Pengantar
Sebuah pepatah klasik : si vis pacem para bellum – bila
menginginkan damai, persiapkanlah perang – cocok dipakai untuk menggambarkan
keadaan masyarakat kapitalis industri maju dewasa ini. Secara kasat mata,
masyarakat kapitalis kontemporer memang berbeda dalam tingkat kemakmuran yang
pantas dibanggakan. Standar hidup individu sangat tinggi, kekayaan pribadi dan
negara makin meningkat, pelayanan kesehatan cukup merata dan dinikmati dengan
baik oleh sebagian besar penduduk. Segala kebutuhan dasar mudah diperoleh dan
harga pun terjangkau dikantong penduduk, sehingga kelaparan atau mati kelaparan
menjadi bencana nasional. Lalu, jam kerja kaum buruh dibatasi dan dilindungi
oleh hukum; penghasilan mereka melebihi standar minimun kebutuhan hidup,
sehingga bisa berlibur bersama keluarga bahkan pelesir ke luar negeri. Jadi,
kehidupan warga negara maju kapitalis di era teknologi memang lebih baik.
Tatkala ditelisik
secara lebih teliti, dibalik gemerlap kemakmuran material dan kenyamanan hidup
tadi, terdapat persoalan yang besar juga berbahaya. Tanpa sadar, atau memang
sengaja dibuat tidak sadar, warga masyarakat kapitalis sedang mempraktikkan
pepatah klasik diatas. Kemakmuran yang dinikmati harus dibayar dengan
pemiskinan dan perbudakan warga, kelompok dan bangsa lain. Keamanan dan
kenyamanan harus dilunasi dengan pengekangan dan penindasan. Pelestarian hidup
individu dan warga negara diperoleh melalui pembasmian terhadap individu dan
warga lain yang tidak selairan, berbeda suku dan warna kulit. Masyarakat
industri maju kapitalis sedang membangun kemajuan dan peradaban dengan
perbudakan kejam dan berkelanjutan.
Dengan
perkembangan teknologi mutakhir, pola penjajahan, penindasan dan perbudakan
mengalami perubahan radikal, yakni dengan tidak serta menghindari ancaman dan
tindak kekerasan. Penggunaan teror sudah dianggap kuno, mubazir, dan kontraproduktif
karena menimbulkan kepanikan dan ketakutan sesaat dan secara bersamaan
menimbulkan antipati, kebencian dan perlawanan. Karena alasan tersebut, rezim
dan penguasa memilih pola penjajahan dan perbudakan secara lebih halus,
rasional, dingin, dan tanpa wajah, namun tetap mujarab dan mematikan, melalui
cara :
1. Administrasi
Total
Administrasi total
merupakan strategi pengaturan dan pengelolaan yang bertujuan mengharmonisasikan pemusatan dan penyatuan
kekuatan sosial, politik, ekonomi, militer, dan budaya ke dalam satu tangan.
Sarana yang dimanfaatkan adalah dengan menciptakan “musuh bersama” nasional guna
memaksa semua warga agar memerlukan yang tidak diperlukan dan mengorbankan yang
harus dilindungi dan dilestarikan[1].
Alasan klasik yang
dikemukakan ialah menyeimbangkan hak dan kewajiban, menjamin kestabilan dan
keamanan, memberikan kepastian hukum dan memastikan penghargaan terhadap harkat
dan martabat manusia. Dibalik gagasan yang begitu luhur, tujuan sejati
administrasi total ialah mempertahankan kelanggengan kekuasaan, penindasan dan
perbudakan demi keuntungan dan keunggulan abadi pihak penguasa atas semua lawan
dan saingan.
Administrasi total
mengejawantah dalam bentuk manajemen ilmiah (lalu dikembangkan menjadi
manajemen konflik)[2].
Manajemen ilmiah digagas oleh F.W Taylor dengan mengambil inspirasi dari
kesatuan ilmu pasti dan industri raksasa[3].
