MELACAK AKAR MASALAH PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP NILAI-NILAI SOSIAL
(KAJIAN FILSAFAT NILAI)
Supartiningsih
(Supartiningsih adalah dosen Fakultas Filsafat UGM, kajian-kajian
filsafati dalam bidang kewanitaan telah banyak dilakukannya. Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36,
Nomor 1)
Perkembangan
dan kebebasan media massa merupakan tolok ukur kemajuan dunia informasi.
Demikian pula yang terjadi di Indonesia, media cetak dan elektronik berkembang
cukup pesat. Secara kuantitas media seperti koran, tabloid, televisi, VCD, dan
internet sangat jauh meningkat. Namun peningkatan ini sayangnya tidak dibarengi
dengan peningkatan kualitas. Bila dicermati isinya, banyak media yang tidak
berbobot dan terkesan hanya memenuhi alasan selera pasar. Salah satu yang
sangat ditonjolkan adalah eksploitasi seksual. Kasus-kasus pornografi yang
mencuat beberapa waktu yang lalu adalah bukti akan rendahnya kualitas
kebanyakan media yang ada.
Tayangan TV pun tidak ketinggalan mulai berani turut
ambil bagian dalam menayangkan eksploitasi seksual. Sejumlah video klip baik
dari lagu-lagu Barat maupun dalam negeri hampir dapat dikatakan selalu
menonjolkan unsur seksual. Jika kehidupan masyarakat dibombardir secara
terus-menerus dengan suguhan yang tidak mengindahkan batas-batas nilai
kesopanan, bukan tidak mungkin masyarakat akan sampai pada satu titik di mana
pornografi dan pornoaksi tidak lagi dianggap sebagai suatu yang tabu dan asusila.
Masyarakat akan menjadi terbiasa dan menganggap semua itu sebagai kewajaran.
Diawali dengan terbiasa membaca dan melihat, lama-kelamaan perilaku pun
berubah. Perasaan malu sudah tidak ada lagi, dan berkembanglah sikap apatis.
Akhirnya orang merasa bebas merdeka untuk melakukan apapun tanpa adanya lagi
kontrol masyarakat. Lemahnya kontrol masyarakat akan mengarah pada terbentuknya
budaya permisif.
Nilai-nilai yang mendasari perilaku masyarakat
sebagai tatanan yang seharusnya dijaga menjadi terpinggirkan, atau bahkan
terkikis habis. Masyarakat menjadi sangat permisif terhadap segala bentuk
penyimpangan yang terjadi, karena batasan nilai memudar. Akar budaya yang
menjunjung tinggi nilai dan religi menjadi tercerabut. Tidak ada lagi kata
tabu, malu apalagi dosa. Ujung-ujungnya adalah desakralisasi seks. Seks tidak
lagi dipahami sebagai hal sakral yang hanya terdapat dalam lembaga perkawinan.
Seks pun menjadi ‘barang’ murahan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan
saja dan di mana saja.
Pornografi selain hanya akan membuat pikiran
berorientasi pada hal-hal yang berbau seks, juga akan menggiring pada perubahan
tata nilai. Nilai-nilai religius akan tergusur dan kepedulian masyarakat
terhadap nilai-nilai sosial akan semakin melemah. Lebih parah lagi, perilaku
yang mengutamakan intelektualitas dan budaya tinggi berupa kreatifitas dan
kasih sayang berganti menjadi budaya rendahan seperti seks dan kekerasan.
Pengeksploitasian seks sebagai barang komoditi
mengakibatkan seseorang terkondisi untuk memandang seks sebagai barang
konsumsi. Karena itu, konsumsi seperti ini dapat saja terjadi tanpa batas dan
arah. Salah satu gejala yang dapat dilihat adalah gaya hidup free sex yang
pada saat ini telah menggoyahkan aturan-aturan perilaku seks yang sudah mapan
(Gunawan, 1993: 2).
Pornografi yang terdapat dalam sejumlah media massa menyiratkan
fungsinya sebagai meaning maker yang sangat berperan dalam melestarikan
budaya patriarkhi dengan menonjolkan mainstream sosok perempuan yang
stereotipikal. Disebut stereotip karena ia merupakan konsepsi atau pelabelan
sifat berdasarkan prasangka dan subjektif. Umumnya ia bersifat negatif sehingga
merugikan yang diberi label (Rustiani, 1996: 60). Opini yang digulirkan media
massa umumnya menempatkan perempuan sebagai ‘mahluk fungsional bagi laki-laki’,
lebih khusus lagi untuk ‘kegunaan seksual’ (Septiawati, 1999: 14).
Eksploitasi seksual juga banyak dilakukan dengan
alasan komersialisasi. Kekuatan feminin yang bertumpu pada daya pikat dari kekenyalan
otot dan kelembutan garis-garis tubuh perempuan dianggap oleh sebagian feminis
sebagai suatu mitos yang sengaja diciptakan untuk mendukung struktur
kapitalisme (Risangayu, 1999: 100). Tidak jarang dalam dunia bisnis, pengusaha
menggunakan cover dan ilustrasi yang memanfaatkan daya tarik seks (sex
appeal) untuk sekadar memancing para konsumennya.
