(Tulisan Debra H. Yatim dalam Wanita
dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru,
disunting oleh Idi S. Ibrahim dan Hanif Suranto, tahun 1998, penerbit Remaja
Rodakarya—Bandung)
Dari
seluruh jam yang dicurahkan masyarakat dunia untuk melakukan pekerjaan,
duapertiga adalah waktu yang dicurahkan oleh kaum perempuan. Perempuan di
kawasan pedesaan menghasilkan sedikitnya 50 persen produk pangan dunia. Mereka
terlibat dalam setiap aspek bercocok tanam, termasuk menebar benih, melekuh,
menandur, memupuki dan menuai panen. Di sementara kawasan, perempuan juga harus
memasarkan hasil pertaniannya. Sejumlah besar perempuan di dunia menjadi
pencari nafkah utama atau menyumbang terhadap pencarian nafkah keluarga. Di
beberapa kawasan dunia berkembang, seperempat sampai separuh rumah tangga di
pedesaan dikepalai secara tetap, atau secara de facto, oleh perempuan
(Kutipan ini
diambil dari penerbitan keluarga Food and
Agriculture Organisation (FAO) di naungan PBB, dengan judul Women in Agriculture.)
Tidak ada
alasan bagi kita untuk menyimpulkan bahwa keadaan berbeda di Indonesia. Data
menunjukkan bahwa penghasil dan pengolah pangan di Indonesia terutama adalah
perempuan. Karena agrikultur masih sentral bagi perekonomian Indonesia,
seberapa pun besarnya kemajuan industrialisasi, kenyataan yang berlaku bagi
Indonesia masih harus dipijakkan kepada agrikultur.
Namun
demikian, kita tidak perlu meluangkan waktu yang terlalu lama mengintip ke
media di Indonesia untuk menyadari bahwa realitas sosial ini nyaris tidak
dicerminkan olehnya.
Ulasan
tentang pedesaan mendapat ruang yang sangat sedikit dalam pemberitaan rata-rata
media. Kalaupun ada berita tentang bidang agrikultur (mengingat pengadaan
pangan masih merupakan pokok bahasan yang penting) itu munculnya dengan suatu
bias yang mencolok—yakni bias yang berat kepada lelaki.
Buktinya?
Dalam setiap pemberitaan atau pengulasan tentang pertanian, hampir seluruh
petani dan pekerja ladang digambarkan oleh media sebagai pria. Laporan yang
disajikan media pun dibuat berdasarkan laporan dari petani dan pekerja
laki-laki. Bias semacam ini dapat ditemukan tidak saja di media massa jalur
umum, tetapi juga di media pendidikan serta media pembangunan, yakni media yang
curahan perhatiannya melulu pada masalah pembangunan.
Dengan
begitu, kontribusi yang begitu besar kaum perempuan di dalam masyarakat yang
masih berpijak pada agrikultur bisa dikatakan sedikit, bahkan sama sekali tidak
terepresentasikan di dalam media.
Media: Cermin atau Realitas?
Analisis
terhadap apa yang disebut sebagai media jalur umum (mainstream), yang menjadi titik perhatian makalah ini, menunjukkan
bahwa media jalur umum justru memperkukuh stereotip-stereotip gender dan nyaris
menegasikan kontribusi ekonomik perempuan di dalam masyarakat.
Contoh paling
jelas, tentu, adalah penggambaran tadi: sudah berita tentang perkembangan
pedesaan mendapat porsi terlalu sedikit, sumbangsih kaum perempuan di dalam
perkembangan itu dikesampingkan karena kecondongan lebih mengutamakan
sumbangsih kaum pria.
Lebih jauh,
kecenderungan menegasikan kontribusi perempuan berlaku tidak saja di bidang
pertanian atau di tingkat kehidupan di desa, tetapi juga di kota. Artinya di
setiap lapis kehidupan yang diulas oleh media.
Sekadar sebagai
pembelaan terhadap media, kerap dikatakan bahwa media tidak lebih, tidak kurang
adalah cermin bagi realitas yang beredar di masyarakat. Namun, ingin ditawarkan
di sini bahwa itu tidak seluruhnya benar. Media memiliki hubungan dua arah dengan realitas sosial.