Manajemen ilmiah merupakan strategi pengaturan dan pengelolaan hubungan kelas
pekerja dan kelas majikan dengan memakai aturan hukum yang telah dirumuskan dan
diinstalisasikan kedalam mesin pintar. Dengan begitu, bila terjadi perselisihan
antara dua belah pihak, tidak diperlukan lagi pengacara maupun pertemuan guna
memeriksa akar persoalan dan mendapatkan kesepakatan. Jadi, kedua belah pihak
(pekerja dan majikan) cukup memasukkan argumentasi kedalam mesin tersebut, lalu
mesin akan menganalisis masing-masing argumen dan membuat keputusan objektif
megenai siapa yang benar dan yang salah[4]. (catatan:
sayang sekali F.W Taylor tidak mengatakan siapa yang telah membuat dan
menginstalasikan rumusan hukum demikian kedalam mesin).
Dari sudut pandang
ekonomi dan teknologi, segala perdebatan dan pembicaraan merupakan hal yang
kurang berguna, membuang waktu, tenaga, pikiran dan dana. Yang penting disini
adalah : bukan bagaimana individu mengembangkan kemampuan berfikir,
mempertanyakan hak dan harga diri mereka, melainkan berkontribusi bagi sistem
dan menghasilkan sesuatu yang berguna secara sosial. “jangan kamu tanyakan apa yang diberikan negara kepadamu, tapi tanyakan
apa yang kamu berikan kepada negara”
2. Bahasa
Fungsional
Medium utama
administrasi total adalah bahasa, mengingat subjek utama yang dihadapi, diatur,
dikelola dan dikendalikan adalah : manusia. Siapa menguasai bahasa, dia
menguasai hidup. Penguasa kapitalis menyadari kedudukan sentral bahasa dalam
seluruh wacana peradaban. Karena itu, hal utama yang perlu digarap dalam upaya
penaklukan total dan tuntas adalah pembentukan wacana berfikir, cara
berkomunikasi, dan berwicara. Muatan baru yang diberikan oleh rezim kapitalis
dalam mengubah wacana pra-teknologi dilakukan dengan menciptakan bahasa sendiri
: bahasa fungsional[5].
Bahasa fungsional
merupakan pola wicara yang lebih mementingkan fungsi predikat daripada subjek
lewat penyamaan predikat secara langsung dan cermat dengan pokok kalimat.
Contoh (dari bahasa Inggris) : “Georgia’s
high-handed, low browed govenor” (Gubernur Georgia yang congkak dan beralis
rendah) serta “bull-shouldered missileman
von Braun” (Ahli Misil von Braun yang berpundak bagaikan sapi)[6].
Tanda petik dan tanda hubung dari dua kalimat diatas menunjukan identifikasi
langsung individu dengan ciri fisik dan karakternya, disini terdapat upaya
penyatuan kosakata yang saling bertentangan secara paksa dimana keseluruhan
subjek terungkap dalam semua predikat.
Berbeda dengan struktur
frasa dalam bahasa klasik, subjek adalah substansi dan memaknai konsep, sesuatu
yang universal. Sedangkan predikat menunjukan penjelasan, penjabaran,
perwujudan dan perincian dari sebuah subjek menurut keadaan, fungsi dan
kualitas tertentu. Dalam bahasa fungsional, pola berpikir klasik telah
dipangkas dan bahasa kehilangan fungsi mediasi. Pemangkasan dan penghilangan
itu terjadi lewat penyamarataan, penyerapan, dan penyatupaduan situasi, fungsi
jabatan, kualitas, kata keterangan, dan berbagai faktor kehidupan yang saling
bertentangan secara lancang.
Pada tahap awal, gaya
bahasa fungsional mendominasi dunia perdagangan, dunia yang menganut prinsip: waktu adalah uang. Penggunaan bahasa
fungsional dalam dunia ekonomi dinyatakan dalam bahasa iklan. Penyampaian
informasi serta pembatinan nilai dan citra dalam iklan dilakukan dalam ruang
terbatas dan momen yang amat singkat. Untuk itu, konstruksi kata dalam iklan
harus ringkas, langsung, kongkret, tepat sasaran.