Eksploitasi seksual di media massa menurut kalangan
feminis dipandang sebagai satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang
dilakukan oleh masyarakat luas. Hal ini mengacu pada Deklarasi PBB tentang
penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang berbunyi:
Kekerasan
secara fisik, seksual
dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan
seksual, pelecehan dan ancaman seksual ditempat kerja, dalam lembaga-lembaga
pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa.
Munculnya
eksploitasi seksual sebenarnya tidak lepas dari kontrol sosial dan negara.
Lemahnya kontrol sosial terhadap penjagaan nilai-nilai sosial memungkinkan
terjadinya keruntuhan sendi-sendi masyarakat. Pornografi secara kasar
merepresentasikan atau memamerkan kecabulan, khususnya seksualitas manusia,
dibuat dengan suatu tujuan untuk fantasi (Blackburn, 1994: 293). Tjipta Lesmana
(1995: 109) merangkum berbagai pendapat tentang pornografi antara lain:
1. Muhammad Said mengartikan porno adalah
segala apa saja yang sengaja disajikan dengan maksud merangsang nafsu seks
orang banyak.
2. Hooge Raad berpendapat bahwa pornografi
menimbulkan pikiran jorok.
3. Jurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia mencantumkan bahwa sesuatu dikatakan porno jika kebanyakan anggota
masyarakat menilai, berdasar standar nilai yang berlaku saat itu, materi tadi
secara keseluruhan dapat membangkitkan nafsu rendah pembaca. Kriteria porno adalah
gambar atau tulisan yang dapat membangkitkan rangsangan seksual mereka yang
melihat atau membacanya, yang melanggar rasa kesusilaan atau kesopanan
masyarakat dan oleh sebab itu tak pantas disiapkan secara umum.
Akar
Permasalahan Pornografi Dan Pornoaksi
Secara umum maraknya pornografi dan pornoaksi ada
dua faktor dominan: budaya patriarkhi dan kepentingan komersialisme. Kata
patriarkhi sering ditunjuk oleh kaum feminis sebagai biang keladi keterpurukan
perempuan. Dalam wacana gender, patriarkhi dimaknai sebagai sebuah sistem
sosial yang di dalam tata kekeluargaan, sang ayah menguasai semua anggota
keluarganya, semua harta milik dan sumber-sumber ekonomi, dan membuat semua
keputusan penting.
Dewasa ini sistem sosial yang patriarkhis mengalami
perkembangan dalam hal lingkup institusi sosialnya, antara lain lembaga
perkawinan, institusi ketenagakerjaan dan lain-lain. Pengertiannya pun berkembang
dari ‘hukum ayah’ ke hukum suami, hukum bos laki-laki dan hukum laki-laki
secara umum pada hampir semua institusi sosial, politik dan ekonomi (Rustiani,
1996: 59).
Seorang feminis radikal yang cukup tersohor bernama
Kate Millet dalam bukunya “Sexual Politics” (terbit tahun 1970)
mengatakan bahwa akar dari penindasan kaum perempuan terkubur dalam sistem
gender yang sangat patriarkhis. Ia menyoroti seks sebagai alat politis karena
relasi perempuan dan laki-laki menjadi paradigma seluruh relasi kekuasaan. Ia
menyatakan bahwa di tiap relasi yang selalu dimenangkan adalah supremasi
laki-laki. Sistem opresi yang berbasis kontrol laki-laki atas perempuan ini
berlanjut pada pembentukan nilai-nilai, emosi serta logika di tiap tahap
penting kehidupan manusia. Karena demikian kuatnya kontrol tersebut, ia sampai
merasuk dalam kehidupan akademi, religi dan keluarga. Hal ini kian melegitimasi
subordinasi perempuan. Akibatnya, semua yang terinternalisasi dalam diri tiap
perempuan adalah rasa inferioritas terhadap laki-laki (Tong, 1998: 49).
Kaum feminis radikal dalam menanggapi pornografi ini
melihat bahwa pornografi tidak lain adalah propaganda patriarkhal yang
menekankan perempuan adalah milik, pelayan, asisten dan mainan. Dalam panggung
pornografi, laki-laki eksis untuk dirinya sementara perempuan eksis untuk
laki-laki. Andrea Dworkin dan Chatarine Mac Kinnon mendefinisikan pornografi
sebagai subordinasi perempuan lewat gambar dan suara yang juga meliputi
dehumanisasi perempuan sebagai objek seks, komoditas, barang, penghinaan,
menyukai disakiti atau diperkosa. Pornografi juga mendorong laki-laki untuk
memperlakukan perempuan sebagai warga kelas dua, tidak hanya di kamar tidur
tapi juga di wilayah publik. Para pornografer dituding sebagai agen
diskriminasi seksual dan bersalah karena merampok hak-hak sipil perempuan.
