Chapter 5
(Gauntlett, David. Media, Gender and
Identity: An Introduction
Second
Edition.
2008. London & New York: Routledge)
Baron Anthony Giddens
gemar memadukan pendekakatan klasik sosiologi dengan gaya yang kontemporer.
Karena itulah pemikiran Giddens yang lahir tahun 1938 ini sebenarnya tidak
lepas dari salah satu the
founding father of sociology, Emile
Durkheim. Hanya saja, ia tidak sepenuhnya sependapat dengan ide Durkheim yang
menyatakan kita harus memahami aturan yang berlaku untuk kemudian dapat
memprediksikan sebuah society, tanpa melihat pada
tataran paling mikro, yaitu individu di dalam society.
Giddens bisa dikatakan
lebih ‘dekat’ dengan Weber, founding
father ilmu
sosiologi lainnya, yang menyatakan bahwa individu juga memiliki peran dalam
masyarakat (society). Kemudian ia mencoba
mengkombinasikan pemikiran baik Durkheim dan Weber, dan inilah cikal bakal structuration theory-nya yang terkenal itu.
Dalam teori strukturasi,
Giddens menekankan “struktur sosial dibentuk melalui serangkaian tindakan
individu-individu yang mengalami repetisi, yang kemudian menjadi sebuah
sistem”. Social structure, menurut Giddens bukanlah
sesuatu yang mustahil untuk diubah. Perubahan pada srtuktur sosial dapat
terjadi jika ada individu-individu yang mulai meninggalkan sistem yang ada,
menggantinya atau membuat pembaharuan di dalam sistem itu.
Hanya saja, lebih lanjut
menurut Giddens, menjadi agent
of changes, atau
“yang liyan” tidaklah mudah. Masyarakat akan berusaha untuk melawan jika tidak
mau dikatakan menolak orang-orang yang tidak mematuhi aturan umum yang berlaku
dan diyakini banyak orang. Rules
(aturan) di
dalam masyarakat itu menurut Giddens mungkin saja hanya ada di dalam benak
kita, biasanya tidak ada aturan tertulis, dan sering kali tidak ada sanksi
formal yang memayunginya.
Misalnya saja dalam
masalah gender di masyarakat, seorang
laki-laki yang menggunakan eyeliner dan menyapukan lipstik
ke bibirnya ketika berjalan-jalan di pusat perbelanjaan tidak dijerat oleh
undang-undang, namun ia akan mendapatkan sanksi lain yang lebih kuat, yaitu
dicemooh dan dipermalukan oleh lingkungan sekitarnya. Lain lagi dengan
perempuan dalam budaya barat, jika ia tidak memangkas habis rambut disekitar
lengan dan kakinya, tidak ada undang-undang yang menuntutnya ke pengadilan,
hanya saja ia akan diasingkan dan dianggap aneh oleh lingkungan sekitarnya. Hal
serupa pernah diteliti oleh seorang sosiolog, Harold Garfinkel di tahun 1960.
Penelitiannya menunjukkan bahwa saat ada orang yang bertindak diluar kebiasaan,
maka akan ada orang-orang lainnya di dalam lingkungan itu yang akan bereaksi
negatif (marah) untuk membela pengertian kolektif dari yang disepakati sebagai normal behavior.
Seperti yang dikatakan
oleh Giddens , tindakan sehari-hari, kemudian diperkuat, dijadikan kebiasaan
dan diulang menjadi sebuah harapan (expectation), dan sekumpulan harapan tentang bagaimana
seseorang harus berperilaku itulah yang membuat ‘kekuatan sosial’ (social force) dan struktur sosial (social structures). Masyarakat memiliki
bentuk atau struktur, yang dapat mempengaruhi setiap anggota yang tergabung di
dalamnya. Pertanyaannya adalah mengapa kita harus tunduk atau peduli pada
struktur yang berlaku? Argumen Giddens antara lain ialah bahwa manusia memiliki
‘keyakinan’ (faith) yang dianutnya dalam
kehidupan sehari-hari. Karena keyakinan inilah beberapa orang akan merasa
sangat terkejut jika ada orang lain yang tidak bertindak seperti yang umumnya
terjadi. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa ada saja laki-laki yang akan
menjadi marah, benci, atau tidak nyaman dengan laki-laki lain yang
berpenampilan layaknya perempuan.
