Persoalan redistribusi dalam wacana Neo liberalisme di
Indonesia
Dalam proses perjuangan tak
berkesudahan mewujudkan cita-cita kebangsaan menuju keadilan sosial, bangsa
Indonesia saat ini telah terintegrasi dalam arus pusaran globalisasi
(Amminudin, 2009: 2). Melalui klaim politik progresif dalam konteks persoalan
redistribusi (redistribuition matters),
mempersoalkan bagaimana keadilan ditinjau sebagai proses distribusi barang dan
sumber daya secara adil, serta kesetaran akses bagi tiap-tiap individu. Klaim keadilan
redistributif ini telah diperbincangkan sejak lama oleh berbagai pandangan
filsafat politik dari pemikiran sosialis, sosial demokratis, sampai dengan
rumusan canggih dari kaum libertarian seperti John Rawls (1971) dan Ronald
Dworkin (1981) yang mensintesakan kemerdekaan individu dan kesetaraan
distributif sosial demokrasi.
Paradigma
keadilan redistribusi memfokuskan ketidakadilan dari perspektif sosial ekonomi
dan berangkat dari analisis bahwa akar-akar ketidakadilan sosial pertama-tama
bermula dari struktur sosial-ekonomi masyarakat yang timpang. Ketidakadilan
sosial dalam perspektif keadilan redistributif termanifestasi dalam bentuk
terjadinya eksploitasi ekonomi (pemerasan tenaga pekerja untuk keuntungan
kalangan pemilik modal, penghisapan sumber daya alam untuk kepentingan bisnis
dan korporasi tanpa mengindahkan kepentingan publik), marjinalisasi ekonomi
(ketika tiap-tiap orang dibatasi oleh kondisi upah minim dan tidak adanya akses
kepada penghasilan ekonomi yang lebih baik bagi rakyat), dan deprivasi ekonomi
(ketika tiap-tiap orang hidup dibawah standar hidup material yang normal).
Dalam
konteks globalisasi terkini, perjuangan merealisasikan keadilan
sosial-redistribusi tampil mengedepan ketika berhadapan dengan penetrasi
agresif ekonomi neoliberal yang semakin memperdalam jurang ketidaksetaraan dan
disparitas ekonomi global. Memperjuangkan keadilan sosial dalam konteks
keadilan redistribusi, yaitu pembagian sumber daya dan barang-barang secara
lebih adil serta meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik lagi bagi publik,
menjadi penting ketika berhadapan dengan realitas ekonomi pasar tanpa regulasi,
digerakkan oleh kepentingan privat dan berjalan ditengan absennya komitmen
kepada publik (Wim Sierckxsens 2000; Noreena Hertz 2002; Marjorie Majo 2005). (Aminuddin,
2009: 4)
Persoalan
utama dari tatanan ekonomi neoliberalisme pertama-tama berada tepat dijantung
logika dari gagasan neoliberalisme itu sendiri. Gagasan neoliberalisme
berangkat dari sebuah pengertian mendasar bahwa transaksi pasar ekonomi antar
manusia merupakan satu-satunya model yang mendasari semua aktivitas dan
tindakan antar manusia (B. Herry Priyono 2003). Setiap dinamika kehidupan dan
transformasi yang berlangsung diranah kehidupan manusia hanya dapat difahami
ketika dimasukkan dalam prespektif model transaksi pasar ekonomi. Dalam
kehidupan bernegara, pandangan neoliberalisme ini memberikan pengaruh besar
dalam melihat hubungan antara negara-pasar-publik.
