Kamis. Tanpa jadwal kuliah, dengan
jadwal mengajar. Tahun kedua pada keduanya. Kegiatan belajar (tanpa tugas yang
heboh) dan mengajar (tanpa mahasiswa yang males) selalu menyenangkan.
Menyenangkan karena keduanya dijalankan pada satu waktu, bisa menyerap dan
transfer ilmu sekaligus.
Baik, ini Kamis pagi. Jadwal mengajar
matakuliah pertama di 07.45 dan kedua di 10.00. Hari karir yang sekaligus hobi
ini berakhir pada pukul 12.15. Jumat, Sabtu, dan Minggu, saya libur. Inilah
untungnya jadi mahasiswa tingkat 2 di semester 3, saya bebas memilih (hanya) 1
matakuliah pilihan dan 1 matakuliah wajib, yakni proposal thesis. Secara otomatis, saya “hidup diluar rumah” hanya Selasa
(untuk kuliah) dan Kamis (untuk mengajar), terkadang Senin, Itupun kalau mood lagi bagus untuk “duduk-cantik-sembari-ngetik-di-perpus-kampus.”
Maklum, Mr. Proposal meronta-ronta untuk selalu di jamah.
Kamis. Siang. Selepas Dzuhur, kawasan
Rawamangun-Dewi Sartika-Kelapa Gading-Pasar Pagi (Mangga Dua)-Kelapa Gading
serba semrawut. Memang sih, nggak ada hubunganya dengan Pilgub Jakarta yang held beberapa hari lalu (15 Oktober
2012), tapi kemacetan (dimana-mana) ini sampai membuat saya menulis:
Jokowiiiiiiiiii ! di status BBM. Berharap teleport
via media komunikasi ini ampuh membuat Pak Gubernur baru prihatin (dan
semestinya bertindak langsung atas keprihatinan) ihwal kemacetan Jakarta. Sodara-ku
sekalian, bagaimana bisa Mangga Dua-Kelapa Gading ditempuh dengan waktu, ehm, 3
jam? Yang kalau di translasi dengan hitungan jarak, dengan 3 jam itu kami bisa
ke Bandung terus “jalan-jalan riang” di seputaran Dago? Hemm.
Astagaa, Bandung. Kenapa nggak ke
Bandung saja sekalian. Dan kami pun bersepakat bahwa Bandung menjadi tujuan
malam ini. Sekarang sudah Kamis dan malam. Harus pulang dulu ke rumah untuk packing, judulnya juga dadakan, kan.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba sebuah nama tempat wisata muncul.
Dan Bandung pun, kami lewatkan ...
Let's start by saying what this place
is not. This is not a Bali, not a Singapore, not a “hingar bingar” places that
you want to. Disini
tenang, coba deh merem sebentarr aja.. bau-bauan khas pantai masuk seenaknya ke
paru-paru kita yang “kotor” dengan asap ibu kota yang “supeeeer” sekali. Angin
sepoi-sepoi, perahu nelayan yang merapat disepanjang bibir pantai, jalan
setapak yang lenggang, jejeran papan surfing,
satu-dua bule berbikini (pada bulan-bulan tertentu, wisatawan mancanegara sangat
ramai mengunjungi tempat ini untuk surfing),
dan yang terpenting, atmosfir serta matahari pantai ini begitu menarik minat saya
untuk kembali lagi, dan lagi, dan (selalu) lagi.
Kami berangkat dari rumah sekitar pukul
24.00, meluncur mulus di sepanjang Tol Cipularang dengan beristirahat sejenak
di pemberhentian. Tidak lama, perjalanan dilanjutkan hingga daerah Cileunyi,
saya sih menyebutnya gerbang menuju wilayah wisata Bumi Parahyangan seperti
Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan lain sebagainya. Cileunyi juga laksana “gerbang
masuk” peradaban perkuliahan di Jatinangor 2 tahun silam, hihihi. Di Pom Bensin
wilayah Rancaekek pukul 02.00 dini hari, kami benar-benar harus
mengistirahatkan diri karena seharian ini belum “geletakan” di tempat tidur.