Karakteristik Self Dalam
Modernity
Beberapa filsuf seperti
Jean Baudrillard, Piere Bordieu, Jean-Francois Lyotard mengatakan saat ini kita
berada dalam era postmodernism. Giddens kurang sepakat
dengan pandangan ini. Menurutnya saat ini adalah masa late-modernity, sebabnya menurut Giddens,
postmodernist mengakui bahwa identitas
adalah sesuatu yang ‘fragmented’, hal ini tidak terlalu
mewakili kondisi masyarakat saat ini. Menurut Giddens, individu mungkin
berpikir bahwa identitasnya adalah sesuatu yang kompleks dan multi-faceted. Namun, sebenarnya
mereka juga menyadari bahwa identitasnya sekumpulan yang menjadi satu, tidak
terpisah-pisah sama sekali.
Pemikiran Giddens berasal
dari ketertarikannya mengamati masyarakat post-traditional. Saat tradisi telah
mendominasi, tindakan individu dipengaruhi oleh tradisi yang berlaku. Bagi
Giddens, modernity bukanlah post-traditional. Sebuah society tidak dapat dikatakan
modern sepenuhnya jika perilaku, tindakan atau institusi yang terkait di
dalamnya masih dipengaruhi oleh tradisi. Dalam masyarakat modern, identitas
diri merupakan hal yang tidak dapat
dikesampingkan begitu saja. Jika dalam era masyarakat sebelumnya aturan sosial
dibentuk berdasarkan tradisi yang berlaku, dalam masyarakat post-traditional kita menentukan aturan
sendiri.
Sebelum lebih lanjut
membahas tentang late-modernity, Giddens menentukan
menyebutkan modernitas dalam empat istilah institusi dasar, yaitu:
1.Kapitalisme, yang
dikarakteristikan secara familiar, dengan produksi komoditas, kepemilikan
kapital privat, upah buruh tanpa kepemilikan, dan sebuah sistem kelas yang
berasal dari karakteristik ini.
2.Industrialisme, yang
melibatkan sumber-sumber tenaga mati dan mesin untuk memproduksi barang.
Industrialisme tidak terbatas pada tempat kerja, dan ia berpengaruh pada
kesatuan pengaturan lain seperti “transportasi, komunikasi dan kehidupan
domestik”.
3.Kapasitas-kapasitas
pengamatan, yang meminjam karya Michel Foucault. Giddens berujar, “ Pengamatan
merujuk kepada pengawasan yang keras terhadap aktivitas-aktivitas
populasi-populasi subjek dalam bidang politik.
4.Kekuatan militer atau
kontrol atas tujuan-tujuan kekerasan, termasuk industrialisasi perang (Ritzer,
2005 : 241-242).
