(Oleh : Prof. Dr. Burhan Bungin
Msi, dalam PORNOMEDIA Konstruksi Sosial
Teknologi Telematika & Perayaan Seks di Media Massa)
Dibeberapa media massa baik elektronik
maupun cetak, masalah pelecehan seks menjadi sisi lain dari daya tarik atau
perekat media tersebut. Dengan kesan dieksploitasi, pelecehan seksual menjadi
rubrik-rubrik atau berita menarik dari media tersebut. Media-media itulah yang
secara efektif membawa masuk tingkah laku pelecehan seks ini kerumah-rumah. Melihat
gejala yang terjadi di masyarakat yaitu munculnya berbagai kasus pelecehan
seks, terutama terhadap wanita, maka muncul pertanyaan yaitu bagaimana konsep
masyarakat perkotaan saat ini tentang seks normatif. Apa mungkin di mayarakat
kota telah terjadi pergeseran konsep seks normatif. Mungkinkah gejala-gejala
tersebut hanyalah deviasi semu, atau bahkan hanya sub-kultur tertentu saja yang
hidup di masyarakat, kemudian bagaimana pula hubungan antara perubahan sosial
yang ada dengan pelecehan seks yang bermunculan saat ini. Mungkinkah hal
tersebut adalah sebagai deviasi-deviasi endemis ?
Perdebatan
Umum disekitar Erotika dan Pornografi
Perdebatan mengenai erotika dan
pornografi muncul kepermukaan tidak hanya karena nilai-nilai seksual, akan
tetapi terkadang perdebatan tersebut muncul hanya untuk menentukan makna
sebenarnya dari kata porno itu sendiri. Perdebatan kemudian berputar-putar pada
sudut pandang objek dan subjek yang selalu saling tidak bersimpul.
Perdebatan-perdebatan
latent-manifes selalu dijumpai dimana saja. Hal tersebut antara lain disebabkan
karena subjektifitas objek dan subjek pelaku selalu dipertentangkan. Sehingga
akhirnya merekonstruksi nilai yang berbeda-beda berdasarkan pada subjektifitas
masing-masing.
Konsensus nilai di
masyarakat (termasuk pula nilai-nilai seksual) selalu diterjemahkan secara
subjektif oleh masyarakat tersebut. Bahkan subjektifitas ini pun terjadi pada
sub-sub kultur tertentu di masyarakat dan sekaligus memberi makna tersendiri
terhadap perilaku porno. Subjektifitas masyarakat yang berbeda dalam melihat
perilaku porno menyebabkan sulit untuk memilah-milahkan perilaku tersebut dari
perilaku verbal dan nonverbal atau visual. Bahkan sulit menentukan apakah perilaku
tersebut menyimpang atau tidak. Kendati demikian, makna perilaku tersebut dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pada masyarakat agama perilaku porno seks
verbal (pornowicara) lebih banyak diterima masyarakat. Dalam arti apabila
seseorang berbicara persoalan seks secara verbal, walaupun didengar oleh
masyarakat dalam berbagai kelompok umur atau bermakna melecehkan, selalu dapat
diterima dengan alasan bahwa tidak ada malu dalam membicarakan persoalan agama,
termasuk membicarakan kehidupan seks dalam keluarga.
Dalam karya-karya seni
dan hiburan, umpamanya lawak, ludruk, wayang, tayub, ronggeng, ketuk tilu,
janggrong, tandakan, gandrung, joget, dan sebagainya, serta dialog-dialog
tentang seks walaupun bermakna melecehkan, selalu dapat diterima oleh masyarakat.
Bahkan kadangkala hal tersebut dipandang sebagai cara lain untuk membangkitkan
rasa humor penonton.