Di satu
pihak, betul media jadi cermin bagi
keadaan di sekelilingnya. Namun, di lain pihak, ia juga membentuk realitas sosial itu sendiri. Lewat sikapnya yang selektif dalam memilih hal-hal yang
ingin diungkapkannya, dan juga lewat caranya menyajikan hal-hal tersebut, media
memberi interpretasi, bahkan membentuk, realitasnya sendiri.
Termasuk di
dalam interpretasi selektif ini yakni pengukuhan nilai, sikap, serta pola-pola
perilaku masyarakat. Misalnya, dengan selalu mempertegas sudut pandang bahwa
pria adalah penentu kebijaksanaan di dalam masyarakat (seperti contoh di bidang
pertanian tadi)—yang secara implisit mengatakan bahwa perempuan cuma berperan
periferal belaka—media jadi melakukan misinterpretasi terhadap peran-peran yang
dipegang oleh kaum perempuan.
Penerimaan Media oleh Masyarakat
Di Indonesia,
banyak pihak sepakat bahwa media bukan kebutuhan pokok dari kebanyakan orang
(dibandingkan, misalnya, dengan 10 kebutuhan pokok, atau kebutuhan akan
pekerjaan yang menafkahi, dan sebagainya). Mengapa? Karena media nota bene adalah institusi masyarakat
kelas menengah urban—digarap dan diedarkan oleh orang urban di wilayah kota
besar. Akibatnya, media punya bias urban yang besar. Ia pun jadi nyaris ridak
punya relevansi yang berarti bagi masyarakat pedesaan dan pertanian.
Tetapi,
meskipun kita menerima bahwa media tidak relevan bagi sebagian besar masyarakat
(yakni penduduk pedesaan) setiap sajiannya sangat berdampak pada proses
sosialisasi masyarakat luas, baik yang di kota maupun yang di desa.
Hal itu
karena, pertama, lewat sajiannya,
yang lambat laun membentuk opini publik, keyakinan individu serta persepsi
masyarakat terhadap dirinya, media ikut membentuk pemikiran dan ideologi
masyarakat di mana ia beredar; kedua,
diakui atau tidak, Indonesia menganut sistem sentralisasi terhadap seluruh
informasi dan keputusan (yang berarti setiap pikiran dan pendapat tokoh di kota
akan berlaku pula bagi rekannya di desa).
Patut kita
catat suatu ciri tambahan: di negara berkembang macam Indonesia, sikap yang
umum terhadap media adalah penerimaan secara tidak kritis terhadap setiap sudut
pandang serta penyajian fakta dan opini yang ditawarkan oleh media.
Mari kita
susun suatu gambaran simplistis yang mungkin muncul dari ketiga hal ini:
Suatu fakta/opini ditawarkan oleh
media. Sajian itu cuma dibaca/didengar/ditonton oleh orang di kota. Karena
sifat penyajiannya yang direstriksi oleh peraturan, gambaran yang disampaikan
oleh media itu tidak lengkap. Karena terbiasa dengan kondisi restriktif itu,
sang pembaca/pendengar/penonton yang orang kota itu terbiasa pula untuk
“menelan” sajian media itu secara tidak kritis. Namun, tokoh kota kita ini
seorang pengambil keputusan yang sebagian berpijak pada pengetahuan yang
disadapnya dari media. Kebijaksanaan itu terlalu luas, termasuk juga di daerah
pedesaan. Alhasil, media telah berdampak pada sosialisasi masyarakat luas,
kendati ia tidak dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat per se.
Ada sudut
lain yang juga patut jadi kajian: dalam satu-setengah dekade terakhir, perlahan
tapi pasti sebagian besar lembaga media massa utama menjadi milik segelintir
saja kelompok bisnis dan individu. Kepemilikan itu tidak saja pada surat kabar
dan majalah, tapi juga merembet kepada media siaran: televisi dan radio.
Kenyataan ini
mau tidak mau mempunyai efek yang cukup besar terhadap penyuguhan sudut pandang
dan fakta yang disajikan oleh media. Opini, bisa serta interpretasi segelintir
orang atau kelompok boleh jadi di-“telan” begitu saja oleh mayoritas konsumen
media, sebagai akibat sikap tidak kritis tadi. Sudut pandang-sudut pandang ini
tidak saja lalu jadi sudut pandang yang dijunjung dan diterima. Itu kemudian
juga jadi bagian dari pemikiran yang dianggap “kebenaran” (the truth).