Ciri-ciri late-modernity seperti yang dikatakan
Giddens, antara lain ialah sebagai berikut:
1. The self bukanlah sesuatu yang
sudah ada saat kita lahir, “diri” adalah sesuatu yang dinamis
2. The self adalah pikiran yang
dikonstruksikan oleh individu
3. Kita semua menentukan ‘lifestyle’ kita sendiri
4. Relationship dikatakan sebagai hubungan
yang sebenarnya jika sifatnya ‘equal’, dimana semua hal harus
melalui tahap negosiasi. Dalam hal ini demokrasi dalam sebuah hubungan intim
sangat dianjurkan (Ritzer, 2005 : 248)
5. Kita menerima bahwa ‘knowledge’ adalah sesuatu yang
pasti, dan mungkin dapat dibuktikan salah di masa depan
6. Kita harus percaya dengan
kehidupan sehari-hari dan relationship yang sedang kita jalani
dengan orang lain, jika tidak kita akan selalu memikirkan hal-hal yang tidak
menyenangkan. Kepercayaan menadi kebutuhan ketika kita tidak lagi memiliki
informasi lengkap mengenai fenomena sosial sebagai hasil dari kerenggan yang
meningkat baik dalam arti waktu maupun ruang. Kepercayaan diartikan sebagai
kemantapan pada seseorang ataupun sistem, berkaitan dengan hasil ataupun peristiwa
yang ada, dan kemantapan tersebut mewujud sebagai keyakinan dalam ketulusan
ataupun cinta sesama, atau dalam kebenaran prinsip-prinsip yang abstrak (Ritze,
2005 : 243)
7. Kita bisa menerima
resiko, dan memilih tindakan di masa depan untuk mengantisipasi hal yang akan
terjadi nanti. Media mengingatkan pada kita tentang resiko-resiko yang mungkin
akan terjadi.
Pertanyaan-pertanyaan
seperti “apa yang harus dilakukan”, “bagaimana harus bertindak?”, “harus
menjadi seperti apa?” merupakan pertanyaan tentang identitas di dalam
masyarakat modern, yang merupakan sebuah konsekuensi dan memicu perubahan dalam
setiap level.
Giddens kemudian berusaha
mencari hubungan antara level paling mikro yaitu, self and identity dan level makro seperti state, perusahaan multi-nasional,
dan globalisasi. Perbedaan level ini, menularkan pengaruhnya satu sama lain,
dan tidak dapat dimengerti jika hanya mengamati salah satu saja. Misalnya,
selama ini banyak terjadi kasus-kasus perceraian yang diberitakan oleh media
massa. Fenomena ini menandakan bahwa masyarakat semakin terbuka untuk
membicarakan hubungan personalnya. Perubahan dalam lembaga pernikahan, relationship, serta seksualitas
sering kali dihubung-hubungkan dengan merosotnya pendekatan agama dan
meningkatnya rasionalitas dalam masyarakat. Sering kali perubahan ini merupakan
efek dari gerakan sosial, salah satunya adalah women’s liberation dan egalitarianisme
(level makro)); yang tumbuh dari ketidakpuasaan atau ketimpangan yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari (level mikro).
Media juga banyak
mengambil peran dalam fenomena atau “perubahan” yang terjadi dalam lembaga
pernikahan. Salah satunya adalah pengaruh media dalam persepsi individu tentang
relationship. Dalam tayangan TV
jarang sekali ada happily
married
dalam waktu yang lama. Melalui tayangan yang sifatnya fiksi maupun berita
tentang kehidupan pribadi public
figure, sering
kali kita “disuguhi” pesan bahwa kehidupan rumah tangga yang monogami dan
bahagia adalah sesuatu yang dikatakan “ideal” namun jarang terjadi. Melalui
media kita diajak untuk merefleksikan diri kita dalam artikel tentang relationship di majalah, cerita-cerita dalam buku self-help dan narasi drama-drama
yang diputar di layar lebar.
Media dan Identitas Dalam
Kacamata Giddens
Jika self adalah sesuatu yang bukan
diwariskan melainkan dibuat, jadi sebenarnya apakah self itu? Giddens mengatakan dalam aturan
post tradisional, identitas diri menjadi proyek refleksif--sebuah usaha keras
yang kita kerjakan terus menerus dan kemudian tercermin. Kita menciptakan,
menjaga dan memperbaiki penjelasan biografis kita (cerita tentang siapa kita,
dan bagaimana kita menjadi seperti saat ini).