Diskursus neoliberalisme menuntut kinerja dan
kepentingan pasar sebagai satu-satunya tolak ukur dalam menilai kebijakan yang
digulirkan oleh pemerintah. Akibatnya negara tidak memiliki kewenangan apapun
untuk mengontrol dan mencampuri pasar bebas. Ketika kepentingan pasar dan
kepentingan publik berbenturan, imperatif neoliberalisme menuntut agar negara
memihak kepada pasar. Sebagai konsekuensi dari penempatan logika transaksi
pasar bebas sebagai ‘mahkamah tertinggi’ dan parameter tiap relasi sosial yang
ada, interaksi antara negara dan masyarakat harus berjalan melalui lintasan
tersebut. Logika pasar bebas mengasumsikan pengedepanan kepentingan tiap-tiap
individu, bukan kebijakan kolektif maupun kepentingan publik. Masyarakat dalam
asumsi pandangan neoliberal adalah kumpulan dari individu-individu yang dapat
dipuaskan dalam relasi permintaan dan penawaran di dalam pasar bebas.
Pengedepanan
kebaikan bersama sebagai pengatasnamaan keadilan sosial dalam prinsip bernegara
kemudian hilang, digantikan dengan rezim pasar bebas, dan memunculkan
persoalan-persoalan mendasar seperti kemiskinan, marjinalisasi ekonomi,
eksploitasi ekonomi, dan deprivasi ekonomi. Persoalan mendasar tersebut bukan
lagi tanggung jawab negara. Tanggung jawab utama negara dalam disiplin rezim
kuasa neoliberalisme adalah menjaga agar pasar bebas berjalan tanpa hambatan
(Aminuddin, 2009: 4-6).
Hal
ini berlanjut pada klaim terbaru politik progresif yang berangkat dari
perspektif perjuangan untuk memperoleh pengakuan (struggle for recognition) yang terkait dengan fenomena kehadiran trend politik identitas. Persoalan
pengakuan/kepedulian (recognition)
terkait dengan konstruksi identitas yang terbentuk secara dialogis, melalui
proses terjadinya saling pengakuan, dimana sesuatu dipandang sebagai sebuah
subyek ketika ia mengakui dan diakui oleh subyek yang lainnya.
Pengakuan
dari dan terhadap yang lain menjadi esensial dalam terbangunnya identitas.
Didalam hubungan relasional antar subyek tersebut terbangun relasi interaktif
antara suatu subyek dengan yang lainnya secara setara sekaligus terpisah. Dalam
kancah globalisasi terkini, secara sosiologis perjuangan pengakuan diri (struggle for self recognition)
dikondisikan oleh interaksi transbudaya
dan komunikasi intens antara komunitas kultural sebagai konsekuensi dari
akselerasi migrasi antara negara, penyebaran media global dan kebebasan arus
informasi, serta desakan kultur hagemonik budaya massa sebagai imbas
globalisasi.
Oleh
karena itu, sangat penting untuk meletakkan posisi media terutama dalam sejarah
perkembangan kontemporer saat ini untuk meninjau perubahan-perubahan dalam
pembentukan identitas-identitas baru dalam masyarakat. Tidak bisa dipungkiri,
citra-citra baru banyak dibangun oleh media. Media massa juga merupakan mesin
angkut dan media produksi gaya hidup yang sangat luar biasa. Dengan luar biasa
pula, media massa mampu menjadi magnet kesadaran dan citra diri atas apa yang
harus dilakukan individu. Media massa menjadi tempat rujukan terpenting abad
ini.