Dalam perkembangan,
bahasa fungsional merambah kedunia politik. Dunia politik merupakan teritori
yang amat rawan dengan konflik kepentingan, kekerasan, dan perebutan kekuasaan.
Untuk mencegah dan mengelola konflik, kaum penguasa harus menemukan cara yang
rasional, manusiawi, efektif, ramah, mampu menyerap dan menyatukan semua pihak
dengan segenap kepentingannya, yakni kepentingan status quo. Bahsa fungsional memenuhi semua persyaratan ini berkat
kemampuannya mengasimilasi semua persyaratan dengan persyaratan sendiri,
menawarkan prospek guna mengkombinasikan toleransi sebesar mungkin dengan
kesatuan seluas mungkin[7].
Bahasa fungsional
merupakan pola wicara yang antikritik dan antidialetika[8],
absolut dan adikara, otoriter dan totaliter. Yang mana keabsolutan dan
keadikaraan merupakan bagian esensial dari eksistensi dan aktivitas penguasa. Dalam
konteks kekuasaan, bahasa fungsional merupakan bahasa kekuasaan, pola wicara
yang mengkomunikasikan keputusan, peraturan, perintah dan larangan, tolak ukur
dan pedoman bagi semesta konsep, sistem nilai dan realitas yang berbeda dan
dicurigai[9]. Dengan
begitu, bahasa fungsional berfungsi sebagai instrumen koordinasi dan
subordinasi[10],
menunjukkan diri sebagai bahasa satu dimensi[11],
diktator bahasa sekaligus bahasa diktator.
3. Penghapusan
Sejarah
Pembentukan bahasa
fungsional dalam pembentukkan semesta wacana masyarakat mesti dilihat dalam
hubungannya dengan sejarah peradaban. Sejarah peradaban bukan sekedar kumpulan
fakta dan rangkaian peristiwa dimasa lalu, dimana makna dan fungsinya terbatas
pada sekedar kenangan, ingatan dan kerinduan sehingga kita tidak lagi mengulang
kesalahan. Sejarah peradaban merupakan aktivitas dialogis berkelanjutan antara
nalar dengan semesta dalam rangka penemuan dan perwujudan seluruh diri subjek
dan memahami kedudukan-nya diantara semua yang ada.
Dalam hidup menyejarah,
nalar manusia mengambil dua sikap yang berbeda. Disatu pihak, ada kontinuitas
gerak dialektis nalar dalam rangka mengenal, mengerti, memahami, dan mengolah
fakta, data dan peristiwa. Dan dipihak lain, dis-kontinuitas sejauh nalar
berada dalam kesatuan dengan badan. Dalam kesatuan ini, nalar manusia terikat
dalam ruang dan waktu sehingga aktivitasnya tunduk pada hukum sebelum dan
sesudah, disana dan disini, kini dan nanti. Jarak konstan realitas dua
dimensional mempertahankan sifat antagonistis satu sama lain. Kedua realitas
ini bergerak dan berkembang dalam kontradiksi dan menghasilkan konsep yang
senantiasa berciri kritis, progresif, dan revolusioner.
Berangkat dari
pemaknaan bahasa fungsional sebagai bahasa tunggal dalam masyarakat kapitalis,
pernyataan Marcuse bahwa pemaksaan makna tunggal bahasa dalam semesta wacana
merupakan keputusan dan tindakan politis dan bukan sekedar persoalan dunia
akademis[12],
mendapat pembenarannya. Promosi dan aplikasi bahasa fungsional yang bersifat
antioposisi dan selalu ‘alergi’ dengan kekaburan dan perbedaan makna, merupakan
strategi penguasa untuk menguasai kesadaran dan menutup ruang perbedaan.
Secara sosial, bahasa
fungsional memuat kandungan ideologis sehingga menjadi bahasa antihistoris yang
radikal. Radikalitas seperti ini cenderung menafikkan relasi masa lampau dan
masa kini[13].