Identitas diri, bukanlah
sekumpulan karakteristik, namun merupakan sekumpulan pengertian refleksif
tentang biografi seseoarng. Identitas diri adalah penjelasan tentang kehidupan
seseorang, tindakan dan pengaruhnya yang dibentuk dari lingkungannya yang dapat
menjelaskan tentang seseorang. Orang lain dapat menjelaskan identitasnya tanpa
mengalami kesulitan. Identitas “menjelaskan” masa lalu seseorang dan juga
melalui identitas kita dapat mengantisipasi tindakan seseorang di masa depan.
Giddens menyebut refleksivitas sebagai salah satu
karakter dari modernitas. Di mana refleksivitas sebagai tampilan fundamental
dari teori strukturasi Giddens, ia juga mengambil makna khusus dalam modernitas
ketika “praktik-praktik sosial dicermati secara konsisten dan diperbaiki dalam
cahaya informasi-informasi yang masuk mengenai praktik-praktik tersebut,
sehingga secara konstitutif membentuk karakter mereka. Semua terbuka untuk
refleksi dalam dunia modern, dan termasuk di dalamnya adalah proses refleksi
itu sendiri.
Narasi tentang identitas
seseorang bisa saja terus mengalami revisi. Hanya saja jika seseorang sering
menceritakan narasi biografi yang berbeda-beda maka ia akan dibenci atau
ditolak oleh sekelilingnya. Biasanya perasaan malu yang akut tentang masa
lalunya sering kali diasosiasikan oleh fenomena ini. Seperti dalam film ‘Catch
Me If You Can’ (2002), tokoh Frank Abagnale, Jr yang diperankan oleh Leonardo
DiCaprio sering kali mengubah-ubah identitasnya. Ternyata setelah diusut tokoh
ini mengalami masa lalu yang sulit ketika orang tua nya bercerai dan terlibat
kasus hutang yang besar. Sejak identitas sebenarnya dari Frank Abagnale, Jr
terungkap, teman-temannya tidak bisa menerimanya lagi di dalam lingkungan
mereka. Giddens kemudian mengatakan dasar dari rasa percaya dirii dalam
integritas dan nilai di dalam sebuah identitas diri ialah pride dan self esteem. Sebaliknya rasa malu (shame) berasal dari ketakutan,
takut kalau-kalau narasi kehidupan yang diceritakan tidak dianggap baik, atau
menarik.
Gagasan tentang biografi
yang di konstruksi sangatlah modern. Giddens mengaitkan tumbuhnya narasi diri
dengan munculnya percintaan romantis. Diskursus mengenai percintaan romantis
sering kali dikatakan muncul pada akhir abad ke-18. ‘Romantic love introduced the idea
of narrative into an individual’s life’, ungkap Giddens. Cerita hubungan
antara dua individu yang kemudian ‘terkoneksi’ dalam proses sosial yang lebih besar
tidak mengkonstruksikan cinta sebagai hubungan partnership yang setara, melainkan
perempuan diasosiasikan dengan dunia femininitas dan motherhood yang merupakan hal asing bagi
laki-laki. Kendati demikian, tokoh protagonis perempuan biasanya digambarkan
sebagai independent
dan spirited. Sedangkan, dunia
maskulin digambarkan jauh dari ranah domestik, baik secara emosional maupun
fisikal.
Dalam The Transformation of
Intimaty : Sexuality, Love and Eroticism in Modern Societies, Giddens memusatkan
perhatian pada transformasi keintiman yang menunjukkan gerakan pada konsep
pemikiran Giddens yang tak kalah penting, yaitu hubungan yang murni, atau “sebuah situasi di
mana hubungan sosial dijalankan demi kepentingan diri sendiri, demi apa yang
dapat diperoleh oleh setiap orang dari pergaulan berkelanjutan dengan orang
lain”. Dalam kasus keintiman ini, hubungan diri dan orang lain dalam konteks
kesaaam seksual dan emosi. Demokratisasi hubungan intim dapat menggiring tidak
hanya pada demokratisasi hubungan-hubungan interpersonal secara umum namun juga
aturan institusi-makro (Ritzer, 2005 : 248).
