(Oleh : Dr. Haryatmoko, dalam Etika Komunikasi, Manipulasi Media,
Kekerasan, dan Pornografi)
Pornografi dapat didefinisikan sebagai
representasi eksplisit (gambar, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual atau
hal yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan
ke publik (R. Ogien, 2003: 31, 47). Mesum, cabul atau tidak senonoh dipahami
sebagai sesuatu yang melukai dengan sengaja rasa malu atau rasa susila dengan
membangkitkan representasi seksualitas. Bisa saja penilaian ini dituduh
bersifat subjektif karena mengacu pada situasi mental atau afektif seseorang.
Akan tetapi, ukuran tidak hanya berhenti pada subjektivitas semacam itu, karya
yang ‘mesum, cabul, atau tidak senonoh’ itu didasarkan pula oleh komunitas
setempat atau oleh setiap orang yang
sehat akal. Definisi tersebut akan lebih meyakinkan lagi bila karya itu tidak
mengandung nilai seni, sastra, ilmiah, atau politik.
Definisi diatas agak
dipertanyakan bila sudah menyangkut masalah representasi mental (kepercayaan,
impian, ingatan), atau bila terkait dengan objek fisik (pakaian dalam dan perlengkapan
objek seksual), atau objek abstrak yang terungkap dalam budaya atau masyarakat
tertentu. Namun, isi representasi publik ini bagaimanapun tidak bisa dikatakan
relatif. Persepsi dan kategori yang dipakai oleh komunitas tertentu tidak
sepenuhnya relativis. Ada acuan pada konsepsi umum tentang seni, misalnya,
maksud pengarang/seniman dalam penentuan karya, hakikat universal apresiasi
karya seni yang bisa dipertanggung-jawabkan, dan konsepsi moral (menolak
dehumanisasi dan pengobjekan).
Argumen
Penolakan Pornografi dan Etika Minimal
Dalam debat politik, biasanya ada tiga
alasan utama yang dikemukakan untuk menolak pornografi, ialah pertama, perlindungan terhadap orang
muda atau anak-anak, kedua mencegah
perendahan martabat perempuan, ketiga
mencegah sifat subversifnya yang cenderung menghancurkan tatanan nilai seksual
keluarga dan masyarakat (ibid, 2003: 7). Pornografi dikhawatirkan akan
mengganggu anak-anak atau remaja sehingga akan mengalami gangguan psikis dan
kekacauan dalam perilaku yang mirip dengan bila mereka mengalami pelecehan
seksual. Pornografi cenderung akan dipakai oleh remaja sebagai pegangan
perilaku seksual. Padahal dalam program tersebut sama sekali tidak ada ungkapan
perasaan, mengabaikan afeksi, mereduksi pasangan perempuan melulu sebagai objek
pemuasan diri. Pornografi cenderung membangkitkan suasana kekerasan terhadap
perempuan.
Dengan bahasa lugas,
pornografi dianggap akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong
perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Bahkan
seandainya pornografi tidak merangsang lagi, bukan berarti tidak membahayakan
psikologis anak. Selain itu, penyebaran pornografi secara meluas dikhawatirkan
akan meningkatkan kekerasan terhadap perempuan. Bahkan menurut etika minimal,
pornografi melukai pihak lain. Etika minimal terdiri atas tiga pilar (R. Ogien,
2003: 12-13), yaitu pertama, sikap
netral terhadap konsepsi yang ‘baik’. Konsepsi ini menghargai hak akan
kemandirian moral yang dalam kasus ini berarti kebebasan memilih apa yang baik
bagi dirinya dalam hal seksualitas. Kedua,
prinsip menghindar dari merugikan pihak
lain. Prinsip ini berasal dari cara berfikir konsekuensialis yang sangat peduli
pada efek yang menimpa individu, bisa berupa kerugian fisik atau psikologis. Ketiga, prinsip untuk menempatkan nilai
yang sama pada suara atau kepentingan setiap orang. Prinsip ini berasal dari
tradisi deontologi di mana kewajiban setiap orang untuk tidak menjadikan orang
lain sebagai sarana, tetapi tujuan pada dirinya. Prinsip kedua dan ketiga
menjamin kesetaraan, maka berfungsi mengatur hubungan dengan pihak lain, dengan
menghindari semua bentuk paternalisme.