Sekarang,
mari kita kaji keadaan ini berkaitan dengan posisi perempuan di dalam
masyarakat. Yang kita sebut masyarakat itu adalah laki dan perempuan. Jelas
setiap isu di dalam media (sebagai institusi masyarakat) menyangkut pula
perempuan. Bahwasanya penggambaran di dalam media mengakui sumbang peran
perempuan atau tidak mengakui kehadirannya di dalam perguliran masyarakat, itu
akan ada dampaknya. Tidak saja pada perempuan urban, tapi bagi seluruh
masyarakat: laki dan perempuan, di kota maupun di desa.
Ditilik dari
posisi perempuan di dalam masyarakat (atau lebih tepat, posisi yang dipaksakan
atas dirinya), kondisi seperti ini tidak menguntungkan. Mengapa? Media yang
kadang jadi cermin, tapi lebih sering menjadi pembentuk, realitas masyarakatnya
cenderung memelihara status quo. Hal
ini tentu ada kajiannya tersendiri—antara lain media acap jadi corong ideologi
pemegang kekuasaan, media cuma dapat hadir dengan dukungan masyarakat bisnis,
media sendiri adalah suatu usaha bisnis, dan sebagainya—dan tidak perlu kita
coba telaah di sini. Tetapi, dalam keadaan sang status quo tidak banyak memberikan penghargaan secara wajar
terhadap sumbang peran perempuan di dalam gerakan masyarakat, sumbangsih
tersebut akan selamanya tidak terwakili.
Media, yang
menjadi kekuatan konservatif karena memelihara status quo dan tidak gemar “mengguncangkan kapal,” lalu mulai
percaya pada pesan-pesan yang diterbitkannya sendiri. Lebih parah, masyarakat
mulai menerima pesan-pesan status quo tersebut
sebagai kebenaran mutlak (the absolute
truth). Hal yang tadinya adalah realitas ciptaan akhirnya merusak dan
berkembang seolah, dan menjadi,
realitas yang nyata.
Akhirnya,
topik macam sumbang peran perempuan dalam masyarakat, yang tidak
terepresentasikan di dalam media, sama sekali tidak terungkap. Dan itu dianggap
sebagai suatu kebenaran yang menggambarkan keadaan masyarakat sesungguhnya.
Tapi karena di dalam kehidupan sehari-hari kita tetap lihat kenyataan ada
perempuan yang ikut giat bekerja dan menyumbangkan gagasan dan pikiran dalam
perguliran masyarakat, perempuan sesekali boleh muncul di dalam media. Tapi
walhasil, sifat kemunculannya itu sebagai gambaran token belaka. Tidak saja penampilannya secara basa-basi begitu,
tetapi penggambarannya pun sebagai unsur yang periferal belaka di dalam
masyarakat. Kecenderungan ini lalu terejawantahkan dalam bentuk perempuan
sekadar jadi penghias, atau dengan lain perkataan, bumbu penyedap di antara
topik-topik yang jadi suguhan media.
Bagaimana Penampilan Perempuan?
Menengok
sebentar ke media massa di Indonesia, kita akan melihat bahwa isu-isu berbobot
yang menyangkut kepentingan perempuan nyaris tidak disorot secara berarti.
Isu-isu itu
misalnya, keberangan jutaan perempuan atas kecenderungan meningkatnya perkosaan
di tempat-tempat umum; kekesalan banyak akseptor perempuan terhadap tatacara
pelaksanaan pemasangan beberapa alat kontrasepsi secara paksa; meningkatnya
sekian penyakit khas perempuan akibat kehidupan modern; atau
kemajuan/kemunduran yang dicapai oleh konvensi untuk menghapuskan diskriminasi
terhadap perempuan yang diratifikasi PBB, untuk menyebut cuma beberapa
kemungkinan.
Jika pun ada
perhatian, media cenderung cuma memberi ruang bagi hal-hal yang secara
tradisional disebut sebagai “urusan wanita.” Berita-berita demikian misalnya,
yang menyangkut rumah tangga, mode, perawatan keluarga dan anak, serta profil
tokoh panutan perempuan—kebanyakan tokoh mana justru jadi sorotan karena
melakukan kegiatan persis sekitar ha-hal tersebut.