Narasi biografi tentang
diri dan cinta ini merupakan hasil saran yang diberikan oleh media-media
populer, yang berusaha mengkonstruksikannya lewat produk-produk media yang mereka
tawarkan. Dalam film misalnya, sering kali menceritakan tentang dua orang yang
‘ditakdirkan’ untuk bersama, karena telah menemukan “the one” yang selama ini
dicarinya. Kemudian, di bagian akhir film mereka hidup bahagia bersama, seperti
digambarkan dalam film ‘Enchanted’, tentang seorang perempuan naif yang datang dari negeri
antah berantah dan menemukan ‘the one’-nya di megapolitan, New York. Lain lagi
dengan Opera Sabun (di Indonesia lebih populer dengan istilah sinetron), hampir
semua karakter digambarkan bisa berganti-ganti pasangan dalam waktu singkat,
dan terkadang balik lagi kepada pasangan semula, karena tuntutan serial yang
memang panjang. Misalnya sinetron ‘Tersanjung’ yang populer menjelang tahun
2000-an dan sinetron ‘Cinta Fitri’ yang baru saja menamatkan masa tayangnya
setelah memasuki season
ke-5 di awal
tahun 2011. Lifestyle
magazine
lain lagi, mereka banyak menitik beratkan perhatian pada sexual fulfillment, maka tak jarang isinya
terkadang terkesan sexist dan memicu war gender.
Dalam topik mengenai
seksualitas, psiko-analis Sigmund Freud pernah berargumen bahwa masyarakat berusaha untuk menekan
seksualitas. Kemudian Michel Faucault menyarankan bahwa seksualitas tidak
ditekan namun lebih merupakan obsesi sosial. Karena setiap upaya untuk
‘menekan’ masalah seks merefleksikan kegemaran akan hal itu dan akan selalu
membuat awareness
dan
pembahasan berkelanjuan tentang topik itu. Giddens dalam hal ini berargumen
bahwa di masa abad ke-19 dan ke-20, perilaku seksual telah ‘disembunyikan’ karena
topik ini dianggap sesuatu yang tabu, namun karena ia telah dihubungkan dengan
kebebasan dalam menjalin hubungan, kemudian berdampak pada partnership yang dikini erat di
karakteristikkan sebagai paduan antara
cinta dan kepercayaan.
Konsumerisme dan Gaya
Hidup
“Modernitas membuka
proyeksi tentang diri, namun dibawah tekanan kuat dari efek standarisasi yang diciptakan oleh komodifikasi
kapitalisme”, ujar Giddens. Kemudian ia menambahkan bahwa setiap orang akan
bereaksi secara kreatif untuk komodifikasi--mereka tidak akan “dipaksa” untuk
menerima beberapa produk dengan cara tertentu. Walaupun demikian, Giddens
menambahkan bahwa refleksi dari diri, dalam hal tertentu penting untuk berjuang
melawan pengaruh komodifikasi.
Konsumerisme adalah cara
paling jelas untuk mengembangkan dan memproyeksikan lifestyle. ‘Pilihan gaya hidup’ mungkin
terdengar berkelas bagi mereka yang tergolong kelas atas, namun Giddens
menegaskan bahwa setiap orang dalam masyarakat modern harus memilih sebuah gaya
hidup, karena itulah kelompok yang
berbeda akan memiliki gaya hidup yang juga beragam. Lifestyle tidak hanya hal-hal seputar
pekerjaan bergengsi dan pola konsumsi yang mencolok, istilah ini diaplikasikan
pada pilihan akan hal-hal lainnya, perilaku, sikap dan kepercayaan.
