akal
jika kita dapat mengasumsikan bahwa media massa akan memainkan peran penting
dalam menyebarkan gambaran tersebut. Untuk menggoyahkan asumsi tentang
kesenjangan biner antara wanita dan pria, maskulinitas dan feminitas, gay dan
‘yang lurus,’ apa yang bisa lebih kuat daripada serangan dua arah tersebut,
baik kehidupan sehari-hari maupun media populer?
The Anti Butler-Martha Nussbaum
Berbeda dengan tujuan aktivis feminis yang telah berusaha
membuat hidup lebih baik bagi perempuan di dunia nyata, melalui sikap Butler,
Nussbaum sepertinya berpikir bahwa Butler hanya bermain dengan parodi gender di
pinggiran masyarakat. Nussbaum menambahkan:
Gerakan feminisme
yang baru (yang dipimpin oleh Butler), menginstruksikan anggotanya bahwa
terdapat ruang kecil bagi perubahan sosial dalam skala besar, atau mungkin saja
tidak ada ruang untuk hal tesebut. Kita semua, sedikit maupun banyak,
terpenjara dalam struktur dari kekuasaan yang mendefinisikan kita sebagai
wanita; kita tidak dapat mengubah struktur tersebut dalam skala yang besar, dan
kita tidak dapat lari dari hal tersebut. Semua yang kita harapkan untuk itu
adalah agar mendapatkan ruang pada struktur kekuasaan untuk memparodikan
mereka, untuk mengolok-olok mereka, dan untuk melanggarnya dalam berbicara. (Nussbaum, 1999)
Butler tentu saja mengatakan kebalikan dari apa Nussbaum
utarakan, -kita tidak ditakdirkan untuk berada pada keadaan terulangnya
struktur kekuasaan di mana kita dilahirkan, dan hal ini harus secara aktif
ditantang dan diubah. Nussbaum sangat antusias terhadap perubahan sosial
feminis yang dibawa oleh hukum dan tindakan politik lainnya pada tingkat
'makro', mungkin ini yang membuat Nussbaum tidak dapat melihat ide-ide Butler
sebagai tantangan nyata yang bekerja pada tingkat yang berbeda, dari tingkat grass roots 'mikro' kehidupan sehari-hari.
Sedangkan bagi David Gauntlett, tindakan penyerangan yang
dilakukan oleh Nussbaum terhadap Butler merupakan sebuah kesalahan, serta gagal
dalam mengapresiasi perubahan radikal pada kehidupan sosial, harus
diperjuangkan dalam kegiatan interaksi dan komunikasi sehari-hari (dan media
secara potensial), yang Butler tempatkan. Komentarnya tentang elitisme dan
arogansi gaya Butler, bagaimanapun juga, mungkin berada pada posisi yang tepat.
Namun demikian, Butler menyediakan perangkat lain dapat diambil dan
dipopulerkan, dan hal tersebut membuat kontribusi yang berharga.
Another attack on Queer theory
Dalam artikel yang dipublikasikan dalam jurnal ‘Sexualities’,
Tim Edwards membuktikan
apa yang ia katakan mengenai ‘Kritik yang kuat terhadap Queer theory dan
politik’ (1998: 471).
1. Identitas selalu bersifat stabil
Edward
mencatat bahwa definisi dari Queer theory tidak jelas, namun benar diamati
bahwa ‘Queer theory terutama didefinisikan sebagai upaya untuk melemahkan
wacana keseluruhan kategorisasi seksual dan lebih khusus, keterbatasan
kesenjangan heteroseksual-homoseksual sebagai sebuah identitas’ (ibid: 472)
2. Queer theory berbohong, dengan berfokus pada ‘fancy
theory’ dan teks budaya daripada kehidupan nyata
Edward
mencatat bahwa beberapa versi dr Queer theory menggunakan teori poststructuralis dan psikoanalitik yang tidak
didasarkan pada jenis studi empiris konvensional. Edward juga menyatakan
komplainnya bahwa beberapa Queer theorists berasal
dari latar belakang literatur dan bahwa argumen gender-bending ditunjang dari
teks literatur daripada kehidupan nyata. Mengilustrasikan argumen dari
referensi beberapa novel tidak menyamakannya dengan penelitian yang layak di
dunia nyata.