Pukul 05.30 terbangun, dan segera beranjak karena ‘nggak mau kesiangan sampai
Pantai Batu Karas. Dengan mengikuti rute standar perjalanan ke Batu Karas (yang
mau nggak mau harus lewat pantai Pangandaran-atau mungkin ada alternatif jalur
lain yang saya belum tahu), yakni : Rancaekek, Cicalengka, Tasikmalaya, Ciamis,
Banjar, kemudian Pangandaran. Perjalanan dilanjutkan melalui wilayah Parigi,
Cijulang, dan akhirnya Batu Karas. Dari rute tersebut, banyak sekali wisata
pantai maupun wisata alam yang sebenarnya kami lewati, Pantai Karang Nini- Desa
Emplak, Kecamatan Kalipucang (di depan pintu masuk pantai ini, kami sempat
menepi sekitar 5 menit hanya untuk memutuskan masuk atau tidak, dan jawaban nya:
tidak, karena sudah “haus” akan Batu Karas, hihihi); Pantai Pangandaran; Pantai
Batu Hiu-Desa Ciliang, Kecamatan Parigi (walau hanya plang jalan-nya saja yang kami lewati); Pemandian Alam Citumang-Desa
Bojong, Kecamatan Parigi; dan Cukang Taneuh (Green Canyon). Oh iya, saat melewati objek wisata Green Canyon di
wilayah Cijulang, kami menyempatkan diri untuk mencari informasi mengenai
kegiatan body rafting. Sayangnya, dua
hari lalu hujan, air berubah keruh, dan guide
pun ‘nggak menjanjikan kami untuk body
rafting sejauh rute biasanya. Kecewa, tapi masih berharap besok (Sabtu) air
sudah hijauuu kembali. Sekedar informasi, memang jadi pe-er banget ketika
memasuki wilayah Cijulang apalagi kalau kendaraan Anda sejenis sedan dan apapun
itu yang sifatnya ceper. Jalanan di
wilayah ini rusak berat, berani jamin kalau hujan, cekungan tanah yang ‘dalem’
ini pasti akan tergenang air yang berubah kecoklatan karena tanah. Pokoknya,
kami spent lebih banyak waktu
diwilayah ini hanya untuk berhati-hati biar nggak merusak kendaraan (coba
jalanan ini ‘mulus,’ kami bisa memangkas waktu lima belas menit hingga setengah
jam lebih cepat). Selepas Green Canyon, (untuk sampai Desa Batu Karas)
kemudikan kendaraan ke arah kiri pada persimpangan jalan dan ikuti jalan setapak
(tapaknya roda empat, bukan manusia, hehehe). Udara disini cukup sejuk mengingat ini awal
musim hujan, apalagi pohon kelapa yang menjulang namun landai membuat “suasana
khas pantai” bagaikan didepan mata. Sebelah kiri jalan Anda sudah tentu aliran
sungai Cijulang dan sisi kanan adalah hamparan sawah yang hijau. Di daerah ini,
saya lantas gantian mengemudi hingga pintu masuk Pantai.. Batu Karas!!! Finally,
Gusti Alloh, hihihi
Masih
ingat dong video clip-nya Ello (Masih
Ada)? yang visualisasinya menggambarkan dirinya di sebuah pantai, berpasir
kehitaman, terdapat banyak karang disisi-an tebing, memainkan gitar, bergelayut
santai di ayunan tali plastik, bermain jet-ski di sungai, dan menaiki perahu
kayak? Ya, lokasinya disini, dipantai Batu Karas ini.
Baik, yang pertama kami lakukan adalah
menuju penginapan River Sider. (Kabin
kami) permalamnya dikenakan biaya Rp. 500.000/kamar. Harga segitu sepertinya flat untuk semua musim, deh. Mau weekdays, weekend bahkan Peak Season
(yang ini masih dalam tahap kecurigaan, huhuhu). Yang unik dari penginapan ini
adalah kamar dibuat per kabin (wood cabin).