Hukum
Represif, Perempuan Menjadi Korban
Dalam konteks ini, penilaian moral yang
bertanggung jawab mengadakan verifikasi, artinya bila dilihat dari sudut
logika, dalam silogisme, premis minor selalu berhubungan dengan fakta. Apa yang
terkait dengan fakta harus bisa diverifikasi. Misalnya hars di cek terlebih
dahulu dengan suatu penelitian bahwa melihat tayangan porno, mendorong
meningkatnya perkosaan. Menurut teori peniruan, semakin orang sering melihat
pornografi, semakin ia terdorong untuk ikut melakukan (ibid, 80). Tetapi bagaimana
hipotesis teori catharsis yang
mengatakan bahwa semakin orang sering mengkonsumsi pornografi, semakin tidak
ingin melakukan.
Yang terpenting ialah
bagaimana supaya hukum yang melarang pornografi jangan sampai menjadikan
perempuan sebagai korban lagi. Bahayanya ialah bahwa koersi dalam bentuk
peraturan cara berpakaian, tapil, dan seni justru cenderung membidik untuk
membatasi perempuan. Dampaknya ialah lingkup ekspresi perempuan makin dibatasi.
Pornografi dianggap
merendakan nilai seksualitas perkawinan. Ia tidak menghargai
cinta-penuh-perasaan dalam hubungan dua insan dengan lebih ingin menekankan
serta membangkitkan afirmasi hasrat seksual. Sejalan dengan menyebarnya nilai
hedonis, pornografi cenderung mengedepankan kenikmatan dan pengakuan akan
kebiasaan seksual yang keluar dari kecenderungan yang wajar.
Kecenderungan media
untuk menampilkan yang sensasional atau spektakuler mempengaruhi insan media sehingga mudah
tergoda mempresentasikan pornografi karena paling mudah memancing kehebohan.
Dari sini tampak bahwa perdebatan tentang pornografi bukan hanya masalah
melalui konseptual, tetapi menyangkut masalah pengambilan sikap moral dan
politik. Permasalahan pornografi menjadi semakin pelik karena pertama, berhadapan dengan kebebasan
berekspresi, terutama bila mengandung nilai seni. Kedua, bagaimana menghadapi hak akan informasi. Dan ketiga,
bagaimana menjamin hak untuk memenuhi pilihan pribadi, bila pilihan ini tidak
melukai orang lain, bahkan bila nilai seni dan pendidikannya dianggap
meragukan.
Menghadapi ketiga
masalah ini, langkah pertama ialah menentukan batasan pornografi supaya tidak
dialihkan hanya menjadi masalah relativisme. Masalah pornografi bukan masalah
relativis bila mempertimbangkan setidaknya empat acuan: pertama, mempertimbangkan konsepsi umum tentang seni. Dalam hal ini
perlu diperhitungkan peran maksud pengarang/pembuat dalam penentuan ciri-ciri
karya seni, hakikat semua apresiasi yang masuk akal tentang karya seni. Kedua, mempertimbangkan konsepsi moral.
Dasar ukuran moral umum ialah apakah mengakibatkan dehumanisasi atau terjadi
pengobjekan manusia. Ketiga, perlu
diperhitungkan reaksi emosional yang ditimbulkan. Reaksi emosional macam apa
yang ditimbulkan karya tersebut (senang, jijik, atau rangsangan seksual). Keempat, perlu dipertimbangkan pandangan
dari berbagai teori psikologi (Catharsis,
Imitasi, dan Pembiasan). Dari keempat
pertimbangan itu, penting untuk mendefinisikan secara lebih bertanggung jawab
pembedaan seni dan pornografi, termasuk pembedaan antara pornografi dan
erotisme.
Pornografi
dan Erotisme
Untuk mengindari kecenderungan argumen
otoritas, logika pornografi lebih jernih dipahami bila dianalisis melalui
mekanisme manipulasi ikon. Ikon merupakan tanda yang mirip dengan apa yang
digambarkannya. Ikon mau seperti aslinya atau yang diacunya (foto atau gambar),
bahkan kalau bisa lebih dari sekedar aslinya (hiperrealitas).