Jadi, bisa dikatakan lifestyle kurang lebih seperti genre, dimana komposernya
dapat memilih apakah ia akan menampilkan hip hop, rock and roll atau bahkan dangdut. Sebagai komposer atau
sutradara (jika mau diibaratkan seperti film), seseorang dapat memilih gaya
hidup metropolitan atau pedesaan (rural). Gaya hidup fokus pada pekerjaan, atau pada topik
lainnya seperti clubbing,
sport, romance, kulinerr,
teknologi dan lain sebagainya.
Dalam dunia moderen,
bahkan tubuh terseret dalam pengaturan refleksif kehidupan sosial. Tubuh
menurut Giddens (yang kemudian menyebutnya dengan istilah ‘reflexively
mobilized’),
telah menjadi ruang dari atribut personal yang di perlu dipikirkan lebih lanjut
juga di atur. Kita tidak hanya bertanggung jawab atas packaging kita sendiri namun juga atas segala
sesuatu yang berhubungan dengan tubuh kita. Dalam membahas tubuh, Giddens
berangkat dari tulisan Erving Goffman dalam The Presentation of Self in
Everyday Life, yang
isinya antara lain tentang ‘impression
management’. Maksudnya
adalah seseorang akan mengatur ekspresi wajahnya, posturnya atau busananya
untuk menyesuaikan dengan situasi yang sedang berlangsung. Sebab itu tidak
mengherankan apabila tubuh juga merupakan subjek atas berbagai “rezim”,
misalnya diet, fitness
center, body contour center
dan DVD-DVD latihan kebugaran yang tidak hanya membantuk individu “mencetak”
tubuhnya melainkan juga memberi sumbangan pada refleksivitas diri dan
refleksivitas modern secara umum. Hasilnya, tak lain tak bukan adalah sebuah
obsesi dengan tubuh dan diri kita sendiri dalam dunia modern.
Dalam membicarakan lifestyle, contoh yang paling umum
menarik untuk diamati ialah para ‘yuppie’ --young urban professional. Mungkin karena kategori
ini muncul di tahun 80-an dimana identitas profesional muncul pertama kali
secara radikal dalam masyarakat pasca tradisional. Penjelasan lebih lanjut dari
istilah ‘yuppie’ dibuat untuk menjelaskan
orang-orang dengan hasrat individualistik untuk mencari kesejahteraan pribadi.
Gaya hidup ini berasal dari berbagai jenis bidang pekerjaan, namun seiring
berjalannya waktu juga berkembang menjadi sekumpulan aksesoris yang melekat
pada diri yuppies
ini sebagai
identitas diri mereka, misalnya untuk kasus kekinian yaitu penggunaan smart phone merek tertentu, kawat
gigi, pakaian rancangan desainer terkenal dan lain sebagainya (Liputan Khusus
Tempo, Februari 2012).
Para ‘yuppie’ ini sempat mendapat
sindiran dari Brett Easton Ellis dalam novelnya yang terbit di tahun 1991, American Psycho, yang kemudian di film
kan pada tahun 2000. Novel ini bercerita tentang seorang yuppie yang menghalalkan segala
cara (termasuk membunuh) agar ia bisa mengakomodir kebutuhannya akan gaya
hidup. Seperti yang dikatakan Giddens, “semakin
seseorang berada dalam atmosfer post-traditional, semakin peduli mereka
terhadap gaya hidup yang menjadikannya sebagai identitas diri, its making and remaking”. Karena itulah tak mengherankan, ujar Giddens,
bila beberapa perilaku kemudian dilihat sebagai “karakter” seseorang di dalam lifestyle tertentu.