Kabin-kabin tersebut diletakkan persis di depan aliran sungai Cijulang. Jadi,
pemandangan depan kamar Anda ialah: sungai. Ada berbagai jenis kamar di
penginapan ini, yang kesemuanya dinamai dengan nama-nama sungai (baik sungai di
Indonesia maupun dunia). Dari reception,
untuk kabin yang kamar mandinya di dalam, Anda akan diarahkan ke arah kanan lobby (sebut saja begitu), namun untuk
kabin dengan kamar mandi di luar, Anda akan diarahkan ke kiri. Harga untuk satu
kabin dengan kamar mandi diluar adalah Rp. 350.000/malam. Tapi tenang saja,
keduanya sama-sama ‘berbalkon-kan’ hamparan sungai yang memanjang indah kok. Selain
konsep kabin, penginapan ini juga meneyediakan kamar dengan konsep hotel
seperti biasanya. Bedanya, view yang
didapat tidak lagi sungai namun kolam renang (yang ‘nggak tau bisa digunakan
atau tidak), dan untuk harganya sendiri sepertinya Rp. 500.000 juga namun dengan
AC (berbeda dengan kabin).
Hmm.. Sepi sekali disini, tenang, daaan
nyaman. Cocok banget untuk escape
sejenak dari rutinitas kerja-kuliah yang (terkadang) bikin kusut. Memang sih, air
sungainya (sedang) tidak se-hijau kata orang. Airnya keruh kecoklatan (macam
kali ciliwung tanpa sampah-untuk memudahkan Anda berkhayal) karena hujan dan
banjir kiriman kemarin lusa. Di kabin kami pun nggak tersedia AC, yah, what you expect deh yah, televisi pun
nggak include disini. Tapi yang
seperti ini yang bikin pengalaman seru, dimana tidur di kabin kayu, dengan
kelambu, tanpa televisi dan hanya kipas angin, menghadap sungai.. serta kamar
mandi yang terbuka meskipun berada didalam kabin. Saking nyaman nya, selepas
makan siang yang kesorean di seputaran pantai Batu Karas yang ramai, kami
tertidur hingga subuh keesokan harinya.
pemandangan sungai dari tempat tidur berkelambu |
pemandangan samping dan belakang kabin (lewat jendela mini) |
asbak imut di depan pintu kamar |
sungai Cijulang yang sedang keruh |
Sabtu. Pagi. Hujan deras turun
semalaman. Tidur pun semakin nyenyak sampai-sampai saat bangun lupa sedang bermukim
dimana, heuheu. Akibat derasnya hujan, debit air sungai didepan kami pun
meningkat, huh, apa kabarnya kalau gini sama Green Canyon dan rencana body
rafting ? Gagal total, jawabanya. Antisipasinya, sekarang ini kami
memutuskan untuk main air di seputaran pantai Batu Karas saja. Tidak lama
berselang, sarapan pun diantar ke kamar. Porsian nasi goreng dan teh hangat, cukup
lah menghangatkan hati yang sedikit kecewa ini (berlebih, deh).