Dari sudut kekuasaan, membiarkan masa lampau dan masa kini tetap terjalin dapat
diibaratkan dengan memelihara anak macan.
kesenangan merupakan cara disosiasi dari
berbagai fakta yang tersaji, suatu langgam “mediasi” yang menghancurkan
kekuasaan aneka fakta tersaji yang terdapat dimana-mana. Memori mengingatkan
teror dan harapan yang telah berlalu[14].
Teror memunculkan
perasaan terintimidasi, cemas, galau, takut, dan trauma berkepanjangan.
Sedangkan harapan memberikan perasaan lega, yakin, aman dan nyaman dalam meniti
masa depan. Meski berbeda, teror dan harapan dapat memunculkan refleksi, opsi,
konsep, kemungkinan, peluang, keberanian, dan aksi. Keduanya menjadi jembatan
bagi individu untuk melampaui kenyataan. Menjembatani berarti memberi ruang dan
peluang bagi individu untuk belajar: belajar dari apa saja yang telah dilakukan
dimasa lalu (baik-buruk maupun untung rugi). Karena itu, belajar dari sejarah
menumbuhkembangkan kesadaran kritis mengenai ciri menjadi manusia atau proyeksi
diri menuju status yang lebih baik dan sempurna. Kesadaran kritis merupakan
kesadaran historis saat menatap dan menilai realitas sosial[15],
sehingga masuk akal bila kesadaran kritis menggalaukan kekuasaan yang ada.
Ketakutan penguasa
mengalir dari akibat yang ditimbulkan kesadaran historis kala kesadaran kritis
berbicara mengenai bahasa pengetahuan.
Karena itu, kesadaran historis dan kritis harus dicegah, pertalian antara masa
lalu dan masa kini wajib diputus oleh bahasa fungsional. Jadi, rezim kapitalis
merupakan penghancur sejarah.
Kebutuhan
Palsu
Generasi kontemporer semakin
menyadari ke-aku-an dan kepemikikan.
Mereka ingin disanjung, dipuja-puji, dimanja, dan disayangi. Harga diri mereka
diangkat setinggi mungkin, dan kebutuhan pun harus selalu terpenuhi. Mereka
memerlukan pelayanan bagaikan pangeran dan putri ayu masa lalu; mereka ingin hidup
enak dan gampang.
Didepan mentalitas yang
berpusat pada ke-aku-an, strategi penguasaan dan penindasan dengan kekerasan
dan kebrutalan fisik pasti segera memantik perlawanan dan pemberontakan. Untuk
itu, penguasa harus pandai memperlakukan segenap warga: membelai dan membuat
mereka tertidur, menjaga, dan melayani ketika mereka terjaga. Dalam alam
kebebasan, penguasa kontemporer mesti berlaku sebagai pelayan tunggal bagi
semua warga. Dari sinilah, neo-imperialisme
dan neo-kolonialisme kontemporer
bekerja lewat kebutuhan palsu yang sengaja diciptakan dengan memanipulasi
keinginan massa untuk dilayani bak ratu dan raja.
Kebutuhan Palsu
merupakan suatu keperluan yang dibebankan oleh aneka kepentingan sosial
tertentu kepada semua individu dengan maksud menindas dan menggeroggoti mereka[16].
Sekarang ini terpampang jelas propaganda sistematis dan kontinu untuk semua
kebutuhan palsu yang dijejalkan. Propaganda kebutuhan palsu dilakukan lewat
aneka macam promosi, pameran dan iklan mengenai merek dagang, tempat wisata,
pusat perbelanjaan, mode, apartemen, lokasi perumahan, ponsel, komputer,
kendaraan bermotor, peralatan rumah tangga, hingga beragam jenis kursus. Dari
sini, perlu ditanyakan apakah konsumen membeli berbagai macam produk karena
perlu atau lebih didukung karena gengsi, status sosial, persaingan dengan
teman, tetangga, dan lainnya?
