(Pembahasan
tulisan Odi Shalahuddin “Seputar
Pornografi Anak” yang dimuat online pada 28 Maret 2012 –sebagai pengantar
diskusi dalam acara Diskusi Publik “Remaja, Media dan Pornografi” yang
berlangsung di PSKK tanggal 27 Maret 2012– Yogyakarta,
Pembukaan
Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) yang diadopsi oleh PBB melalui Keputusan
Presiden No. 36 tahun 1990. Dengan meratifikasi, berarti Indonesia telah
mengikatkan diri secara yuridis dan politis untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalam KHA. Sebagai salah satu instrument
Hak Asasi Manusia (HAM), ketentuan-ketentuan yang terkandung pada KHA disebut
juga sebagai standar minimal. Negara yang meratifikasi, “setidak-tidaknya”
harus memenuhi sesuai ketentuan yang ada, dan akan lebih baik bila memberikan
standar yang lebih tinggi. Karenanya, salah satu langkah strategis yang harus
dilaksanakan adalah menyesuaikan peraturan perundangan terkait agar sesuai
dengan standard alam KHA.
Ada berbagai hak yang
dijamin dalam KHA. Salah satunya adalah
jaminan perlindungan anak dari pornografi. Ini terumuskan pada pasal 34,
yakni: “negara peserta akan melindungi
anak dari eksploitasi seksual dan penganiayaan seksual”. Untuk tujuan ini,
Pihak Negara khususnya akan mengambil langkah-langkah nasional, bilateral dan
multilateral yang tepat untuk mencegah;
a) Paksaan
atau bujukan terhadap anak untuk melakukan suatu aktivitas sexual yang
melanggar hukum;
b) Eksploitasi
penggunaan anak dalam prostitusi atau praktek-praktek seksual yang melanggar
hukum lainnya;
c) Eksploitasi penggunaan anak dalam pertunjukan dan bahan-bahan pornografi.
Pengertian pornografi
anak terumuskan pada Protokol Tambahan untuk Konvensi Hak Anak tentang penjualan anak, prostitusi anak dan
pornografi anak (Indonesia sudah menandatangani namun belum meratifikasi).
Dinyatakan bahwa Pornografi Anak berarti pertunjukan apapun atau dengan cara
apa saja yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau
eksplisit atau yang menampilkan bagian tubuh demi tujuan seksual (pasal 2, ayat
b). Pornografi anak menjadi salah satu bentuk Eksploitasi Seksual Komersial
terhadap Anak, yang diidentifikasikan dalam Kongres Dunia Pertama Menentang
Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak, pada tahun 1996.
Di Indonesia, telah
disahkan Undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Pada Ketentuan
Umum, pasal 1 ayat 1, pengertian pornografi dirumuskan sebagai gambar, sketsa,
ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk
media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pada
undang-undang tersebut, perlindungan anak diatur dalam bab III yang terdiri
dari dua pasal, yakni pasal 15 dan 16. Mengacu kepada KHA, instrumen
internasional lainnya, dan juga berbagai peraturan perundangan di Indonesia,
pengertian dari anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun.
Protokol Dunia
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the
Child on the sale of children, child prostitution and child pornography yang telah ditandatangani Indonesia
pada 24 September 2001 mendefinisikan pornografi anak sebagai “setiap
representasi, dengan sarana apapun, yang melibatkan anak secara eksplisit dalam
kegiatan seksual baik secara nyata maupun disimulasikan, atau setiap
representasi dari organ-organ seksual anak untuk tujuan seksual”. Protokol
Optional Konvensi Hak Anak sesungguhnya telah menegaskan tidak adanya toleransi
(zero tolerance) untuk pornografi
anak. Mulai dari pembuatan, penyebaran sampai kepemilikan pornografi anak
dianggap kejahatan pornografi anak. Secara eksplisit dalam Konvensi ILO No. 182
mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak. Diantaranya adalah pelibatan anak dalam materi pornografi
yang juga merupakan salah satu bentuk kerja terburuk anak. Indonesia telah
meratifikasi kedua konvensi tersebut sehingga negara memiliki kewajiban untuk
melakukan langkah-langkah sistematis untuk memberikan perlindungan terhadap
anak melalui pencegahan dan penghapusan pornografi anak.