Dimensi
kekuasaan media massa tidak sekedar pada pesan yang dibawa tetapi juga
keseluruhan entitas pengaturannya yang selama ini dibangun. Pertama, apa yang
dibawa dan apa yang disusun dalam pesan-pesan media tentu saja amat ditentukan
oleh kepemilikan kekuasaan atas media massa. Ada rasionalitas ekonomi politik
yang bertalian dengan rasionalitas pesan yang kemudian tercermin. Pesan media
dalam logika ini lebih cenderung merujuk pada siapa yang berkuasa untuk
menentukan setiap tanda, setiap teks dan setiap bahasa yang tepat untuk
disiarkan. Tentu ada dinamika ‘tanda’ selanjutnya ketika pesan itu sudah diterbitkan
atau disiarkan. Masyarakat bukan entitas pasif sama sekali. Masyarakat juga
bukanlah tabula rasa yang kosong untuk sekedar diisi. Ia juga entitas kreatif
yang juga menemukan ‘kebermaknaan’ sebuah ‘tanda’ atau ‘pesan’. Namun demikian,
dalam dominasi media massa selama ini, ada keterbatasan-keterbatasan
kreatifitas karena, beberapa hal. Pertama,
ruang referensi sebagai rujukan sudah banyak terdominasi oleh apa yang kemudian
sudah terkontaminasi media massa, kedua,
institusi media massa bukanlah ruang yang netral tetapi juga terisi banyak
motivasi kecenderungan yang sudah dibentuk sedemikian rupa, ketiga, ketiadaan akses yang adil bagi
semua untuk menentukan apa dan bagaimana pesan harus disusun, membuat masyarakat
mau tidak mau harus mengunyah dan menelan sesuatu yang sudah ‘terberi’ oleh
media massa. Dalam proses yang panjang, masyarakat akan membangun relasi
ketergantungan yang amat erat pada media massa.
Titik
ketimpangan inilah yang akan mencuatkan permasalahan tersendiri. Tidak berkuasanya
masyarakat untuk terlibat secara penuh menentukan bagaimana isi media selalu
menjadi celah kosong yang dimanfaatkan media. Apalagi ketika masyarakat sudah
begitu tergantung dan terikat oleh kebutuhan akan media massa. Tidak sedikit
kasus-kasus konflik identitas yang meluas juga terpicu oleh efek-efek yang
tidak terhindarkan dari konten media massa. Bahkan dalam hal tertentu, konflik
telah menjadi ‘komoditas menguntungkan’. Kesan realitas kedua yang ditampilkan
media massa seakan justru telah menjadi ‘realitas’ itu sendiri yang orisinil.
Ketika
masyarakat menonton dan menyimak perkembangan informasi oleh berbagai media
massa, seakan apa yang dibaca, apa yang didengar dan apa yang dilihat sebagai
realitas apa adanya. Pada kenyataannya, apa yang media tampilkan hanyalah
realitas kedua yang sudah banyak mengalami perubahan baik dalam teknis
penyampaian, editing ataupun juga karena dimensi ruang media itu sendiri. Apa
yang masyarakat lihat dan dengar bukanlah ‘realitas sesungguhnya’ tetapi
sekumpulan kode bahasa yang khusus dan termodifikasi dalam kemampuan teknologi
audio visual maupun cetak yang menyerupai gambaran realitas. Walaupun sebenarnya
gambaran realitas yang ditampilkan tidak akan pernah menyamai atau mewujud
seperti realitas itu sendiri.
Ketika
rujukan terhadap pembentukan identitas adalah realitas yang sudah
terkomodifikasi dalam kepentingan-kepentingan tertentu yang jarang disadari
oleh masyarakat dan diterima begitu saja menjadi kebenaran, maka di titik
inilah persoalan terbesar dari ‘krisis identitas’ yang timpang dan dominatif. Sebuah
identitas selalu akan dipengaruhi oleh perkembangan konteks ruang yang lain
seperti kebudayaan politik, ekonomi dan lain sebagainya. Identitas juga selalu
merujuk pada relasi-relasi dengan kepentingan-kepentingan yang lain. (http://risangpribadi.blogspot.com/2010/02/kuasa-media-massa-dan-politik
identitas.html - diakses pada 9 Mei 2012)
Hegemoni Realitas dalam Iklan
Rujukan terhadap pembentukan identitas
dalam media massa berkaitan secara erat dengan kegiatan periklanan atau
komersialisasi. Dalam menganalisis masalah
komersialisasi dan kapitalisme, sebagaimana Marx, Benston (1969, dalam Ollenburger, 2002: 53) mengembangkan dua tipe nilai yakni
nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange value). Secara sederhana, nilai guna dapat dimaknai sebagai proses individual dalam menikmati barang atau jasa dengan pertimbangan kegunaan dan
manfaat. Sedangkan nilai tukar berarti menggunakan barang dan jasa atas pertimbangan konstruksi sosial
dan pasar. Dengan demikian, nilai tukar merupakan kebutuhan
yang tidak primer, tetapi akibat derasnya arus
komunikasi dan informasi membuat seseorang merasa wajib dan perlu untuk membeli produk-produk yang
diiklankan.