Namun beberapa dari
mereka berkilah (mereka yang berpikir bahwa distingsi mengenai kebutuhan palsu
dan kebutuhan hakiki sengaja digembar-gemborkan karena sikap benci dan antipati
terhadap ideologi kapitalis), “Bukankah kebutuhan semacam ini merupakan sarana
memuaskan semua insting yang sekian lama dikekang dan ditindas?” Bagi Marcuse, memuaskan
insting berbeda dari sikap memperbudak diri lewat insting dibawah kekuasaan
lewat pihak lain yang memberikan kepuasan. Pemuasan sejati adalah pemenuhan
yang mendukung perkembangan diri secara bebas[17].
Pemuasan secara membabi buta lebih tepat dikatakan sebagai pelampiasan dari
pada pemenuhan secara wajar dan pantas. Tentang realitas kebutuhan palsu dan
kebutuhan hakiki, sikap terpenting yang harus dimiliki adalah selalu bertanya
tentang apa, mengapa, dan bagaimana aku
sampai pada keputusan untuk membeli sebuah produk.
Imperium
Citra
Dewasa ini, image (citra) menjelma menjadi matra
gaib yang menyusup ke segala sisi kehidupan individu dan masyarakat, bahkan
memainkan peranan besar dalam dunia politik dan kekuasaan. Para pemimpin
negara, kandidat yang bersaing guna memperebutkan posisi sebagai presiden atau
perdana menteri, serta berbagai jabatan dibawahnya menaruh perhatian besar
terhadap citra. Lebih parah lagi, dominasi citra merasuk pula ke wilayah
praksis kekuasaan dan menjadi bahan pertimbangan utama dalam keputusan politik
dan kebijakan pemerintah yang tergambar dalam istilah populis dan tidak populis. Dalam
makna awali, istilah populis mengacu pada seri kebijakan dan keputusan politik
yang mengedepankan hak dan kepentingan rakyat. Namun, bagi penguasa,
istilah populis diselewengkan menjadi populer, terkenal, dan merakyat tanpa
memperhitungkan apakah hak dan kepentingan rakyat sungguh menjadi ukuran,
pedoman, dan tujuan nyata dari kebijakan dan keputusan politik. Bagi penguasa,
rakyat adalah massa tanpa nama, objek dan bukan subjek kekuasaan dan
pembangunan. Dengan demikian, sikap yang diambil penguasa berciri dua dimensi:
di satu pihak menjamin kerja sama dan toleransi minimum dengan kalangan oposisi
dan dipihak lain menciptakan citra baik dan murah hati dikalangan rakyat
jelata.
Berpijak pada dominasi
citra dalam semesta aktivitas moderen-kontemporer, tidak berlebihan bila
dikatakan bahwa manusia hidup dalam imperium citra. Citra adalah sang kaisar,
ukuran mutlak, pedoman tertinggi dan nilai supermum
dalam relasi, interaksi, komunikasi, dan aksi entah pada lingkup pribadi,
keluarga, komunitas maupun nasional, regional, dan global. Generasi moderen
kontemporer lebih mementingkan bungkusan daripada isi, kesan daripada subtansi,
tampilan daripada intisari, peran daripada jatidiri, sehingga jangan heran bila
dalam tatanan hidup bersama semua diskursus berhenti pada sensasi.
MANUSIA
KAPITALIS SATU DIMENSI
Di era modern-kontemporer, teknologi
beralih status dan menjelma sebagai prinsip dan roh peradaban yang menjiwai dan
menghidupi manusia dan peradabannya menurut bentuk yang sudah di rancang dan
direkayasa sehingga seluruh realitas tatanannya kini diubah menjadi realitas
dan peradaban teknologi satu-dimensi.
Dari Logika Dialektis ke Logika Dominasi
v Logika
Dialektis Platon
· Pikiran
dialektis platon merupakan aktifitas berfikir melalui permenungan,
pengelompokkan, pembedaan, dan pelampauan yang berusaha menemukan esensi,
kebenaran, prinsip, dan sebab. Keadaan ini memberikan karakter pemikiran
filsafat yang transenden, universal, dan abstrak yang merupakan eksistensi
pikiran yang sangat hakiki dan otentik.