Namun tentu saja fenomena
ini lagi-lagi tidak bisa dipisahkan dari peran media dalam mempropagandakan
gaya hidup modern. Media, terutama televisi, banyak menginspirasi masyarakat tentang bagaimana seharusnya cara
mereka menjalani kehidupan. Misalnya seorang remaja yang tertarik pada jenis
musik ‘dansa’ dan clubbing mungkin “belajar” dari
apa yang ia lihat tentang dance
music di
majalah dan televisi; kemudian ia mungkin saja akan mengadaptasinya dalam
kehidupan nyata atau malah tidak mencobanya sama sekali. Mungkin ia mencoba
karena majalah mengatakan clubbing
hal paling
seru untuk melepas penat, atau mungkin ia tidak mencoba karena mengetahui efek
buruk dari samping, yaitu kehidupan glamor dengan para pemadat di dalamnya. Media dalam kacamata
modern menawarkan banyak kemungkinan dan mengusung keragaman (diversity), namun juga menawarkan
pandangan yang sempit tentang bagaimana menginterpretasi lifestyle tertentu, tergantung dari mana Anda ingin melihatnya.
Sumber informasi lainnya
tentang lifestyle dalam era modern adalah
buku-buku self-help.
Di Indonesia
salah satu buku yang sempat booming
di awal
tahun 2000-an adalah serial The
Chicken Soup,
disusul dengan kesuksesan Mario Teguh, Bong Chandra, 100 Hari Bersedekah,
Hipnoterapi dan masih banyak lagi. Giddens mendukung ide tentang terapi diri
yang ditawarkan dalam buku-buku self-help. Menurutnya buku-buku self-help membantu individu untuk memahami
konsep diri melalui metodologi rencana hidup (life-planning). Buku-buku inilah yang
membuat seseorang menjadi lebih jujur dengan dirinya sendiri, karena biasanya
buku-buku semacam ini bercerita tentang aktualisasi diri. Dari buku dengan
kategori self-help kita belajar tentang
gambaran konsep-konsep diri yang berusaha untuk mencapai tujuannya, mencari
kebahagaan dan berusaha untuk menjadi terinspirasi dengan kisah orang lain.
Media populer lainnya,
selain buku juga menawarkan hal yang sama, dengan cara yang berbeda-beda
tentunya. Media-media populer ini menyajikan referensi tentang apa yang membuat
hidup Anda menjadi lebih berharga untuk dijalani. Film misalnya, biasanya lebih
jelas dalam hal menggambarkan kesuksesan, cara kita dapat meraihnya, serta
identitas apa yang kemudian muncul, atau berubah di dalam karakter seseorang.
Seperti dalam film Pursuit
of Happiness yang
diperankan aktor kulit hitam Will Smith, yang berjuang untuk hidup di tengah
resesi di Amerika. Sementara itu, majalah lebih gemar menyajikan
nasihat-nasihat tentang bagaimana caranya untuk memberikan impresi baik dalam
berkomunikasi dengan orang lain, dan bagaimana impresi itu kemudian akan
berdampak pada kesuksesan Anda di kemudian hari.
Stjepan Mestrovic : Si
Anti-Giddens
Dalam bab ini kita telah
melihat bahwa tradisi semakin lama semakin tidak populer, dan identitas secara
umum, termasuk di dalamnya gender dan identitas sosial
semakin beragam. Setiap orang harus mengadopsi gaya hidup tertentu untuk
dirinya, walaupun terkadang beberapa orang akan merasa tidak dapat memenuhi
semua kriteria gaya hidup yang dipilihnya. Secara keseluruhan, dalam bab ini
juga membahas media memberikan pengaruh terhadap “kisah hidup” dan perspektif
seseorang. Maka tak mengherankan juga, jika pandangan tentang tubuh, pasangan,
dan juga kebutuhan emosi, akan dipengaruhi juga secara representatif oleh apa
yang disajikan oleh media, dan tentu saja juga mengalami modifikasi berdasarkan
pengalaman sosial dan interaksi kita di masyarakat.