Jika pun ada
topik yang sesungguhnya menyangkut masyarakat luas (program KB, sekolah yang
tepat untuk anak, meningkatnya jumlah kepala keluarga yang perempuan), karena
sudah jadi porsi ”urusan wanita,” dia cenderung terlanjur diberi label ‘tidak
berbobot.’
Surat kabar
harian sampai tahun ‘80-an masih memiliki ‘Halaman Wanita.’ Dengan berakhirnya
Dekade Perempuan yang dicanangkan PBB (1975-1985), kita melihat bahwa kesukaan
menyisihkan satu halaman khusus untuk berita “urusan wanita” itu dihentikan.
Tetapi, sesungguhnya, Halaman Wanita masih hadir. Baik di Edisi Minggu ataupun
di Halaman Features khusus untuk wanita. Surat kabar Media Indonesia dalam upaya meluaskan sidang pembacanya merasa
perlu melahirkan kembali gagasan Halaman Wanita pada tahun 1990.
Topik-topik
“urusan wanita” sesungguhnya sudah banyak dikunyah-kunyah oleh majalah khusus
untuk wanita, yang cenderung membatasi urusan tersebut sebatas masalah domestik
dan personal saja.
Namun,
menarik kita simak bahwa media yang sifatnya lebih umum, misalnya koran,
majalah berita serta televisi dan radio lalu terjerembab di dalam pembatasan
sempit yang sama, yang sebetulnya sudah dimonopoli majalah wanita tadi.
Maksudnya,
kita akan membaca, melihat dan mendengar mengenai pembukaan suatu pameran gizi
untuk anak oleh seorang nyonya pejabat yang didampingi Ratu Kecantikan Sejagat,
misalnya, baik di Kompas, Tempo, TVRI, RCTI dan RRI dengan
pola penyajian yang nyaris mirip: di kolom-kolom nama dan peristiwa, atau
sebagai “bumbu penyedap” di penutupan acara Dunia
Dalam Berita atau Warta Berita RRI
setelah penyajian berita-berita “keras” yang lebih “berbobot.”
Kita boleh
berargumentasi bahwa berdasarkan sifatnya, berita demikian memang sekadar
merupakan bumbu penyedap. Tetapi, ketika ada berita yang berdampak lebih luas
terhadap kemanusiaan—misalnya, bahaya yang mengancam masyarakat luas apabila
penggunaan ASI tidak dibuat “modis” kembali—karena pelakunya (pemberi ASI)
memang hanya bisa perempuan, berita demikian pun di-“buang” ke halaman wanita
atau features, atau menjadi bahan kunyah-kunyahan majalah wanita kembali.
Padahal kepentingan pria pun termaktub di dalam isu tersebut.
Susan
Brownmiller, penulis buku Against Our
Will – Men, Women and Rape (Simon and Schuster, New York, 1975) menulisa
bahwa ada tiga cara jitu seorang perempuan menjadi laik berita di harian-harian
populer: sebagai istri atau putri pembesar, sebagai korban (perkosaan/pembunuhan
atau kejahatan lainnya) yang tak bersalah dan/atau tak bernama, atau sebagai
pelaku suatu tindak kejahatan sendiri.
Sebagai
tambahan, dewasa ini, cara lain jadi laik berita adalah sebagai perempuan
eksekutif yang bergerak di bidang yang tadinya didominasi melulu oleh kaum
pria.
Baik koran,
majalah, televisi maupun radio gemar menyuguhkan ulasan mengenai perempuan yang
berprestasi. Profil wanita karir, lembar wanita, wanita sukses—apapun namanya,
rubrik profil umumnya mencoba menampilkan sosok yang sangat berhasil, yang
kebetulan ber-gender perempuan.
Karena sukses
atau prestasi di dalam masyarakat lama sekali menjadi monopoli kaum lelaki,
profil perempuan kerap disuguhkan dari sudut pandang kesuksesan ala pria—atau
ala sebagaimana diinginkan pria. Maklum, kebanyakan praktisi media massa
Indonesia sampai sekarang adalah pria.
Seolah
sebagai kompensasi, profil akhirnya menampilkan sang sosok perempuan
berprestasi itu sebagai tidak terlalu melenceng jauh dari batas domestik.