Pornografi terhadap anak
adalah masalah dunia yang harus diperangi semua bangsa. Hal ini tampaknya harus
segera mendesak dilakukan karena ancaman itu semakin mengkawatirkan. Saat ini
berbagai negara maju selalu berupaya untuk merintangi akses ke situs internet
pornografi anak dan menerapkan hukuman lebih keras terhadap para penyalahguna
anak dan geng perdagangan manusia. Dalam kaitan dengan pornografi, anak-anak
sebenarnya sudah sering menjadi korban orang yang mau enak sendiri sehinga
pura-pura tidak bisa membedakan antara seni dan pornogafi. Melalui tayangan
iklan, foto-foto yang katanya artistik, tabloid dan majalah dewasa yang
dipajang di tempat penjualan koran kaki lima, berbagai acara teve, dan
sebagainya.
Ada yang lebih parah
lagi, yaitu anak-anak dijadikan model bagi jutaan situs porno. Menurut Masnah
Sari dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), dari sekitar 4,2 juta
website porno yang beredar di seluruh dunia, sebanyak 100.000 website
diantaranya menjadikan anak-anak berusia di bawah 18 tahun sebagai modelnya.
Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar diantaranya ditengarai adalah
anak-anak Indonesia. Data yang dikutip Masnah tersebut merupakan hasil survey
di tahun 2006 yang diselenggarakan oleh To
Ten Review. Gambar-gambar yang ditampilkan dalam website dengan model
anak-anak itu, tidak hanya mempertontonkan sosok anak-anak dalam keadaan
telanjang, tetapi sejumlah gambar di antaranya menyuguhkan adegan hubungan
seksual antara orang dewasa dengan anak-anak (paedofilia).
Pornografi anak bukan
sekedar tentang kebebasan berekspresi. Itu kejahatan. Pornografi anak berarti
citra anak menderita penyalahgunaan seks. Melihat pornografi anak di intenet
menyebabkan lebih banyak anak diperkosa hingga menimbulkan citra itu. Berbagai
pihak harus mengucapkan kata perang terhadap pornografi anak, termasuk
menyesuaikan penuntutan penyalahgunaan anak dan perdagangan manusia, serta
hukuman lebih keras pada para pelanggar pertama kali dan berulang kali.
Gambaran Umum Pornografi Anak di Indonesia
Dalam industri
pornografi, anak menjadi objek seksualitas yang dijual secara online dalam
bentuk video, gambar, serta dalam bentuk fisik berupa penjualan anak itu
sendiri. Bukan hanya itu saja, karena kurangnya kontrol sosial dari lingkungan,
akhirnya mengakibatkan anak menjadi konsumen konten-konten pornografi yang
ditawarkan di berbagai media elektronik online. Pada bulan Maret 2012 lalu,
sebuah situs berita online (pesatnews.com) memuat kajian mengenai pornografi
anak di Indonesia. Dalam artikel tersebut dinyatakan:
“Survei yang
dilakukan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Universitas Indonesia menyimpulkan 68 persen murid Sekolah Dasar (SD) pernah
mengakses situs porno. Dunia sudah mengakui bahwa Indonesia menduduki rating
tertinggi sebagai pengakses situs porno. Bahkan Indonesia menduduki ranking dua
dunia sebagai surganya pornografi. Kini ada fakta miris yang menyimpulkan,
lebih dari separuh siswa SD kelas 4,5,dan 6 di Indonesia menyukai pornografi.
Kesimpulan itu diungkapkan dalam sebuah seminar bertema ‘Online Child
Phornography” yang diselenggarakan oleh Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia beberapa waktu lalu.”