Dalam pornografi,
gambar ingin memberikan semua yang ingin diketahui dan langsung tanpa
membutuhkan saat untuk merenung. Gambar harus jelas dan sederhana sesuai dengan
aslinya bahkan lebih dari aslinya (hiperrealitas), misalnya dengan menonjolkan
bagian tertentu dari tubuh. Penampilan gambar atau tulisan tidak boleh
menimbulkan ambiguitas sehingga tidak dibutuhkan lagi penafsiran (Matthieu
Dubost, 2006: 32). Maka simbolisme tidak mendapat tempat. Penafikan simbol ini
juga sejalan dengan prinsip ‘harus sangat kelihatan’ (ibid., 65) sehingga tidak
memerlukan lagi kisah. Dalam pornografi, tanpa konteks dan tidak ada tokoh
subjek yang sebenarnya, tapi hanya dihiasi tokoh palsu, tanpa ada identitas dan
sejarah. Tanpa kisah dan konteks, foto atau gambar manusia menjadi melulu benda
tanpa ruh. Pornografi mereduksi sesuatu yang hidup menjadi yang dapat
dimanipulasi. Melulu sebagai jejak, foto atau gambar hanyalah materi (ibid.,
123).
Semua yang menimbulkan
ingatan harus lenyap karena fokus hanya pada rangsangan sesaat. Ingatan akan
mengganggu. Ia menjembatani gambar dengan waktu lain atau kisah lain. Padahal
yang mengingatkan pada liyan akan mengalihkan perhatian, mencegah dominasi
gambar. Semua yang membangun realisme harus ditiadakan karena mengaburkan
realisme. Ketika seorang pasien laki-laki dimandikan oleh perawat perempuan,
meski dalam keadaan telanjang dan hanya berdua dikamar, kebanyakan pasien tidak
mengalami ereksi karena perawat mengalihkan perhatian dengan mengajak
berbicara. Disana ada kisah, ada ingatan, dan ada kehadiran liyan yang tidak
memungkinkan laki-laki mendominasi. Analogi ini menjadi pelajaran bahwa yang
telanjang tidak selalu mengancam moralitas karena ada wacana, ingatan, dan
kisah. Dalam pornografi, wacana kehilangan kemandiriannya karena hanya akan
diperbudak untuk merangsang hasrat seksual.
Apa dampak dari prinsip
pornografi ‘semua harus sangat kelihatan’ ini? Ada empat dampak langsung yaitu
depersonalisasi tubuh, tiadanya tuntutan kebenaran, tirani terhadap liyan, dan
estetika buruk-muka. Pertama, depersonalisasi
(hilangnya kepribadian tubuh) tubuh dipahami sebagai upaya untuk menarik keluar
dari tubuh semua hal yang merepresentasikan kepribadian seseorang. Dilepaskan
dari semua yang lembut, perasaan, yang manusiawi dan hubungan kesalingan,
pornografi menampilkan wajah kekerasan seksualitas. Hubungannya menjadi
mengobjekkan, suatu bentuk dominasi supaya fantasme tercapai (ibid., 29). Kedua, tiadanya tuntutan kebenaran
disebabkan oleh imperatif ‘semua sudah kelihatan’. Gambar sudah menampilkan
semua, maka tidak perlu lagi menebak atau menafsirkan. Dengan demikian,
berkurang tuntutan akan kebenaran karena pornografi menolak yang tersembunyi
atau yang potensial (ibid., 65). Proses pembodohan terjadi karena penonton atau
pembaca tidak diajak berfikir atau berefleksi. Tidak ada proses mengolah, mengedepankan,
apalagi pemikiran kritis. Yang diminta hanya menelan, mengkonsumsi supaya
hasrat seks terangsang. Ketiga,
tirani terhadap liyan terjadi karena subjektivitas liyan dilucuti. Dalam
pornografi, tubuh adalah tanpa kehidupan, wajah tanpa ekspresi. Karena tidak menatap
aku, ia tidak menilai dan menyapa aku. Realisme gambar memungkinkan tersedianya
objek bagi kesendirianku (penonton) tanpa ada subjek pesaing. Realisme harus
mendominasi supaya liyan disangkal dan direduksi menjadi sesuatu yang dengan
mudah dapat di ramalkan (ibid., 109), artinya bisa digunakan untuk apa saja. Perjumpaan
direduksi hanya menjadi hubungan dominasi. Dalam hubungan semacam ini, yang
dicari hanyalah kenikmatan diri, yang lain hanyalah alasan dan sarana. Keempat, estetika buruk-muka sangat
menonjol dalam pornografi. Ketelanjangan ditampilkan tanpa keprihatinan akan
keindahan. Obsesi utama adalah merangsang hasrat seks dan keingintahuan
sehingga tidak mempedulikan segi estetis. Ketelanjangan memberi kesan kuat
sepeti onggokan tanpa kegelisahan sehingga mengingkari misteri tubuh yang jatuh
cinta (ibid., 116). Tiadannya perasaan atau kelembutan yang terlibat berarti
tiadanya kedalaman diri.