Karya-karya seni visual
seperti karya lukis, patung, relief, maupun arca dan semacamnya, walau
mengekspos seks secara berlebihan serta bermakna melecehkan, selalu dapat
diterima oleh masyarakat sebagai seni itu sendiri. Kendatipun pada masyarakat
agamis karya-karya seperti itu selalu ditolak dan tetap dipandang sebagai
karya-karya yang mengandung makna porno. Paling banyak mendapat kritik adalah
karya-karya seks visual melalui film dan fotografi. Walaupun karya-karya film
dan fotografi hanya mengulang apa yang pernah dilakukan oleh para pelukis dan
pemahat dalam mengeksploitasi seks, akan tetapi hal ini tetap dipandang oleh
mayoritas masyarakat sebagai karya yang sarat dengan pesan-pesan porno.
Melihat bahwa porno itu
selalu diterjemahkan secara subjektif menurut konteks nilai yang berlaku di
masyarakat dan dalam kurun waktu tertentu, maka perdebatan-perdebatan tentang
persoalan seks dan hal-hal disekitarnya harus dimulai dari pandangan
intrasubjektif tentang makna sebenarnya dari porno yang diperdebatkan itu.
Perdebatan harus menjawab persoalan-persoalan
porno berdasarkan konsensus nilai di masyarakat Indonesia mengenai makna porno
itu sendiri. Paling tidak harus dapat menjawab, pertama bahwa porno dapat
menggeserkan konseptualisasi seks secara normatif, dimana seks sebagai
‘sesuatu’ yang sakral menjadi seks yang dipahami sebagai komoditas. Kedua,
eksploitasi seks dalam berbagai aspek akan mengundang syahwat bagi lawan jenis,
sehingga porno tidak dapat dihindari. Kedua aspek tersebut dapat membawa
masyarakat pada konsekuensi perilaku seks menyimpang dimasyarakat, karena
dipandang bertentangan dengan nilai konsensus masyarakat di Indonesia.
Norma
Seks Sebagai Konsep yang Mendasar
Dimasyarakat dikenal dua konsep seks
yang berkaitan dengan seksualitas. Walaupun kedua konsep ini selalu digunakan
secara bergantian, namun untuk kepentingan studi ini perlu dibedakan, sehingga
diketahui dimana wilayah seks normatif yang diperbincangkan. Konsep pertama
adalah seksualitas yang berkaitan dengan semua perasaan dan perilaku biologi
manusia. Kedua adalah seksualitas yang berkaitan dengan jenis dan belajar
sosial. Konsep pertama disebut sebagai seks dan yang kedua disebut dengan gender[1].
Seks normatif yang
dimaksud disini berhubungan dengan konsep kedua yaitu mengenai konsep-konsep
yang mengatur perilaku seksual serta berkaitan dengan jenis dan belajar sosial
di mayarakat. Seperti yang diketahui bersama bahwa struktur nilai dalam
masyarakat Indonesia sarat dengan nlai-nilai kehidupan timur, yang notabene didominasi oleh ajaran agama. Disini,
perlakuan-perlakuan seks di dalam perkawinan itulah yang menjadi wilayah seks
normatif. Sedangkan tingkah laku merendahkan seks normatif baik secara verbal,
visual, atau non verbal maupun kontak-kontak fisik, adalah yang dimaksud dengan
porno. Hal ini seiring dengan pendapat seksolog, Pieter Mboik yang mengatakan
bahwa batasan porno adalah perilaku yang menyangkut seksual, baik yang
berbentuk verbal maupun isyarat (non verbal), apalagi sampai terjadi kontak
fisik[2].
Konsep seks seperti
yang dimaksud diatas adalah nilai-nilai yang telah terinstitusionalisasi dalam
kehidupan mayarakat, dan konsep inilah yang dipandang sebagai etnik masyarakat
dalam memperlakukan seks mereka. Dalam arti apabila seks harus diterjemahkan
dalam konsep etik, maka seks normatif ini adalah etnik masyarakat yang
dijadikan pedoman mengatur bagaimana etik seks harus dilakukan.