Prornografi anak,
bagaimana pun, tentu diawali dengan adanya bahan-bahan dan berbagai informasi
mengenai pornografi yang bisa di akses oleh anak-anak. Seperti yang dinyatakan
Ibrahim (2011:284):
“Cara
belajar anak-anak pertama adalah dengan meniru. Bukankah para ahli mengatakan
bahwa anak-anak mendapatkan 90 persen perilaku dan nilai mereka dari kita.
“What they see is what they do,” demikian kata psikolog perkembangan anak.”
Masuknya bahan dan akses
pornografi ini telah meliputi waktu yang panjang dan tidak terjadi begitu saja
dalam waktu singkat. Bahan pornografi di Indonesia diperkirakan masuk ke
Indonesia pada abad 17, dibawa oleh para pedagang Belanda. Pada tahun
1954-1955, film yang menampilkan adegan berciuman dan pakaian seronok
menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Pada tahun 1970-1980-an, ketika film
berwarna sudah berhasil diproduksi, tercatat beberapa film yang dinilai
menjurus pada pornografi. Pada tahun 1990-2000-an, mulai marak tersebar
bahan-bahan pornografi dalam berbagai jenisnya (hal ini bisa dilihat pada
wikipedia – pornografi di Indonesia). Pada tahun 1980-an, generasi pada masa
itu (pelajar SMP dan SMA) tentu tidak asing pada video-video porno produksi
luar, novel-novel Nick Carter atau novel-novel stensilan karya Enny Errow dan
Valentino atau majalah-majalah orang dewasa seperti Playboy, Penthouse. Pada
tahun 1984, Indonesia digegerkan oleh beredarnya kalender foto bugil dari enam
artis Indonesia.
Pada periode-periode di
atas, anak-anak cenderung menjadi konsumen yang menikmati bahan-bahan
pornografi secara tersembunyi. Pada tahun 2000, Indonesia dikejutkan oleh
kehadiran film porno dengan pelaku orang Indonesia yaitu film Anak Ingusan.
Dilanjutkan dengan tersebarnya rekaman adegan mesum pasangan mahasiswa/i dari
Bandung yang dikenal dengan nama “Bandung Lautan Asmara”. Sejak periode
tersebut hingga saat ini, mulai marak bahan-bahan pornografi dengan model dari
Indonesia. Hanya saja, kecenderungannya bukan bahan yang sengaja diproduksi
untuk kepentingan komersial, melainkan bocornya bahan yang sering disebut
sebagai “dokumentasi pribadi”.
Anak-anak dari kalangan
usia sekolah dasar mudah dijerumuskan menjadi objek pornografi atau korban
pedofilia. Cukup bermodalkan sejumput permen dan sedikit uang, anak-anak itu
sudah bisa digarap. Hal ini banyak terjadi di Bali, Jakarta dan Tangerang.
Bahkan, menurut Masnah, kalangan anak-anak tertentu kini dengan mudah
menjalankan perilaku seksual layaknya orang dewasa atas kemauan sendiri, dengan
menjadikan teman sekolah, teman bermain dan sebagainya sebagai partner seksnya.
Menurut catatan Masnah,
pada tahun 2006 didapati seorang murid kelas enam SD hamil akibat diperkosa
kerabatnya sendiri yang seumuran. Di tempat lain, tiga remaja di Ambon yang
masih berusia di bawah 15 tahun, terpaksa divonis 4-10 bulan penjara karena
telah memperkosa anak usia lima tahun. Kejadian tragis itu menurut Masnah,
dipicu oleh makin tidak terkontrolnya tayangan, gambar, dan produk-produk
pornografi lain yang beredar dan kemudian ditonton oleh anak-anak sejak usia
dini.