Lain dengan erotisme,
karena memungkikan suatu style,
bahasa, dan penantian, ia bisa menerima kehadiran liyan. Erotisme menyangkal
kemahakuasaan ‘semua harus kelihatan’, maka keterbatasan kemampuan gambar
(ibid., 125) justru menjadi celah keberadaan erotisme. Erotisme adalah seni
waktu (ibid., 130). Pada pornografi, manipulasi ikon membuat gambar terpateri
dan dikosongkan dari waktu, tanpa kisah. Sedangkan dalam erotisme gambar
berkisah dalam waktu dan terbuka terhadap kebaruan serta yang tak teramalkan.
Tekanan erotisme pada imajinasi dan sugesti bukan merupakan prinsip, namun
bagian dari konsekuensi (ibid., 130).
Dalam erotisme, yang
lebih tampak adalah pengungkapan hasrat daripada penonjolan tubuh yang
telanjang. Maka, butuh keterlambatan bahkan kelambanan, toleran terhadap waktu,
dan membiarkan adanya perkembangan. Dalam erotisme, ada kisah, terselip
pandangan yang tak terkatakan, memiliki konteks, dan menolak semua bentuk
ketergesaan. Maka erotisme menolak kodifikasi dan stereotipe. Ia memahami
resiko hubungan yang sampai pada hasrat manusiawi yang autentik. Keindahan
dalam erotisme bukan perayaan kenikmatan diri, tetapi untuk memberi wajah pada
tubuh. Dengan kata lain, erotisme mencari celah antara ‘mengatakan semua’ dan
‘menyembunyikan semua’ (ibid., 130-131). Dalam celah itu mau ditampilkan pemandangan
yang tak dikenal untuk menemukan dunia yang hilang.
Semua erotisme selalu
beresiko menjadi pornografi. Pada karya tertentu tidak mudah menentukan batas antara
erotisme dan pornografi, selain karena subjektivitas penilai, juga disebabkan
oleh ambiguitas hubungan yang dipertaruhkan (ibid., 124). Ambiguitas itu
berasal dari sejauh mana tubuh menghindar dari representasi. Nilai seni
terletak dalam muatan wacana, kisah, konteks, dan ingatan, yang pada gilirannya
menentukan kelembutan dan intensitas tubuh. Karya seni biasanya membiarkan
dilihat tanpa perlu menunjukan diri. Kerentanan ekspresi seni yang terselip
dalam erotisme berasal dari penilaian yang melulu moral. Bila kriteria moral
menjadi segala-galanya, keindahan menjadi menakutkan dan mengancam. Padahal
yang indah bisa membujuk keangkuhan hukum untuk mengembuskan yang manusiawi. Dalam
seni, wacana mempunyai tempat yang nyata dan membentuk unsur dialetika dalam
gambar. Dinamika seni sangat kaya dengan kontradiksi sehingga semua bentuk
analisis, ramalan, dan penilaian konseptual hanya akan menemui kekecewaan. Ia
terbuka pada yang tak terkatakan dan tetap menyimpan kreativitas meski tak
terlukiskan. Seni selalu puitis. Seni mengajarkan sesuatu, mempertajam cara
pandang sehingga membantu untuk memahami dunia secara lebih cerdik dan matang.
Ia adalah hasrat dan akan alternatif.
Setelah melihat lebih
jeli batas-batas seni dan unsur yang mengarah ke pornografi, pelanggaran atau
regulasi oleh negara dalam materi ini akan lebih memperhatikan pertimbangan
yang lebih jernih. Lalu negara tidak terlalu gegabah memberlakukan hukum yang
mungkin akan makin membatasi kebebasan berekspresi atau hak akan informasi. Ada
banyak negara mau mengontrol semua aspek kehidupan warga negara. Sejauh mana
hukum pidana berhak mengatur perilaku moral perorangan?
Negara dianggap berhak
menetapkan kriminal tindak prostitusi, pornografi, aborsi, selingkuh, kumpul
kebo, atau perilaku seksual tertentu. Dalam negara demokrasi, sikap kritis
masyarakat, kesadaran kebebasan individu, kebebasan berekspresi atau hak akan
informasi menuntut peninjauan kembali wilayah kompetensi negara dalam hal
moral. Setidaknya orang berharap bahwa penetapan hukum tidak hanya menjadi
proses pengaturan sepihak oleh negara.