Menurut Jeffkins (1997), iklan adalah
cara menjual melalui penyebaran informasi, dimana merupakan suatu proses
komunikasi lanjutan yang membawa para khalayak ke informasi terpenting yang
memang perlu mereka ketahui. Dengan kata lain, iklan adalah suatu cara
membicarakan hal-hal tertentu kepada khalayak ramai, sebagai calon konsumen,
mengenai suatu produk, baik barang maupun jasa, melalui berbagai media
komunikasi massa, baik cetak maupun elektronik, dengan bermacam metode untuk mempengaruhi
atau mendorong masyarakat, sebagai calon konsumen, agar tertarik untuk membeli
barang atau jasa tersebut.
Realitas yang ditampilkan dalam iklan,
bukanlah sebuah sebuah cermin realitas sosial yang jujur. Tapi iklan adalah
sebuah cermin yang cenderung mendistorsi realitas, atau Marchand menyebutnya
sebagai a hall of distorting mirrors. Iklan cenderung membangun realitas
yang cemerlang, melebih-lebihkan, dan melakukan seleksi tanda-tanda atau images,
sehingga tidak merefleksikan realitas akan tetapi mengatakan sesuatu tentang
realitas. Iklan merangkum dilema-dilema sosial atau aspek-aspek realitas sosial
dan mempresentasikannya secara tidak jujur. Iklan menjadi cermin yang
mendistorsi realitas yang dipresentasikannya dan sekaligus menampilkan images
dalam visinya (Noviani, 2002:53-55).
Tidak ada iklan yang ingin menangkap
kehidupan seperti apa adanya, akan tetapi selalu ada maksud untuk memotret
ideal-ideal sosial dan menampilkannya sebagai sesuau yang normatif. Iklan tidak
berbohong akan tetapi juga tidak mengatakan yang sebenarnya. Dunia abstrak yang
dipresentasikan iklan merupakan sebuah usaha yang disengaja untuk
mengkonstruksi asosiasi-asosiasi antara suatu produk dengan imajinasi individu,
dengan kelompok demografik maupun psikografik tertentu, atau dengan dengan
kebutuhan dan kesempatan tertentu. Sedikit berbeda, menurut Schudson, iklan
tidak merepresentasikan realitas, tidak pula membangun sebuah dunia yang
betul-betul fiktif. Iklan berada dalam ruang realitasnya sendiri, yang
disebutnya sebagai capitalism realism. Periklanan dalam masyarakat
kapitalis tidak menggambarkan realitas dengan apa adanya, akan tetapi realitas
yang seharusnya (what the life should be) dengan berusaha
menyamai atau melebihi nilai kehidupan (Noviani, 2002:56).
Iklan berusaha menampilkan sebuah
representasi realitas konkret yang secara historis benar dalam perkembangan
kapitalisnya. Iklan pun melakukan simplifikasi-simplifikasi dan
tipifikasi-tipifikasi sebagai upaya untuk mencapai efektifitas penyampaian
pesan. Iklan juga selalu mengemukakan kemajuan atau progress, memfokuskan pada hal-hal yang baru, dan kalaupun
menghadirkan tanda maupun image budaya, hanya dalam rangka membantu
khalayak mengasimilasi kreasi baru dari iklan. Dalam iklan selalu ada optimisme
dengan cara mengidentfikasi solusi dari setiap permasalahan dengan produk
-produk tertentu mapun dengan gaya hidup.