Di tahun 2009, kualitas
pornografi yang berkaitan dengan anak-anak semakin meningkat. Menurut Roy
Suryo, pakar telematika, di Indonesia penyebaran video porno anak semakin
merebak. Dalam satu pekan, menurut cacatan Roy, terbit empat video porno anak
yang paling baru. Fakta itu pernah diungkap Roy ketika menjadi saksi ahli di PN
Serang, Banten, untuk memeriksa keabsahan gambar tarian striptease (telanjang)
di ponsel yang dilakukan dua gadis SMP asal Kabupaten Lebak dan Cilegon.
Keduanya merupakan penari striptease di sebuah tempat hiburan di kota itu.
Sekitar Januari 2009, kota Cilegon digegerkan oleh beredarnya video tarian
telanjang yang dilakukan dua bar girl sebuah tempat hiburan, yang direkam oleh
dua pria dewasa. Kedua pria dewasa itu bisa merekam adegan tari telanjang di
atas meja karaoke itu, berkat bantuan seorang germo di tempat hiburan tersebut.
Video berdurasi 1 menit 8 detik itu sempat beredar dari ponsel ke ponsel milik
sejumlah warga Cilegon, sebelum akhirnya bermuara ke kantor polisi. Dalam
tayangan video tersebut, dua anak belasan tahun (usia mereka antara 15-16
tahun), menari telanjang tanpa sehelai benang, di atas meja pada sebuah
ruangan. Keduanya menari bugil sambil diiringi alunan nada house music. Menurut informasi, kedua anak belasan itu merupakan
warga Pandeglang yang nekad melakukan aksi tarian bugil seperti itu karena
dibayar oleh dua orang lelaki tak dikenal yang menjadi pelanggan tempat hiburan
tadi. Kejadian itu berlangsung sekitar pertengahan Januari 2009 lalu. Dan kedua
penari telanjang tadi dibayar masing-masing sebesar Rp 500 ribu.
Kegegeran demi kegegeran
terjadi di Indonesia dengan tersebarnya – terutama – film-film mesum yang
melibatkan berbagai kalangan seperti para selebritis, pejabat nasional dan
pejabat di tingkat daerah, pegawai negeri, dan juga mahasiswa dan pelajar.
Apalagi belakangan ini dunia digital Indonesia diramaikan oleh adanya kasus
“Ariel Peterporn” yang merebak bak air bah ke segala pelosok Indonesia. Video
porno Ariel sangat mudah didapatkan melalui gadget yang sudah banyak dipunyai
anak. Kemajuan teknologi, misalnya penggunaan handphone yang sudah tidak menjadi barang mewah dan dimiliki oleh
hampir semua orang, memudahkan proses perekaman. Penyebaran melalui media
internet, yang juga menjadi salah satu bagian dari gaya hidup saat ini
(termasuk juga bisa diakses oleh handphone),
mempercepat dan memperluas penyebaran. “Gerakan Jangan Bugil di Kamera” pada
tahun 2010 memberikan pernyataan bahwa selama 10 tahun terakhir sedikitnya
terdata 800 film porno yang terungkap di media. Dinyatakan bahwa yang belum terungkap
bisa berjumlah ribuan.
Pada periode inilah,
bahan-bahan pornografi anak – utamanya yang dilakukan para pelajar – turut
tersebar luas. Berdasarkan pengalaman ketika berinteraksi dan berdialog dengan
anak-anak yang dilacurkan di berbagai kota, juga mencermati berbagai hasil
studi tentang seks bebas, telah terjadi pergeseran nilai tentang seksualitas.
Seks bebas dianggap bukan sebagai hal yang “tabu” melainkan menjadi bagian
“gaya hidup”. Ini tentu saja membuka ruang yang sangat terbuka bagi hadirnya
bahan-bahan pornografi – yang mungkin tidak dilandasi niat komersial, tapi
sebagai “keisengan”.