· Dalam
logika dialektis Platonian, titik tekan bukan pada kesesuaian melainkan pada keberbedaan
gagasan dengan realitas, sebab keputusan tentang realitas berasal dari
pandangan yang mengekspresikan subversinya[18].
· Unsur
subversi menandakan gerak dialektis yang terarah pada upaya untuk keluar dari
normalitas, rutinitas, dan status quo.
· Jadi,
gerakan nalar dalam mencari definisi dan kebenaran sejati merupakan aksi
melawan dan sekaligus melampaui kemapanan berfikir dan kebekuan institusional.
v Logika
Analitis
· Dialektika
berfilsafat dan logika berfikir Platon lalu diimbangi oleh filsafat dan logika
Aristoteles
· Pengetahuan
dan pemahaman mengenai universalitas dan sebab, menurut Aristoteles, merupakan pengetahuan
dan pengertian yang paling menyeluruh dan merangkum hal ihwal yang partikular.
· Pembedaan
realitas secara demikian menjadi dasar untuk menjelaskan makna ‘ada’ dan
membentuk logika: sebagai disiplin ilmu berfikir dan tolak ukur dalam menilai dan
memutuskan.
· Dari
sini, lahirlah logika formal yang memutuskan benar dan keliru[19],
sahih dan tidak sahih.
v Empiris-Positivisme
Logis
· Pola
berfikir teknologis telah kehilangan dimensi penalaran dan kekritisan, baik
terhadap realitas secara umum, maupun kekeliruan dan manipulasi yang dilakukan oleh
kekuatan sentifugal yang sedang berkuasa.
· Pemanasan
global, pembabatan hutan, permasalahan sampah (entah yang berasal dari limbah
rumah tangga maupun dunia industri dan nuklir), polusi, pengurasan berskala
raksasa terhadap sumber alam, misalnya, merupakan bukti kekeliruan dan manipulasi
oleh kaum kapitalis yang berkuasa.
· Bahkan
tendensi yang cukup mencengangkan adalah: terdapat sejumlah pihak, termasuk
kalangan agamawan, yang malah menerima dan mentoleransi kesalahan dan
manipulasi bila dianggap dapat memberikan keuntungan besar.
· Cara
berfikir nalar teknologis adalah cara berfikir yang memiskinkan[20].
Dari sudut ilmiah, ilmu pengetahuan memandang alam hanya sebagai objek yang
mesti ditundukkan dan dikuasai. Alam telah kehilangan semua kualitasnya,
kecuali kualitas sebagai materi yang bisa dihitung dan diprediksi.
v Filsafat
Analitis
· Filsafat
analitis merupakan aliran pemikiran yang memusatkan diri pada studi tentang bahasa.
· Dalam
kajian tentang bahasa, kalangan intelektual filsafat analisis menemukan fakta
yang sangat mengganggu: dunia bahasa sarat dengan kekeliruan, kekaburan,
kemenduaan, dan berbagai persoalan sejenis[21].
· Bertolak
dari permasalahan yang menyelimuti dunia bahasa, dalam filsafat analitis muncul
kecenderungan yang bermaksud merestorasi bahasa, sehingga tepat guna dalam
diskursus ilmiah.
· Restorasi bahasa:
pembersihan dunia filsafat dan bahasa dari kekacauan, kekeliruan, kemenduaan,
pengugkapan dan gambaran yang subjektif, mitologis warisan bahasa metafisik,
puitis, dan bahasa harian. Sehingga menjadi bahasa yang lugas, tuntas, jelas,
utuh dan menyeluruh.