3. Queer theory memandang popular culture secara optimis
Sejumlah
penganut Queer theory telah menemukan kenyamanan terhadap analisis mereka
terhadap teks tertentu yang dipilih dari dunia popular
culture dan art:
apa yang mungkin paling mencolok tentang karya-karya
tersebut adalah kurangnya pembanding perhatian pada penindasan terhadap seksual
dan bahkan ras minoritas demi sebuah bentuk optimisme budaya yang berfokus
terutama pada isu representasi.
Secara
jelas Edward menegskan bahwa studi akademis mengenai beberapa seni fotografi
‘transgesif’ tidak akan mengubah dunia.
4. Melihat gender sebagai sebuah wacana menghilangkan
signifikansi terhadap kenyataan pada dunianya
Edward mengatakan bahwa argumen yang dikemukakan oleh Butler
yakni, gender yang ada pada tingkatan wacana, menghilangkan signifikansinya
terhadap sebuah ‘praktek institusi sosial’. Namun bagi Gaunlett, Butler
sangatlah memperhatikan bahwa gender dan sexuality dengan kokoh didirikan
sebagai fenomena sosial yang tampaknya 'nyata' dan kuat.
5. Perayaan terhadap keragaman dapat menyebabkan sikap
individualis dan fragmentasi
Memarginal-kan
kelompok sebaiknya ‘tetap-bersama’ daripada berfokus terhadap perbedaan. Hal
ini masuk akal. Bagaimanapun juga, apa yang feminis kulit putih gunakan untuk
mengatakan pada perempuan kulit hitam dan menjaga mereka tenang –ras harusnya
dihilangkan sebagai sebuah isu juga, sehingga tidak membagi pergerakan
perempuan.
6. Dengan merayakan perbedaan, politik Queer memperkuat
ide mengenai gay dan lesbian sebagai sebuah marginal dan alternatif
Queer
theory dengan tegas menolak ide mengenai ‘gay’ secara
intrinsik berbeda. Point utama dari perayaan kebebasan dan perbedaan adalah
bahwa setiap orang hanya sedikit berbeda
dari orang lain (dan mereka senang tentang hal tersebut). Jadi hal ini sangat
bertentangan dengan ideologi mengenai ‘heteroseksual vs homoseksual’ yang
Edward sampaikan berikut ini:
faktor sekunder dan lebih empiris adalah bahwa,
sementara untuk beberapa pria gay dan lesbian, hal seksualitas mereka adalah
tentang cara hidup dan bagian sentral dari identitas mereka. .... baik secara
intrinsik benar atau salah, disini juga terdapat perhatian/tekanan pada
pendekatan sebelumnya. (1998: 479-480). Pendekatan ini mungkin terlalu bersifat politis dalam
hubunganya dengan identitas individu.
7. Queer theory merayakan pleasure,
sex, the visual, the young and trendy
Queer
theory harus mengurangi penekanannya terhadap pleasure dan visual. Karena disana terdapat tempat
bagi pleasure untuk
ditekankan sebagai alternatif yang membangkitkan semangat kepada stigma AIDS,
homofobia, dan identitas 'politik’ murni , namun dikhawatirkan bahwa disini
terdapat penekanan yang penuh terhadap sex.
(tulisan diatas diterjemahkan oleh: Andrine Prima Afneta-Universitas Indonesia)
sumber :
Gauntlett, David. Media, Gender and
Identity: An Introduction
Second
Edition.
2008. London & New York: Routledge
jual viagra
ReplyDeleteviagra asli
obat kuat viagra
viagra jakarta
obat kuat jakarta
pil biru
toko viagra
viagra usa
viagra original
obat viagra
obat kuat viagra
viagra asli
toko viagra
viagra
viagra asli
jual viagra
jual obat kuat viagra asli