Pemahaman capitalism realism Schudson
hampir sama dengan apa yang dikemukakan Erving Goffman mengenai commercial
realism. Commercial realism adalah sebuah transformasi standar yang
diterapkan dalam periklanan, yaitu semacam penggambaran tentang publik yang
digunakan oleh iklan. Commercial realism membedakan cara orang
mempresentasikan dirinya dalam kehidupan aktual dengan dua cara, yaitu:
1.
Jika dalam kehidupan nyata
aktivitas manusia bersifat sangat ritual, didasarkan pada idealisasi-idealisasi
sosial, maka dalam iklan, aktivitas tersebut bersifat lebih ritual lagi. Iklan
justru menyangatkan atau melebihkan apa yang terjadi di dunia nyata,
2.
Dalam kehidupan nyata
individu tidak cukup bisa memperbaiki kehidupan mereka untuk mendapatkan
idealisasi sosial yang betul-betul ritual sifanya. Akan tetapi dalam commercial
realism perbaikan kehidupan dapat dilakukan dengan sangat cermat sehingga
idealisasi sosial dapat digambarkan dengan selengkap mungkin (Noviani, 2002:56
-57).
Demikianlah realitas iklan, seperti
dijelaskan Schudson dan Goffman, merupakan capitalism realism atau commercial
realism. Menyajikan realitas-realitas yang merupakan penyangatan dari
realitas sosial yang nyata, menyajikan simplifikasi, idealisasi sosial, dan
tipifikasi yang diterima individu sebagai kebenaran, realitas yang taken for
granted. Iklan, sebagai bagian dari masyarakat kapitalis, memang powerfull
dan sulit dielakkan. Menyediakan gambaran tentang realitas, sekaligus
mendefinisikan kebutuhan dan keinginan individu. Iklan mendefinisikan makna
gaya hidup, makna selera dan cita rasa yang baik, bukan sebagai sebuah
kemungkinan atau saran, melainkan sebagai tujuan yang hendak dicapai dan tidak
bisa untuk dipertanyakan. Menurut Williamson, iklan selain memiliki fungsi
untuk menjual produk pada individu, juga memiliki fungsi yang lain, yaitu
menciptakan struktur makna. Dalam menjalankan fungsinya untuk menjual produk,
iklan harus memperhitungkan bukan hanya kualitas dan karakter yang melekat pada
produk, tetapi juga memperhitungkan cara-cara yang dapat dilakukan untuk
membuat benda tersebut mean something to us. Dengan kata lain,
periklanan harus mampu menerjemahkan pernyataan dari things statements menjadi
human statements (Judith, 1985:12).
Iklan melalui pesannya mempertukarkan
nilai-nilai kemanusiaan yang dilekatkan pada produk. Iklan memberikan makna
sosial tertentu terhadap sebuah produk. Jadi periklanan menjual sesuatu yang
lain disamping barang-barang konsumsi, iklan menyediakan struktur atau kelas
tertentu bagi individu dimana mereka dan produk dapat dipertukarkan. Iklan
menjual pada kita ourselves (diri kita). Dan individu membutuhkan diri
tersebut. Iklan membuat individu merasa sebagai in-group atau out-group
dari suatu kelompok sosial melalui barang-barang konsumsi yang mampu mereka
beli, dan hal ini mengaburkan posisi dan kelas sosial sesungguhnya dari
individu. Sistem kepercayaan dan gagasan semacam inilah yang merupakan ideologi.