· Penyimpangan yang dilakukan oleh
kapitalis: melalui bahasa iklan untuk ‘promosi
produk,’ ‘propaganda politik tentang kebenaran dan kebijakan yang berpihak
kepada rakyat,’ ‘pembangunan nasional,’ ‘ekonomi kerakyatan,’ ‘harga diri
bangsa.’ Pola wicara pariwara juga menggunakan bahasa puitis, bahasa harian[22]
dan metafisik. “Sihir, guna-guna dan
upaya mencari kegembiraan yang luar biasa.”
v Pemaduan
Oposisi
· Dalam
masyarakat industri kapitalis, telah berlangsung proses pemusatan dan penyatuan
semua kekuatan dalam masyarakat. Dalam bidang ekonomi, sentralisasi dan integrasi kekuatan ekonomi nasional,
regional dan global menampakkan diri dalam merger sehingga terbentuk korporasi
raksasa. Alasan utama merger (bagi pengamat ekonomi dan pemilik perusahaan),
yakni meningkatkan kinerja dan daya saing dalam iklim kompetisi yang keras.
Namun, secara hakiki, atensi utama merger adalah melakukan dan mempertahankan monopoli terhadap semua sumber ekonomi,
dominasi terhadap pasar dan keunggulan serta keuntungan.
· Pada
ranah politik, proses pemusatan dan
penyatuan kekuasaan terjadi melalui kebijakan bipartisan. Kekuatan
sosio-politik didominasi lobi dan kompromi. Pembicaraan dan perdebatan yang
serius, tajam, kritis, menyeluruh dan tuntas selalu dihindari dengan berbagai
alasan, dan kalaupun terjadi, silang pendapat dikalangan politisi merupakan
bagian dari retorika politik. Ars
politica menjadi ars rhetorica,
politik identik dengan konspirasi, alianasi, koalisi, bagi kekuasaan dan
rezeki.
“apabila partai-partai itu sudah setuju bekerja di dalam kerangka sistem
yang sudah mapan, persetujuan itu bukan muncul karena alasan-alasan taktis
semata dan sebagai strategi jangka pendek, melainkan karena basis-basis sosial
partai-partai itu telah dilemahkan dan tujuan-tujuannya sudah diubah dengan
perubahan sistem kapitalisme.” Ujar Marcuse[23].
· Nilai
budaya adihulung kini menjadi
komoditi yang tunduk pada hukum pasar. Marcuse meringkas dengan padat proses
tata ulang isi budaya adihulung bahwa “musik
jiwa merupakan juga musik keahlian berjualan. Yang diperhitungkan bukan lagi
nilai kebenaran, melainkan nilai tukar.[24]”
Dengan memindahkan nilai budaya adihulung dari tatanan ideal ke tatanan
operasional, proses materialisasi idealitas ditegaskan. Kapitalis sedang
mewartakan materialisme kebudayaan dan kebudayaan materialistik.
Teater dan film kehilangan fungsi
pendidikan dan pengetahuan; dunia lukisan dipangkas dari ungkapan yang bersifat
kritis, protes dan subversif. Makna seni sebagai proyeksi dan kontemplasi
dialihkan menjadi ekspresi prestasi dan objek komersialisasi. Budaya adihulung
yang klasik diganti dengan budaya pop dan hip-hop.
· Pertanyaan pentingnya adalah: mengapa semua bungkam di depan pemusatan dan
penyatuan kekuatan sosial, politik, ekonomi, militer, dan kebudayaan? Alasan
utama dari kebungkaman itu terletak pada penerimaan dan pengertian massa bahwa
hidup mereka menyenangkan, lebih baik, lebih enak, lebih terjamin, meskipun ada
pembatasan terhadap aktivitas tertentu. Pembatasan tersebut dianggap sebagai
hal yang normal dan wajar serta sebagai ‘harga’ yang harus dibayar untuk
kesenangan dan kemakmuran hidup yang dinikmati.
Kesimpulan
Emansipasi
dan revolusi merupakan dua jalan untuk memberikan kembali umat manusia secercah
harapan akan kebahagiaan dan kebebasan yang telah hilang, sehingga semua dapat
hidup menurut keperluan tanpa gangguan dan kecemasan. Untuk itu, individu harus
meninggalkan sikap nrimo dan masa
bodoh serta menunggu “takdir alamiah” berupa kematian kapitalisme akibat
pertentangan internal dan berbagai faktor penyokongnya. Kehancuran kapitalisme
hanya mungkin terjadi kalau ada persiapan yang matang, perlawanan sistematis
dan keunggulan material serta etis moral kaum komunis.