Selain melalaui media underground (penyebaran video porno dari
tangan ke tangan, atau handphone ke handphone) dan media online, dalam media
mainstream pun anak-anak sudah mulai
menjadi objek. Ibrahim (2007:322) mengatakan:
“Penggambaran
dunia anak-anak di media, iklan, dan produk budaya hiburan akhir-akhir ini
menunjukkan peningkatan yang drastis. Anak-anak banyak ditampilkan sebagai
bintang iklan, tidak hanya untuk produk anak-anak, tetapi juga untuk produk
orang dewasa... ... Maka, tak jarang anak-anak diposisikan baik secara
terang-terangan maupun secara halus sebagai konsumen atau bahkan sebagai benda,
objek konsumsi.”
Objek konsumsi di sini
tentu juga termasuk eksploitasi tubuh anak yang semakin lama dinilai sebagai
sesuatu yang wajar.
Perlindungan Hukum bagi Anak di Indonesia
Indonesia telah memiliki
Undang-undang tentang Pornografi. Terkait dengan anak, hal ini diatur pada pada
pasal 11. Dinyatakan bahwa Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan
dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10. Hal ini menyangkut:
- larangan
memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau
menyediakan pornografi dan larangan menyediakan jasa pornografi (pasal 4),
- larangan
meminjamkan atau mengunduh pornografi (pasal 5),
- larangan
memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk
pornografi (pasal 6),
- larangan
dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang
mengandung muatan pornografi (pasal 8),
- larangan
menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan
pornografi (pasal 9), dan
- larangan
mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang
menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan atau yang
bermuatan pornografi lainnya (pasal 10).
Selain itu diatur Bab khusus mengenai
Perlindungan Anak pada Bab III mengenai:
- perlindungan
anak dari pengaruh pornografi dan
mencegah akses anak pada pornografi (pasal 15), dan
- pembinaan,
pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap
anak yang menjadi korban pornografi anak (pasal 16).
Tantangan ke Depan
Meskipun sudah ada
Undang-undang Pornografi dan sebagainya, keberanian sejumlah orang menjadikan
pornografi dan pornoaksi sebagai komoditas, boleh jadi karena selama ini mereka
–para pelaku porografi dan pornoaksi– telah terbiasa berada dalam kondisi yang
kondusif untuk menjajakan pornografi dan pornoaksi. Dengan demikian, yang
diperlukan adalah sikap konsisten aparat penegak hukum di dalam memerangi
pornografi dan pornoaksi, tanpa pandang bulu, siapapun pelakunya harus diproses
melalui koridor hukum yang semestinya.
Selain tindakan yang
harus dilakukan oleh para penegak hukum, mencegah, tentu merupakan usaha nyata
yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat. Langkah pencegahan, tentu harus
dilakukan secara terus menerus tanpa henti dengan melibatkan berbagai pihak
yang bersentuhan langsung dengan anak setiap harinya. Diantaranya,
orangtua/keluarga, sekolah, dan komunitas, serta penyebaran secara luas melalui
media yang tersedia (radio, televisi, jejaring sosial, dan situs-situs). Hal
ini tentu saja dengan mencermati tantangan-tantangan yang dihadapi,
diantaranya:
- Terjadinya
pergeseran pandangan atau nilai-nilai tentang seksualitas yang lebih longgar di
kalangan anak/pelajar menjadi tantangan tersendiri yang harus ditangani.
- Kepemilikan
dan penggunaan alat komunikasi seperti handphone
dan akses internet yang memudahkan untuk mendapatkan dan menyebarluaskan
bahan-bahan pornografi. Untuk hal ini, dimungkinkan-kah adanya pembatasan fasilitas dari handphone yang dimiliki oleh anak-anak?
Efektifkah pembatasan akses ke situs-situs porno?
- Sikap
pro-aktif dari para aparat penegak hukum, tapi dengan mengedepankan kepentingan
anak dengan menempatkan anak-anak sebagia korban, bukan sebagai pelaku kejahatan.
Sumber On-line :
No comments:
Post a Comment
budayakan komentar yang berbudaya