Empat
Pemikiran Seksualitas Kontemporer
Thanh-Dam Truong, mengajukan empat
kecenderungan pemikiran tentang bagaimana masyarakat melihat perilaku seks itu
sendiri sebagai gejala yang secara kontemporer muncul saat ini dalam konstruk
sosial gender. Pemikiran pertama bahwa
seksualitas selalu dilihat dari sisi esensi dan kebutuhan biologis. Dari sisi
esensi, seks selalu diterjemahkan kedalam pengertian hakekat seks itu sendiri.
Sedangkan dari sisi kebutuhan biologis, seks selalu dipandang sebagai kebutuhan
manusia secara alamiah.
Pemikiran
kedua mendefinisikan seksualitas sebagai sebuah ekspresi
dari makna dan simbol budaya yang mengelilingi seks biologis dan
praktek-praktek seksual, yang secara umum mengacu pada pemikiran konstruksi
sosial gender. Pendekatan konstruksi sosial gender mengidentifikasikan tiga
wilayah ekspresi seksual. Ketiga wilayah tersebut adalah abstrak, menengah, dan
empirik.[3]
Dalam bentuk abstrak,
makna seksualitas ditemukan dalam simbol dan bahasa verbal, dan kadang-kadang
didefinisikan secara longgar sebagai ideologi. Dalam bentuk menengah, simbol
dan bahasa verbal tersebut mengekspresikan dirinya dalam agama, media,
perdebatan, ilmiah, hukum, serta norma-norma sosial yang diterima secara umum,
sedangkan praktek-praktek seksual dan pranata yang mengancam identitas manusia
wanita seperti pelacuran, pornografi dan pemerkosaan dianalisa sebagai ekspresi
empirik dari gejala-gejala yang lebih mendasar yaitu kontrol pria terhadap
seksualitas wanita serta kekerasan pria terhadap wanita. Pendekatan ini lebih
memusatkan perhatiannya pada wanita (female-centered),
dan sangat jelas bahwa seksualitas sebagai ungkapan kekuasaan sosial pria
(secara ideologis, institusional, maupun tngkah laku), serta menganggap bahwa
promiskuitas dan kekerasan seksual sebagai ciptaan pria.
Pemikiran ketiga
menganut pendekatan historis terhadap hubungan seksual. Pendekatan ini
menegaskan peran hubungan ekonomi dalam bentuk norma-norma dan hubungan
seksual. Pendekatan ini mencoba melihat sebuah penekanan kontrol terhadap
seksualitas dan kerja wanita dalam pengorganisasian sosial pelahiran dan
pemeliharaan anak serta pelayanan rumah tangga.
Sedangkan pemikiran
keempat mencoba membawa persoalan seks bukan sekedar persoalan laki-laki dan
perempuan. Tekanan diberikan pada diskursus seks (wilayah penegetahuan), yang
diikuti dengan sumber-sumber seksual dan historis serta metode pengontrol yang
beragam. Persoalan seks merambah masuk dalam diskursus yang dominan ditentukan
oleh rezim yang berkuasa. Sehingga akhirnya praktek-praktek seks diatur oleh
rezim tersebut dan kemudian pribadi-pribadi mengenali dirinya sebagai
objek-objek seksual.
Teori
Perilaku Adatif dan Pelecehan Seks
Robert K. Merton dalam teori perilaku
adatif dan atau perilaku menyimpang, lebih banyak menekankan pada bagaimana
aktor beradaptasi dengan pola-pola
sosial budaya dalam memilih tujuan-tujuan (goals)
dan alat-alat atau cara (means) yang
digunakan. Rasionalisasinya adalah bahwa Merton lebih menspesifikkan teorinya
pada kebebasan aktor dalam menyesuaikan perilaku dengan tujuan-tujuan serta
cara-cara yang ditempuh, yang mana kebebasan aktor tersebut dipengaruhi oleh
faktor sosial budaya yang ada. Disamping itu, bahwa kebebasan adalah identik
dengan sikap masyarakat kota. Ciri khas masyarakat kota antara lain memiliki
kesadaran yang tinggi dalam hal kebebasan bertindak.