Batasan yang dari awal sudah dipancang khusus untuknya. Senapas dengan itu,
nama suami atau ayahnya juga seolah patut dicantumkan dalam profil (yang
menunjukkan kepada kita sebab-musabab sebenarnya mengapa sosok tersebut
diprofilkan).
Akhirnya,
penampilan perempuan berprestasi macam inilah yang banyak ikut membentuk citra
mengenai perempuan yang sukses; yakni perempuan yang cukup rendah hati (atau
cukup berbesar hati?) untuk mengatakan: “Tanpa restu suami (ayah, abang,
mentor, keluarga—pilih salah satu) saya, saya tidak mungkin mencapai ini
semua.”
Kalau patokan
sudah jelas begini, agak sulit bagi orang untuk bisa dikatakan sukses jika ia
tidak memenuhi sekian kriteria dasar. Perempuan berprestasi yang tidak memenuhi
“kriteria dasar” itu, namun nyata-nyata punya sesuatu yang patut diungkapkan
akhirnya jadinya ditampilkan sebagai suatu “keanehan,” mirip tokoh sirkus atau
pasar malam.
Andaikata ada
perempuan yang muncul dalam pemberitaan bukan
sebagai istri/putri pembesar, dan bukan
pula karena suatu prestasi—berarti dia muncul sebagai sosok yang memang
bernilai berita—cara pengulasannya akan dsajikan dari sudut pandang laki-laki.
Ada suatu
kenyataan, yang jarang diungkapkan, apalagi diakui sebagai kenyataan: Berita
itu sebagian besar dibuat oleh kaum lelaki. Mengapa demikian? Karena di dunia yang
besar, luas dan buas ini, cuma laki-lakilah yang dipandang sebagai berkecimpung
di dalam ‘kehidupan nyata’—kehidupan yang menyangkut pemerintahan, industri,
olah raga, petualangan dan kriminalitas. Media massa digarap, disunting, dan
diedarkan oleh pria untuk pria.
Pembaca/konsumen media ber-gender
perempuan sekadar efek sampingan. Kepentingan mereka cuma diukur sebesar kolom
untuk iklan, berita ‘lembik’ yang bisa di-“buang” ke halaman wanita, atau
apabila mereka cukup cantik/seronok/kontroversial untuk dapat meningkatkan
tiras penjualan media tersebut.
Kembali ke
pokok yang disajikan di awal makalah, media tidak sekadar jadi cermin (suatu realitas sosial). Dia juga
ikut membentuk realitas itu.
Realitasnya adalah kehadiran dan sumbeng-peran perempuan di seluruh alur
kehidupan masyarakat. Tetapi karena yang berkecimpung di dalam penggarapan
media sebagian besar laki-laki (4.687 wartawan pria dibanding 461 wartawan
perempuan menurut catatan mutakhir PWI), sudut pandang laki-laki yang dominan.
Itu dibaca dan dicerna oleh masyarakat selama sekian tahun. Akhirnya itu
dipandang sebagai kenyataan sosial, bahwa perempuan cuma sekian persen ikut
menyumbang dalam gerak dinamika masyarakat.
Dengan kajian
begini, siapa yang heran kalau penampilan perempuan yang ditangkap orang awam
adalah sebagai sosok yang berada di periferi masyarakat, tidak jadi penentu
dalam masyarakat tersebut, dan selalu berada di dalam bayang-bayang sang pria.
Lebih jauh,
perempuan baik sebagai obyek maupun sebagai subyek berita, muncul sebagai
makhluk yang tidak bersentuhan sama sekali dengan isu-isu sosial, politik dan
ekonomi yang besar dan penting.
Jika dalam
pemberitaan, perempuan tampil sebagai makhluk yang kurang tertarik untuk
mengetahui tentang dunia luar yang luas dan dinamis, di dalam fiksi di media
cetak (koran, majalah dan tabloid) maupun media siaran, perempuan kerap tampil
sebagai makhluk yang sangat tergantung, tidak percaya diri, tidak rasional,
percaya takhayul dan beremosi dalam kadar berlebihan.
Perempuan dalam Berita
Jika akhirnya
perempuan masuk berita di Halaman Satu surat kabar atas “kekuatannya” sendiri,
lebih sering ia muncul sebagai sosok korban suatu tindak kriminalitas, atau
sebagai obyek dalam sebuah kisah yang “bintang utamanya” adalah laki-laki.