Paternalisme
Negara = Polisi Moral
Etika politik sebagai ‘hidup baik
bersama dan bagi orang lain untuk memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi
yang lebih adil’. (Ricoeur, 1990) menunjukan, campur tangan negara dalam hal
moral orang perorangan sarat dengan dilema. Disatu pihak, bila negara banyak campur
tangan dalam hal moral, kecenderungannya bukan memperluas lingkup kebebasan
warga negara, tetapi justru mempersempit. Dengan banyak campur tangan pada
lingkup privat, ruang publik menjadi rentan karena banyaknya pembatas koersif.
Hukum menjadi alibi tanggung jawab, orang menghindar dari tanggung jawab justru
ketika hukum terlalu koersif. Suasana seperti itu mendorong ke pembodohan
masyarakat. Dipihak lain, bila kebebasan seseorang merugikan pihak lain, atau
pemenuhan hak seseorang mengancam kebebasan pihak lain, campur tangan negara
sulit ditolak.
Sikap paternalistik
negara biasanya mengatasnamakan tujuan luhur. Pertama menjaga keteraturan dan kepantasan publik dengan melindungi
anak-anak, mereka yang dianggap rentan/lemah atau orang yang belum dewasa, yang
tidak berpengalaman dari pengaruh perilaku, gambar, tulisan, audiovisual yang
dianggap berbahaya atau merugikan, melindungi dengan melawan eksploitasi dan
pembusukan (bdk. Komisi Wolfenden, 1975). Kedua,
melindungi perempuan agar tidak diperlakukan sebagai objek (pornografi) atau
menjadi korban eksploitasi, pelecehan atau kekerasan seksual. Ketiga, mencegah dan menghukum semua
yang dikategorikan melanggar batas moral diluar pernikahan.
Meski tujuan ini tampak
luhur, campur tangan negara tidak lepas dari beberapa keberatan. Pertama, tujuan itu mempertanyakan
otonomi moral. Kemampuan orang perseorangan untuk menentukan yang baik dan
jahat diragukan. Negara menjadi polisi moral yang mengawasi gerak-gerik dan
perilaku warganya, dan akan mencurigai semua bentuk hubungan orang dewasa.
Moralisme yang berlebihan ini akan membatasi kreativitas masyarakat karena
mobilitas individu amat dibatasi dan diawasi.
Kedua,
prinsip subsidiaritas tidak dihormati (bila individu atau kelompok yang lebih
kecil dengan kemampuan dan sarana yang ada bisa menyelesaikan, kelompok yang
lebih besar atau negara tidak perlu campur tangan). Diabaikannya prinsip ini
akan melemahkan peran civil society dan inisiatif dari bawah karena
negara cenderung mengurusi semua. Ketiga,
paternalisme ini elistis dan diskriminatif, ada kehendak mengontrol massa yang
dianggap berbahaya dengan melindungi dari pengaruh gagasan buruk tentang
pornografi. Representasi seksual terbuka yang disertai reaksi distinction sosial kelompok elite tidak
menimbulkan masalah apa-apa. Begitu orang banyak mulai menikmati hal-hal yang
dihargai elite, lalu menjadi vulgar, tidak ada lagi nilai moral dan keindahan,
serta dianggap berbahaya (R. Ogien, 2003: 43).
Landasan pelarangan
pornografi menjadi menarik katika argumen kelompok yang memperjuangkan nilai
tradisional mengarah ke titik yang sama dengan kelompok liberal. Ketidaksetujuan
kelompok tradisional karena pornografi dianggap mengancam nilai keluarga.
Sedangkan keberatan kelompok liberal terletak dalam visi hubungan manusia
dilihat melulu dari sisi instrumental, hedonis, dan mengacaukan dengan makna
cinta. Dalam pornografi, tercipta semacam hubungan antara subjek dan pribadi
imajiner, gambar orang dalam kertas atau layar. Dengan demikian, orang dicabut
dari realitas ke fantasi, dari alturisme ke egosentrisme. Akibatnya, yang mau
ditonjolkan hanya hasrat seksual, cinta dikalahkan oleh kepuasan dorongan nafsu
seks.
daftar pustaka :
Haryatmoko.
2007. Etika Komunikasi, Manipulasi Media,
Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
hai..saya juga merupakan pelajar komunikasi di Malaysia. jika sudia berkawan boleh add saya as a friend di facebook or twitter.
ReplyDeleteblog saya j41806.blogspot.com
ashamsuri@yahoo.com
salam perkenalan dari Malaysia.