Giddens melihat manusia
sebagai agen yang rasional, yang dapat mengatur hidupnya sendiri, juga memiliki
daya untuk mengevaluasi setiap gagasan yang hadir dihadapannya dan kemudian
secara kreatif membentuknya kembali dalam kehidupannya. Untuk membuktikan
kesahihan pemikiran Giddens ini, David Gauntlett dalam buku Media, Gender and
Identity
telah melakukan penelitian secara empiris. Beberapa hasil penelitiannya antara
lain ialah menguatkan resistenti manusia terhadap terpaan berita di media,
orang-orang muda dapat membuat teks di media menjadi lebih kreatif, penelitian
ini menunjukkan kemampuan manusia untuk membuat program televisi yang relevan
dengan kehidupan sehari-hari, dan kemampuan orang-orang biasa untuk membuat website yang sangat mengesankan.
Namun ternyata tidak
semua orang setuju dengan pemikiran Giddens. Adalah seorang Stejan Mestrovic
yang mengkritik karya tulis Giddens dalam Anthony Giddens: The Last Modernist
(1998).
Penulis ini mengungkapkan bahwa Giddens adalah seseorang yang tak
berperikemanusiaan karena model kehidupan sosial yang ditawarkan oleh Giddens
terlalu rasional, dan tidak menyertakan emosi dan sentimen. Popularitas dari
nasionalisme, menurut Mestovic mengarah pada tindak kekerasan dan pemusnahan
bangsa. Mestovic mengatakan bahwa Giddens menawarkan kehidupan sosial yang
nyaman, sosiolog Barat kelas menengah, namun lemah saat dihadapkan pada masalah
kemiskinan.
Hanya saja, ternyata
Mestovic memiliki kesalahan yang mengejutkan dalam mengintrepertasikan istilah
moderenitas dari Giddens. Mestovic memahami modernity dalam ranah sosiologi
yang biasa, seperti misalnya Enlightenment. Padahal sebenarnya
Giddens, menggunakan istilah ini agak berbeda sebagai bagian dari oposisinya
antara tradisi dan modernitas, dimana tradisi masih memainkan perannya yang
kian lama kian pudar dalam masyarakat kontemporer.
Mestovic menyatakan tidak
memiliki simpati pada model rasional yang ditawarkan Giddens. “Giddens agent is all
mind and no heart. Giddens’s knowledgeable human agent is ultimately a
rationalist, a modernist caricature of what it means to be human”, ujarnya. Dalam ‘pure relationship’ yang menjunjung
kesetaraan dalam sebuah hubungan misalnya, Mestovic melihatnya secara sinis
sebagai sebuah hubungan yang egois, dimana dua orang bersama-sama karena ada
penghargaan tertentu yang akan di dapat olehnya jika berbuat seperti yang
dikehendaki partner-nya.
(tulisan diatas diterjemahkan oleh: Desy Budi Utami-Universitas Indonesia)
sumber :
Gauntlett, David. Media, Gender and
Identity: An Introduction
Second
Edition.
2008. London & New York: Routledge
Giddens, Anthony. Modernity and
Self-Identity:
Self and
Society in The Late Modern Age.
2007. California: Stanford University Press
Ritzer, George. Teori Sosial Postmodern. 2005. Yogyakarta :
Kreasi Wacana
Lam kenal..sy sdg kul magister kom- rncn mau cari sumber refernsi makanan tradisional jakarta dan identitas budaya.. Pola agent n strukur? Gideens, Apa bisa -diterapkan..blhkah berkorespondens via email?
ReplyDeletestrukturnya Giddens, itu bermula dari tindakan individu, kemudian direpetisi dan menjadi sebuah sistem karena sifat "pengulangan" itu tadi.
Deletekalau tentang identitas (spesifik : budaya, dalam kasus anda) sih memang masuk ke kajiannya pak Giddens :)
kalau pernikahan kembali giddens membahasnya gimana?
Deletejual viagra
ReplyDeleteviagra asli
obat kuat viagra
viagra jakarta
obat kuat jakarta
pil biru
toko viagra
viagra usa
viagra original
obat viagra
obat kuat viagra
viagra asli
toko viagra
viagra
viagra asli
jual viagra
jual obat kuat viagra asli