Sarapan di depan sungai |
Setelah sarapan dan sengaja nggak
mandi, kami cus ke “pantai ramai”
(saya menyebut beberapa wilayah pantai di Batu Karas ini sebagai “pantai ramai”
dan “pantai perahu” *red). Heran, hampir seluruh wisatawan lebih suka
menyambangi “pantai ramai” ketimbang “pantai perahu” (sekali lagi, pantai ramai
dan pantai perahu hanya sebutan penulis, jangan pernah tanya perihal pantai
perahu atau pantai ramai pada penduduk sekitar, mereka pasti akan bengong nggak
puguh, hihihi). Mungkin seperti ini
ilustrasi nya, pantai di Batu Karas dipisahkan oleh tebing, nah.. bagian ujung
(sebelah kanan) inilah yang saya maksud dengan si-"pantai ramai" tersebut. Apalagi
sekarang, setelah dua tahun lalu saya ke Pantai Batu Karas, “pantai ramai”
semakin eksis dengan bermunculannya objek
komersialisasi. Dulu, dua jempol saya buat pemandangan landainya pantai tanpa
hiruk pikuk wisatawan yang bermain water
sport. Nggak ada tuh jeritan pengunjung yang bermain entah itu Ufo Crazy, Banana Boat, Donnat Crazy,
serta Parasailing. Penjaja makanan
pun nggak se-banyak ini pemirsa. Bayangkan, abang cilok, abang bakso, abang
tahu gejrot, serta bermacam abang-abang-an hilir mudik dipantai ini, yah ada
sih yang memilih stay saat menjual
makanan mereka, tapi tetap saja, kondisinya menjadi semakin semrawut. Jejeran penyewa
papan surfing pun merajai bibir
pantai, demikian pula dengan sewa-sewa perlengkapan air lainnya (ban berenang, body board, tikar, dsb). Memang sih,
disetiap objek wisata selalu menjadi ladang rezeki bagi para pencarinya, namun
apabila terdapat pengelolaan yang lebih baik, bukankah ladang tersebut akan semakin
luas mengingat jumlah wisatawan yang semakin banyak dan melestari?
Selain hal-hal tadi, asumsi saya
tentang mengapa lebih banyak wisatawan yang mengunjungi “pantai ramai”
ketimbang “pantai perahu,” mungkin didasari hal berikut : di “pantai ramai,”
sarana parkir cukup memadai, adanya jejeran rumah makan menjadi fasilitas pendukung
bagi para wisatawan, MCK yang mudah ditemui, beberapa kios yang menjual souvenir serta pernak-pernik khas
pantai, serta lokasinya dekat dengan beberapa penginapan yang namanya sering
sodara-sodari jumpai di pelbagai blog. Selain itu, karang-karang yang
menujulang indah juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang hendak surfing maupun ajang aktualisasi diri
lewat bidikan kamera. Sedangkan di “pantai perahu,” meskipun jarak pandang laut
lepas lebih luas, pasir pantainya pun lebih bersih dan tidak sehitam “tetangganya,”
namun menjadi “rumah” bagi perahu-perahu nelayan yang mencari peruntungan di
ujung selatan laut Jawa Barat ini. Jadi, aktifitas bermain air kita akan
terhalang oleh puluhan perahu yang bermarkas di hampir sepanjang bibir pantai.
Saya menyewa body board setelah sebelumnya ikut-ikutan mencicipi wahana air di
pantai ini. Karena kejadian kurang mengenakkan hati juga fisik, permainan pun
berhenti pada jajalan Ufo Crazy saja.
Ahh seru sekali bermain body board. Ombak
cukup besar untuk membuat badan kita terhempas laksana surfing tanpa adegan berdiri di papan. Paparan matahari jam 12-teng
juga sukses membuat badan saya makiiinn eksotis (baca: cokelat legam). Dan pokoknya,
kalau kesini lagi saya harus ikut surfing
lesson. Mengingat harga yang ditawarkan “Jabrik” cukup menjanjikan. Oh iya,
Jabrik itu surfer kenalan kami yang
menyewakan jasanya untuk mengajar surfing.
A private surfing class. Yah nggak
hanya surfing sih yang dia tawarkan, tapi juga hil-hil lainnya. Puas bermain
ombak dan sun-bathing, kami kembali
ke River Sider untuk check-out. Oh iya, sebelum ke pantai
tadi, saya make deal di penginapan
Hi and Low yang jaraknya lebih dekat dengan pantai. Berikut review penginapan kami selanjutnya.