Dalam ideologi, terdapat makna-makna tertentu yang dibuat penting oleh suatu
kondisi masyarakat sekaligus terdapat usaha-usaha untuk mengekalkan kondisi
tersebut. Individu merasa perlu untuk terafiliasi ke dalam suatu kelas atau
kelompok tertentu, memiliki tempat sosial tertentu Di sini, ideologi
menggambarkan produksi makna dan ide, bagaimana kelompok-kelompok digambarkan
dan diposisikan. Ideologi sebagai sebuah sistem kepercayaan yang diterima
individu dari kelompok atau kelas sosial tertentu, bukan sesuatu yang ada dalam
diri individu. Merupakan seperangkat kategori yang sengaja dibuat dan kesadaran
palsu yang bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial tampak nyata, wajar,
dan alamiah, dan tanpa sadar diterima sebagai kebenaran.
Selanjutnya, Antonio Gramsci membangun
teori tentang hegemoni yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang
didominasi terhadap idelogi kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses
yang damai dan tanpa kekerasan. Gramsci berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi
kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi
produksi, tetapi juga kekuatan ( force) dan hegemoni. Jika kekuatan ( force)
menggunakan daya paksa membuat pihak lain mengikuti dan mematuhi cara -cara
produksi atau nilai-nilai tertentu, maka hegemoni meliputi perluasan dan
pelestarian kepatuhan aktif (secara sukarela) dari kelompok yang didominasi
oleh kelas penguasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral, dan
politik. Proses ini terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang
disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan ketika individu
menafsirkan pengalaman tentang kenyataan. Jadi hegemoni bekerja melalui dua
saluran, yaitu ideologi dan budaya melalui mana nilai-nilai itu bekerja
(Eriyanto, 2001: 103-104).
Hegemoni bekerja melaui konsensus
ketimbang upaya penindasan. Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana ia
menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap
benar, sementara wacana lain dianggap salah. Dalam hal ini media dapat menjadi
sarana di mana suatu kelompok mengukuhkan posisinya dan memarginalkan kelompok
lain melalui wacana yang dibangun. Proses marginalisasi wacana tersebut
berlangsung secara wajar, apa adanya, dan dihayati bersama sehingga menjadi
konsensus. Wacana diterima secara taken for granted (tidak perlu
dipertanyakan), sebagai suatu common sense maka saat itulah hegemoni
telah terjadi.
Media Massa dan Konstruksi
Identitas
Identitas bukanlah sesuatu yang
stagnan, identitas dikonstruksi sepanjang waktu dan dapat secara konstan
diperbaharui atau dirubah secara total. Jadi, pengaruh media populer dalam
konstruksi identitas tidak berlangsung dalam kurun waktu sesaat saja, melainkan
terus-menerus, sepanjang individu tersebut berinteraksi dalam lingkungan
sosialnya dan sepanjang terdapat terpaan media pada individu.
Dalam konstruksi identitas, tidak dapat
dilupakan adanya faktor tekanan dari masyarakat atau kelompok sosial tehadap
seseorang ketika mereka dalam proses konstruksi identitas. Bentuk tekanan ini
menurut Hamley dapat berupa sejumlah harapan-harapan tertentu oleh masyarakat
tentang bagamana individu harus atau seharusnya hidup. Dengan kata lain
masyarakat memberikan batasan-batasan tentang identitas yang harus dipelihara
dan identitas yang tidak dapat diterima. Dalam kondisi demikian, terdapat
kemungkinan bahwa identitas yang diharapkan oleh masyarakat sesungguhnya
berbeda atau bahkan berlawanan dengan identitas yang dianggap cocok oleh individu
bagi dirinya.
Dalam memahami poses pembentukan
identitas, Henry Tajfel dan John Turner mengemukakan Teori Identitas Sosial ( Social
Identity Theory) bahwa proses pembentukan identitas dalam diri individu
melalui tiga tahapan, yaitu: kategorisasi, identifikasi, pembandingan sosial.
Yang pertama kategorisasi (categorization), individu mengenali dan
mengelompokkan identitas-identitas berdasarkan kategori sosial seperti etnis,
ras, religi, pekerjaan, status sosial, dan lain sebagainya. Kategori-kategori ini
selanjutnya akan memberikan suatu pengertian tentang siapa dan bagaimana
individu pemilik identitas.