Untuk
mendukung asumsi ini, penulis mengambil delapan surat kabar harian ibukota yang
beredar Jumat, 29 Januari 1993 (data Deppen tahun tersebut menunjukkan di
Jakarta beredar 16 surat kabar harian). Secara selayang pandang penulis
mengamati berita-berita yang dijajakan di Halaman Satu, sebagai halaman
terpenting dan etalase sebuah koran.
Harian-harian
tersebut adalah (sesuai urutan abjad huruf depan nama koran): Berita Buana, Bisnis Indonesia, Kompas,
Neraca, Pos Kota, Republika, Sinar Pagi dan Suara Karya.
Dari 10
(sepuluh) berita utama yang disajikan di Halaman Pertama Berita Buana, cuma satu yang menyangkut perempuan. Beritanya? Kampiun sumo Takahanada memutuskan hubungan
dengan tunangannya, bintang porno Jepang yang cantik dan mungil, Rie
Miyazawa...dengan mengumumkan, “Saya sudah tak cinta lagi Rie Miyazawa.”
Harian Bisnis Indonesia menjajakan 11 berita di
Halaman Satu, dan tidak satu pun memberitakan gerak-gerik perempuan.
Kompas, sebagai surat kabar yang beroplah besar secara nasional,
memuat sembilan berita di Halaman Satu, dengan dua berita tentang perempuan: Monica Seles Jumpa Steffi Graf di Final (Tenis
Australia Terbuka 1993); dan pendapat Prof. Dr. Ny. Miriam Budiardjo, anggota
delegasi Indonesia, yang mengemukakan,
Indonesia sama sekali tidak menentang pembentukan komisi Hak Asasi Regional,
hanya Indonesia menyatakan bahwa usaha ke arah itu akan menghadapi banyak
kesukaran.
Harian
Ekonomi Neraca memuat 7 berita di
Halaman Satu, dan tidak satu pun mengulas pandangan atau kegiatan yang
dilakukan perempuan.
Sementara itu,
harian Pos Kota, yang cenderung
memberatkan isi kepada berita kriminalitas, memuat sejumlah 22 berita, dengan
lima yang menyangkut perempuan, dua di antaranya lebih berupa pumpunan (features). Sebagai ilustrasi, berikut
kutipan kalimat-kalimat pertam kedua pumpunan tersebut:
Nah Ini
Dia..! Ditinggal Ronda “Kebobolan”—Tujuan siskamling adalah
untuk mencegah terjadinya pencurian, namun yang dialami Asmawi (35) justru
kebalikannya. Saat dia ronda kontrol keamanan lingkungan di malam hari, di
rumahnya justru ‘kebobolan’ barang antik. Istrinya yang cantik dan dimanjakan
selama ini, tengah malam disatroni Panjul (30) tentangga sendiri!
Lelaki yang tinggal di Desa Sumberagung
Kecamatan Kesamben Kabupaten Blitar ini memang tergolong mujur. Walaupun
wajahnya simpang-siur tak menentu, ketika jatuh hati kepada Atminah (30) yang
cantik dan manja dan centil, dapat sambutan positif. Apakah Asmawi main dukun
dan guna-guna, tidak juga. Dugaan paling kuat barangkali, Atminah tertarik pada
lelaki itu karena kekayaannya yang cukup bisa diandalkan.
Judul pumpunan yang satu berbunyi:
Wanita-wanita
Penjaja Cinta di Pantai Selatan (5)—Mesum di balik gundukan karang.
Harian Republika, yang adalah surat kabar yang
paling baru dalam menggelar khazanah pers Indonesia dewasa ini (pertama terbit
4 Januari 1993), menggelar sembilan berita di Halaman Satu, dengan dua berita
tentang perempuan: Unggulan Teratas Seles
dan Graf Bertemu di Final, dan berita Ribuan
Lebah Ngamuk, Seorang Tewas dan 9 Luka, yang memberitakan bagaimana Jumiati
(6) tewas akibat sengatan, dan delapan anak serta seorang ibu, Ny. Sri Pontiah,
33, luka-luka.