Kamar no. 4 - saluran televisi tidak berfungsi dengan baik di kamar ini |
AC, televisi kecil, dan dvd player sebagai "pemanis" ruangan |
Kamar mandi yang minimalis |
Kamar sebelah (tampak luar) |
Kamar sebelahnya lagi |
Suasana depan kamar yang sejuk |
Dapur yang disinyalir tidak bisa digunakan, hehehe |
Akhirnya pindah ke kamar no.3 |
Penginapan Hi and Low hanya terdiri dari dua tipe kamar, 1 buah kamar tipe Family (dengan ruang tamu dan dapur
pribadi) dan 4 buah kamar tipe standar. Disayangkan, papan penunjuk hotel ini
tidak ada, padahal kamar-kamar disini bersih dan cukup nyaman untuk ditinggali.
Kenapa kami bisa “terdampar” di tempat ini pun karena rekomendasi Aa penginapan lainnya yang kebetulan sudah penuh. Harga
permalam penginapan ini Rp. 350.000/kamar with
no breakfast. Tapi sekali lagi tenang sodara-sodari, Anda tidak akan susah
menemukan tempat makan diseputaran Batu Karas. Namun jangan tanya keberadaan
ATM dan Pom Bensin yah. Persiapkan uang cash
dan pastikan kendaraan Anda berbensin cukup, karena di Batu Karas kedua
fasilitas tersebut nihil adanya.
Puas berjemur dan bermain air,
gerobakan mie ayam yang mangkal di
sekitar “pantai perahu” menjadi sasaran saya. Selayaknya mie ayam di Jakarta,
sih, yang bikin beda jelasss atmosfer nya. Kapan lagi mengunyah mie ayam dengan
panorama laut lepas dan jejeran perahu nelayan yang mempercantik long term memory Anda? Setelahnya, kami kembali
ke penginapan (Hi and Low), istirahat
sejenak sembari menunggu sore, karena Pantai Pangandaran menjadi tujuan kami
berikutnya.
Rencananya sih mau menikmati sunset di Pantai Pangandaran. Kalau mau
jujur, saya pribadi belum pernah ke Pantai Pangandaran meskipun sudah empat
kali ke Pantai Batu Karas. Semacam transit
place saja, deh dan itulah yang bikin nyesel berkepanjangan. Jam lima lebih
sepuluh menit kami beranjak meninggalkan Batu Karas menuju Pangandaran. Inget dong
tentang jalanan rusak yang selalu memperlambat laju kami? Yaaahh si “momok” itu
harus kita hadapi lagi, dan baiklah, kami tiba di Pangandaran pukul 6 sore lebih,
dimana matahari bener-bener sudah hilang. Kami merapatkan kendaraan, berjalan
menyusur pantai Pangandaran, membeli pernak-pernik, sementara kudapan seafood serta jagung bakar menjadi
pemungkas malam indah kami di Pangandaran. Kembali ke Hi and Low, dan tidur.
Minggu. Siang. Jam sebelas teng, kami
beranjak pulang. Nggak mau kemalaman sampai rumah lantaran besok sudah hari
Senin (terus kenapa? Hehe). Green Canyon...lewat,
Batu Hiu... lewat, Pangandaran...lewat, Karang Nini... lewat, ahhh sampai kapan
semua ini harus kami lewati begitu saja, Alfonso !! (hihihi). Nah, pengalaman
lewat-melewati itulah yang akan membuat kami, suatu hari, haruuus, kesini lagi.
Perjalanan Batu Karas-Cileunyi ditempuh 6 jam (sempat berhenti makan siang selama
setengah jam), dan Cileunyi-rumah dipangkas hanya 2 jam saja. Ini trip ter-ngebut
yang pernah saya lakukan.
Oh ya, selama 3 kali ke Batu Karas kemarin-kemarin, saya pernah jajal penginapan Java Cove dan Pondok Teratai.. untuk kelengkapan akomodasi dan foto kamar, bisa langsung cek di website nya, yaa..
Salam pantaiii....
No comments:
Post a Comment
budayakan komentar yang berbudaya