Pemikiran
Hegel, Marx, Heidegger, dan Freud dapat diibaratkan sebagai suara dan kacamata
yang membuat Marcuse sanggup mendengar, melihat, dan memahami realitas hidup
secara lebih baik. Situasi dan kondisi individu yang serba kekurangan,
tertindas, terperas, terasing dari diri sendiri, sesama, dan buah tangannya oleh
penguasa kapitalis, membuat Marcuse harus berbuat sesuatu. Gagasannya mengenai
masyarakat dan manusia satu dimensi dalam masyarakat industri maju yang ditata
dan dikelola secara unilateral menurut hukum kapitalis dan prinsip operasional
teknologis dengan beragam dampak, merupakan buah pergulatan Marcuse dengan para
pemikir terdahulu dan realitas aktual hidupnya.
Saran
Sebagai
karya nalar dalam ruang dan waktu, pemikiran filosofis Marcuse memuat pula keterbatasan
dan kekurangan. Namun, sebagai manusia bijak, kita selalu dituntut untuk
melampaui segala kekurangan dan keterbatasan demikian guna menemukan makna dan
niat baik permenungan Marcuse. Sekarang merupakan giliran kita dituntut untuk
menulis sejarah degan belajar dari masa lalu demi negeri tercinta dan dunia
yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Saeng, Valentinus CP.
2012. Herbert Marcuse Perang Semesta
Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kajian :
Marcuse, Herbert. 1964. One Dimensional Man, Studies in the Ideology of Advanced Industrial
Society. Boston: Beacon.
Marcuse, Herbert. 1958. One-Dimensional Man, Soviet Marxism. A Critical Analysis, New
York: Coloumbia Univ. Press.
[1] Herbert Marcuse, One Dimensional Man. Studies in the
Ideology of Advanced Industrial Society, Boston: Beacon, 1964.
[2] Ibid., 70.
[3] Id., “Einige gesellschaftliche Folgen moderner Technologie”, dalam Id., Schriften, Bd. III, Frankfurt am
Main: Suhrkamp, 1979, 296.
[4] Ibid., 101, 198
[5] Id., One Dimensional Man, 85.
[6] Ibid., 89, 92, 93: Gubernur yang
dimaksud adalah Mr. Talmadge.
[7] Ibid., 90.
[8] Ibid., 97.
[9] Ibid., 102.
[10] Ibid., 97.
[11] Ibid., 101, 198.
[12]
Ibid., 98.
[13]
Ibid.,
[14] Ibid.,
[15]
Ibid., 99
[16]
Ibid., 4-5.
[17]
Ibid., 6.
[18]
Herbert Marcuse, One Dimensional Man., 132.
[19]
Ibid., 130.
[20] Ibid., 186.
[21] Bdk. Ibid., 170-178
[22] Untuk bisa masuk dalam kelas
aktual, individu harus berfikir dan bertutur dalam kerangka berpikir, kaidah
dan standar yang dirancang penguasa. Kata-kata
Soeharto pernah dikultuskan oleh kalangan pejabatnya dari tingkat menteri
hingga RT-RW. Soeharto selalu menggunakan kata perbandingan “daripada” dalam
setiap kalimat tanpa konteks perbandingan apapun: pembangunan nasional bertujuan menyejahterakan daripada rakyat.” Dan pejabat pun mengulang kata “daripada”
dalam setiap pertemuan dan wawancara.
Serta pemakaian akhiran ‘ken’ untuk mengganti
‘kan’
[23] Herbert Marcuse, One-Dimensional Man, 21. Mengenai perubahan kebijakan ekonomi dan
politik Uni Soviet, lihat Herbert Marcuse, Soviet
Marxism. A Critical Analysis, New York: Coloumbia Univ. Press, 1958.
[24]
Herbert Marcuse, One Dimensional Man, 57.
tulisan bagus
ReplyDelete