Selanjutnya yang kedua adalah
identifikasi (identification). Pada tahap ini individu
mengidentifikasikan dirinya terhadap kelompok-kelompok tertentu dimana ia
terafiliasi. Dalam identifikasi terkandung dua makna dalam diri individu, pertama,
bahwa sebagian dari diri individu dibangun berdasarkan keanggotaan dalam suatu
kelompok. Dalam hal ini terdapat pemikiran kami versus mereka. Kedua, bahwa pada saat tertentu individu berfikir
bahwa dirinya sebagai aku, dan memandang orang lain sebagai dia. Jadi pada saat
tertentu individu memandang dirinya sebagai anggota suatu kelompok, yang
disebut sebagai social identity, dan pada saat yang lain memandang
dirinya sebagai individu yang unik, yang disebut sebagai personal identity.
Tahap ketiga dari proses pembentukan
identitas adalah pembandingan sosial (social comparison), yaitu tindakan
individu yang membuat perbandingan antara dirinya dengan orang lain dalam
rangka mengevaluasi dirinya. Anggota suatu kelompok membandingkan kelompoknya
dengan kelompok lain untuk menguatkan persepsinya bahwa kelompoknya adalah
positif, dan implikasinya, memperoleh konsep diri bahwa dia sebagai anggota
kelompok juga positif. Keberadaan media massa turut mempengaruhi tahapan-tahapan
dalam pembentukan identitas tersebut.
Literasi Media
Media literacy (literasi media) merupakan keahlian yang diambil begitu saja.
Sama dengan keahlian lain, literasi media dapat dikembangkan. Keahlian yang
harus dikembangkan melalui literasi media adalah cara berpikir bagaimana
pentingnya media massa dalam menciptakan dan mengendalikan budaya yang
membatasi kita dan hidup kita (Baran, 2004: 50)
Sementara itu, definisi literasi media
adalah :
1. Kemampuan untuk ‘membaca’
televisi dan media massa lainnya. Literasi media mengajarkan orang untuk dapat
mengakses, menganalisis, dan memproduksi media.
2. Merupakan proses analisis
dan pembelajaran pesan-pesan yang disampaikan melalui media, baik cetak, audio,
video, ataupun multimedia.
3. Kemampuan untuk mengakses,
menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan-pesan dalam berbagai
bentuknya; ekspansi konseptualisasi tradisional yang bersifat literer yang
meliputi berbagai bentuk simboliknya.
4. Kemampuan untuk dapat
memisah-misahkan dan menganalisis pesan-pesan yang disampaikan, serta hiburan
yang dijual kepada masyarakat setiap harinya.
5. Kemampuan untuk berfikir
secara kritis dalam menghadapi berbagai jenis media dari video musik dan web,
hingga penempatan produk dalam sebuah film.
6. Literasi media berarti
mampu mengartikan, mengerti, mengevaluasi, dan menulis hal-hal yang disampaikan
oleh berbagai bentuk media.
7. Mampu membaca,
mengevaluasi, dan membuat teks, citra/gambar serta suara atau kombinasi dari
berbagai elemen tadi.
Tahapan literasi media terdiri dari:
1. Peduli akan pentingnya
mengelola media, membuat pilihan tontonan, mengurangi waktu mengkonsumsi media
massa.
2. Mempelajari beberapa
keahlian khusus untuk melihat secara kritis, belajar menganalisis dan bertanya
apa yang ada didalam frame, bagaimana
hal itu terbentuk, dan hal apa yang mungkin terlewati. Kemampuan untuk melihat
secara kritis bisa dipelajari dari kegiatan interaktif yang dilakukan secara
berkelompok.
3. Melihat ke belakang frame untuk mengeksplorasi isu lebih
dalam lagi. Siapa yang memproduksi media tersebut dan apa kegunaannya? Siapa
yang memperoleh untung ? dan siapa yang merugi ?