Bisnis pornografi menjadi lahan subur bagi pesan-pesan kebencian terhadap
(misoginis), kekerasan, dominasi dan penaklukan (Venny, tt: 33).
Senada dengan itu, Susan Brown Miller
mengidentifikasi bahwa tipikal porno selalu berbentuk tubuh perempuan telanjang
dengan dada dan genital yang terekspos. Bagi laki-laki, lanjutnya, tubuh yang
telanjang adalah memalukan bagi perempuan. Karena itu, bagian tubuh yang sangat
privat dalam pornografi bisa menjadi properti privat para laki-laki. Pada saat
yang bersamaan fantasi tradisi kuno, kesucian, universal, beserta seluruh
instrumen patriarkhal dari kekuasaan laki-laki campur aduk menelikung diri
perempuan (Tong, 1998: 36).
Faktor kedua yang tidak kalah berpengaruh adalah
komersialisme. Pornografi menjadikan eksploitasi seksual sebagai hal yang
diperdagangkan. Keterkaitan antara seksualitas dengan sisi ekonomi ini tampak
dalam kegiatan produksi, distribusi dan transaksi hasrat. Sistem ekonomi
seperti ini pada gilirannya menjelma menjadi libidonomics, yakni sebuah
sistem pendistribusian rangsangan, rayuan, kesenangan dan kegairahan dalam
masyarakat.
JF Loytard dalam “Libidinal Economy” (1993)
juga berpendapat bahwa di dalam tubuh ekonomi (kapitalisme global) berkembang
sebuah logika yang disebutnya logika hasrat (the logics of desire).
Maksud yang terkandung dalam ungkapan ini adalah bahwa lalu lintas ekonomi
disertai oleh lalu lintas hasrat. Pertumbuhan ekonomi ditentukan dari bagaimana hasrat setiap
konsumen dirangsang lewat trik-trik sensualitas komoditas. Rangsangan hasrat
menjadi titik sentral dari mesin ekonomi: desiring machine. Akibat lebih
lanjut adalah kapitalisasi libido: setiap potensi libido dijadikan sebagai
komoditas; dan menarik keuntungan dari status komersialnya. Segala trik, taktik
dan strategi digunakan untuk menjadikan setiap intensitas libido, setiap bentuk
kesenangan, memperoleh nilai tambah ekonomi
WF Haug dalam “Critique of Commodity Aesthetics”
(1986) mengatakan bahwa penggunaan unsur seks dan sensualitas yang makin marak
dalam berbagai media tidak dapat dilepaskan dari diterapkannya prinsip
estetika: commodity aesthetics (estetika komoditas). Penekanan
sensualitas pada prinsip ini pada gilirannya menghasilkan apa yang oleh Max
Scheler disebut sebagai sensualisasi seluruh wajah kehidupan, khususnya
sensualitas pikiran. Tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Scoot
Findlay dalam “The Meaning of Sex”. Unsur seksualitas ditempatkan
sebagai bagian dari industri kebudayaan (culture industry) yang
menjadikan seks sebagai obat mujarab untuk kesuksesan sebuah industri.
(www.srb/Archieves1[3].Htm).
daftar pustaka :
Jurnal
Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid
36, Nomor 1 : Melacak
Akar Masalah Pornografi Dan Pornoaksi Serta Implikasinya Terhadap Nilai-Nilai
Sosial (Kajian Filsafat Nilai)
Dimana
referensi dalam jurnal tersebut antara lain :
o Blackburn, Simon. 1994. The Oxford
Dictionary of Philosophy. New York: Oxford University Press.
o
Gunawan, FX. R. 1993. Filsafat Sex.
Yogyakarta: Bentang.
o
Septiawati D. 1999. ‘Perempuan dan
Jurnalisme Lher’ dalam majalah Ummi edisi 6/XI/99.
o
Risangayu, M. 1999. Cahaya Rumah Kita.
Bandung: Mizan.
o Rustiani, F. 1996. ‘Istilah-istilah Umum dalam wacana Gender’ dalam Jurnal Analisis
Sosial: Analisis Gender Dalam Memahami Persoalan Perempuan, Edisi
4/November 1996. Bandung: Yayasan Akatiga.
o
Tjipta Lesmana. 1995. Pornografi
dalam Media Massa. Jakarta: Puspa Swara.
o
Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist
Thought: A More Comprehensive Introduction. Colorado: Westview Press.
o
http//www.kompas.com/kompas%2Dcetak/9907/28/opini/porn.htm
o
http//www.srb/Archieves 1{3}.Htm
jual viagra
ReplyDeleteviagra asli
obat kuat viagra
viagra jakarta
obat kuat jakarta
pil biru
toko viagra
viagra usa
viagra original
obat viagra
obat kuat viagra
viagra asli
toko viagra
viagra
viagra asli
jual viagra
jual obat kuat viagra asli