Surat kabar Sinar Pagi menyajikan 20 berita di
Halaman Satu, dan empat di antaranya menyangkut perempuan: Wanita Pemalsu Kartu Kredit Internasional Ditangkap; Tiga Orang
Termasuk Wanita Asing Karyawan Kedubes Pakistan Tewas Tak Wajar; Ibu dan Tiga Anak Tewas Terbakar di Flores
dan Wanita Dibius Teman Kencan di Hotel,
Dipreteli.
Harian umum Suara Karya menyajikan 12 berita di
Halaman Satu, dan cuma satu berita yang menyangkut perempuan: Monica Seles Lawan Steffi Graf di Final.
Apa yang
dapat dikaji dari pandangan sekilas Halaman Satu delapan surat kabar yang
beredar dalam sehari?
Berita yang
menyangkut perempuan mengetengahkan perempuan sebagai:
· Korban tindak kejahatan, terutama
kekerasan (seksual dan penganiayaan).
· Korban suatu kekuatan di luar
kekuasaan dirinya (alam, penguasa).
· Obyek seks, dan pendamping kisah yang
“dibintangi” laki-laki.
· Sebagai istri orang.
Yang terakhir
dicantumkan karena, sebagai tokoh perempuan satu-satunya (di luar Monica
Seles), pengamat masalah politik terkenal Miriam Budiardjo disebutkan sebagai
Prof. Dr. Nyonya ... Rekan-rekannya
yang sama termahsyurnya cukup dicantumkan sebagai Dirjenpol Deplu Wiryono
Satrohandoyo, Dr. T. Mulya Lubis, LLM., dan Prof. Mochtar Kusumaatmadja, tidak
peduli status perkawinannya.
Kecenderungan
menggunakan singkatan Ny. di depan
nama perempuan yang masuk berita atas kekuatannya sendiri bisa dilihat sebagai
pengejawantahan gejala lain pula. Yakni, saking jarangnya perempuan masuk
berita, untuk membedakan gender-nya
praktisi media massa terpaksa mencantumkan singkatan kualifikasi tersebut,
supaya orang tahu dia perempuan.
Berarti,
kajian ini pun menegaskan premis penulis semula: bahwa berita dibuat oleh pria
untuk pria. Asumsinya adalah kaum lelaku sama-sama tahu bahwa yang diberitakan
selalu gender mereka. Sekali-kalinya
ada lawan jenis yang masuk berita, ia harus ditandai secara khusus.
Dari kesemua
contoh di Halaman Satu kedelapan surat kabar, hampir seluruh berita tentang
perempuan menunjukkannya sebagai korban. Jika tidak, ia adalah obyek seks, yang
merupakan efek sampingan cerita utama tentang laki-laki, atau melulu
dicantumkan sebagai penarik perhatian. Sekali-kalinya muncul sebagai pengamat
politik, ia adalah seorang Nyonya. Sementara itu, pada kedua harian ekonomi dan
bisnis, Bisnis Indonesia dan Neraca, pada Jumat 29 Januari 1993, sama
sekali tidak ditemukan berita berpelaku
perempuan di dalam arena perbisnisan di Indonesia.
Kesimpulan
Media massa
banyak andilnya dalam pembentukan sikap dan perilaku yang menentukan status
perempuan di dalam masyarakat.
Media jarang
sekali menampilkan perempuan sebagai terlibat secara signifikan, baik dalam
dunia pekerjaan, maupun dalam kehidupan publik.
Alhasil,
masyarakat awam umum melihat peran perempuan dalam kehidupan sehari-hari
sebagai periferal. Caranya masyarakat awam melihat peran ini akhirnya menjadi
salah satu faktor yang menentukan status perempuan itu sendiri di dalam
masyarakat.
Secara umum,
media nyaris tidak menaruh perhatian sama sekali pada isu-isu khas yang penting
bagi perempuan, atau sumbangsih sosial yang diberitakan kepada masyarakat oleh
perempuan yang mandiri dan berbakat, atau bahkan bahwa sebagian besar makanan
yang dikonsumsi oleh masyarakat pada tahap awalnya diolah oleh perempuan di
desa, sebagaimana dipaparkan penulis di pendahuluan makalah ini.
Dalam media
massa, perempuan tampil sebagai sosok pasif, tidak mandiri, tergantung dan
tidak berani mengambil keputusan. Distorsi semacam ini akhirnya mengabsahkan
dan melestarikan ketimpangan yang ada.
No comments:
Post a Comment
budayakan komentar yang berbudaya