Robert K. Merton dalam
teorinya mengenai perilaku adaptasi mengatakan bahwa setiap individu adalah
aktor yang dapat mengontrol setiap tindakannya untuk memilih tujuan-tujuan (goals) dan sekaligus pula memiliki kebebasan
untuk memilik cara-cara (means) yang
telah melembaga untuk digunakannya dalam memperoleh tujuan yang dikehendakinya.
Dalam hal ini maka aktor dipengaruhi oleh struktur sosial budaya yang ada
disekitarnya. [4]
Dengan kata lain ada
nilai-nilai sosial budaya yang merupakan rangkaian konsepsi abstrak yang hidup
dalam pemikiran sebagian besar warga masyarakat. Konsepsi ini erat hubungannya
dengan apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk serta kaidah-kaidah
yang mengatur tindakan aktor untuk mencapai tujuannya. Nilai-nilai sosial
budaya tersebut berfungsi sebagai ukuran tindakan aktor. Dengan demikian
apabila tidak terjadi penyelarasan antara tujuan-tujuan aktor dengan cara-cara
yang digunakan untuk mencapai tujuan, maka akan terjadi perilaku menyimpang.
Merton kemudian
mengajukan beberapa pola perilaku adaptif sebagai usaha aktor untuk
menyelaraskan perilakunya untuk memperoleh tujuan-tujuan dan cara yang harus
digunakan, sebagai berikut :
Bentuk-Bentuk Usaha Peyelarasan
|
Nilai Sosial Budaya
|
Cara-Cara (Norma) yang Telah
Melembaga
|
Conformity
|
+
|
+
|
Innovation
|
+
|
_
|
Ritualisme
|
_
|
+
|
Retreatism
|
_
|
_
|
Rebellion
|
+/-
|
+/-
|
· Perilaku
Conformity : terdapat pada aktor yang
relatif stabil. Aktor sangat dipengaruhi oleh sosial budaya yang ada pada
sistem sosialnya.
· Perilaku
Innovation : aktor yang terlalu
menekankan pencapaian tujuan-tujuan, sedangkan aktor menganggap bahwa cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut tidaklah memadai.
· Perilaku
Ritualisme : perilaku ini terdapat
pada aktor yang selalu memegang teguh pada cara-cara yang telah melembaga dalam
masyarakat, walaupun itu ia harus melepas tujuan-tujuannya.
· Perilaku
Retreatisme : perilaku aktor yang tidak
mempercayai tujuan-tujuannya berdasarkan sistem sosial budaya yang ada dan
cara-cara yang telah melembaga, maka aktor akan meninggalkan tujuan-tujuannya
dan cara-cara yang telah melembaga tersebut.
· Perilaku
Rebellion : aktor rebellion dapat mengajukan
tujuan-tujuannya dan cara-cara sendiri sebagai subtitusi untuk mencapai
tujuannya.
Merton menyarankan
bahwa pemenuhan kebutuhan seks harus diselaraskan dengan kaidah atau cara-cara
yang telah melembaga dalam sistem sosial yang ada serta memilih perilaku conformity.
[1]
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt: 1987, h. 155. Dalam Tulisan ini, konsep pertama dan kedua disebut dengan seks.
[2]
Sarinah: 21 September 1992
[3]
Otner: 1974; Rubin: 1975, Ibid.: 1992 hal 6
[4]
Robert K. Merton: 1967, hal 131
daftar pustaka:
Bungin,
Burhan. 2003. Pornomedia, Konstruksi
Sosial Teknologi Telematika & Perayaan Seks di Media Massa. Jakarta:
Prenada Media.
No comments:
Post a Comment
budayakan komentar yang berbudaya