Batasan
literasi media berarti keahlian memahami dan menggunakan isi media massa secara
efektif dan efisien. Literasi media adalah memahami sumber-sumber dan
teknologi-teknologi dari komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan yang akan
diproduksi, dan seleksi, interpretasi dan bentrokan dari pesan-pesan tersebut
(Rubin, dalam Baran, 2004: 51)
Literasi
media merujuk pula pada sekumpulan perspektif dimana kita secara aktif
mengungkapkan diri kita sendiri pada media untuk menafsirkan pemaknaan
pesan-pesan yang kita terima. Kita membangun perspektif kita dari struktur
pengetahuan. Membangun struktur pengetahuan kita, memerlukan alat dan raw material (bahan dasar). Alat-alat
ini adalah keterampilan kita. The raw
material adalah informasi dari media dan dari dunia nyata. Aktif menggunakan
media bertujuan bahwa kita sadar tentang pesan dan secara cepat saling
berinteraksi dengan media-media itu (Potter, 2005: 22).
Literasi
media bersifat multidimensional. Disana terdapat empat hal yang terkait antara
dimensi-dimensi literasi media: dimensi kognitif, dimensi emosional, dimensi
keindahan, dan dimensi moral (Potter, 1998: 7).
Sejumlah
pakar menyebut, melakukan literasi media dapat menciptakan generasi yang
literat, yang merupakan jembatan menuju masyarakat yang makmur yang kritis dan
peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima, sehingga tidak bereaksi
secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.
Iklan
menonjolkan nilai-nilai yang sebenarnya tidak penting, memunculkan perspektif
keliru tentang mutu suatu produk sehingga lebih sering menyesatkan daripada
memberi tahu, menurunkan standar etika karena terlalu sering melontarkan
bujukan, mengacaukan dan melencengkan informasi yang disajikan, menjadikan
masyarakat terlalu memuja mode, gaya, dan perilaku boros, menyurutkan kegiatan
usaha karena biaya terlalu banyak, memicu monopoli karena iklan cenderung
digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang besar saja, iklan juga terlalu banyak
memamerkan gaya hidup serba mewah, karenanya iklan dianggap mendorong tumbuhnya
sikap materialistik.
Iklan
memang tidak berusaha meningkatkan kualitas individu atau masyarakat, karena
iklan hanya menonjolkan nilai-nilai material. Meskipun pengaruhnya tidak kalah
dengan institusi-institusi lainnya, iklan tidak memiliki tujuan maupun tanggung
jawab sosial, hal inilah yang lazim menjadi kritik terhadap iklan. Selain itu,
iklan juga tidak selamanya peduli soal benar atau salah. Iklan hanya berurusan
dengan soal bagaimana memengaruhi nilai-nilai dan perilaku orang-orang sebagai
konsumen, serta mendorong mereka untuk melakukan konsumsi.
Daftar Pustaka :
Buku :
Aminuddin, Faishal. 2009. Globalisasi dan Neoliberalisme: Pengaruh dan Dampaknya bagi Demokratisasi Indonesia. Yogyakarta:
Logung Pustaka.
Baran, Stanley J. 2004.
Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture. New York:
The Mc. Graw Hill Companies.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks
Media. Yogyakarta: LKIS, Yogyakarta.
Jeffkins, F. 1997. Periklanan.
Jakarta: Erlangga.
Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan, Antara
Realitas, Representasi dan Simulasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ollenburger. 2002. Sosiologi Wanita. Jakarta: Rineke Cipta.
Potter, W. James. 1998. Media
Literacy. Thousand Oaks-London-New Delhi: Sage Publications.
Potter, W. James. 2005. Media
Literacy. Thousand Oaks-London-New Delhi: Sage Publications.
Internet :
http://risangpribadi.blogspot.com/2010/02/kuasa-media-massa-dan-politik-identitas.html
No comments:
Post a Comment
budayakan komentar yang berbudaya