(Oleh : Prof. Dr. Burhan Bungin
Msi, dalam PORNOMEDIA Konstruksi Sosial
Teknologi Telematika & Perayaan Seks di Media Massa)
Media massa memiliki kekuatan yang
sangat dahsyat untuk mengkonstruksi sebuah agenda
setting yang oleh Mc Combs dan DL Shaw (1972) utarakan apabila media
memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu mempengaruhi khalayak
untuk menganggapnya penting, kendati khalayak bukan ‘kotak kosong’, dalam arti
khalayak dapat merespon sebuah agenda yang dibuat oleh media massa, namun pada
kenyataanya bahwa media mampu
mengkonstruksi lebih banyak khalayak untuk percaya pada berita yang disiarkan
media.
Kekuatan-kekuatan
konstruksi sosial media massa terhadap khalayak, sampai pada media mampu
menciptakan sebuah realitas sosial[1]
yang oleh banyak ahli dinamakan realitas maya, serta mampu menghidupkan
khalayak pada sebuah realitas yang dibangun berdasarkan kesadaran palsu (pseudo-reality). Jadi kekuatan
konstruksi sosial media massa mampu melumpuhkan daya kritis khalayak, kemudian
lebih banyak khalayak percaya bahwa media massa menjadi sumber otoritas. Jadi
persoalannya adalah ketika kemampuan media massa itu digunakan untuk
mengkonstruksi erotisme, maka sudah dapat dibayangkan bahwa kekuatan konstruksi
sosial media massa akan mampu membangun kesadaran palsu khalayak bahwa erotisme
adalah sebuah kebenaran. Padahal sebenarnya dibalik kesadaran palsu itu,
kemampuan media dengan berbagai kelebihan teknologi media dan bahkan trik-trik
kamera, telah menipu banyak masyarakat untuk mempercayai kebenaran erotisme
yangdisajikan tersebut.
Kendati demikian, memberi
penyadaran kepada masyarakat tentang bias media tersebut di atas, menjadi
pekerjaan yang tak mungkin dilakukan, karena lepas dari kebohongan-kebohongan itu,
khalayak telah percaya bahwa erotisme media mengandung lebih banyak kebenaran, artinya
ada objek-objek erotis tersebut yang mengandung kebenaran, sedangkan media
merupakan alat memoles erotisme itu menjadi lebih indah, memiliki taste dan
lebih berkesan. Karena itu layak jika erotisme media menjadi hiburan, penyalur
libido, pelampiasan kebiasaan buruk, sampai pada hal-hal yang baik, yaitu
pelepasan terhadap akses-akses buruk dari kekerasan seksual dimasyarakat. Maka
jadilah pornomedia sebagai wacana perdebatan yang sampai saat ini lebih banyak
belum banyak terjawab.
Sejalan dengan
perdebatan mengenai pornomedia saat ini, berkembang tiga anggapan dimasyarakat.
Pertama menilai tayangan pornomedia
tidak memberikan inspirasi pada penontonya untuk melakukan hubungan seks, namun
justru cenderung memperkuat keinginan didalam hati seseorang yang memang
berniat melakukan hubungan seks. Kedua,
beranggapan bahwa pornomedia itu hanya berfungsi sebagai khatarsis (penyalur
emosi), artinya bahwa apabila ada dorongan seksual dalam diri seseorang, begitu
melihat tayangan pornomedia (juga mendengar juga membaca) di televisi atau
film, maka akan tersalurkan keinginannya itu. Ketiga, beranggapan bahwa pornomedia di televisi dan film sama
sekali tidak berpengaruh buruk. Artinya, banyak kasus menunjukan bahwa pemirsa
tidak meniru atau terpengaruh begitu saja terhadap tayangan-tayangan porno
tersebut, akan tetapi peran lingkungan keluarga, latar belakang pendidikan dan
agama sangat mempengaruhi seseorang. Sedangkan pornomedia yang ditonton
ditelevisi, film, dan media lainnya itu, hanya mempengaruhi mereka yang memiliki
niat buruk dalam hatinya. Keempat, masyarakat
menilai pornomedia mengeksploitasi perempuan, eksploitasi seksualitas untuk
kepentingan kapitalis dengan mengorbankan moral masyarakat. Berdasarkan
anggapan pertama diatas, maka media massa baik elektronika maupun cetak sering
dituduh sebagai media yang efektif mendorong perubahan sikap seks di
masyarakat. Yaitu semula masyarakat taat pada norma-norma perkawinan, kemudian
secara bervariasi mulai meninggalkan norma tersebut.
[1]
Realitas sosial yang dimaksud oleh Peter L. Beger dan Thomas Luckman ini
terdiri dari realitas obyektif, realitas simbolik dan realitas subyektif.
Realitas obyektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia
objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai
kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif
dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subyektif adalah realitas yang
terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas obyektif dan simbolik ke
dalam individu melalui proses internalisasi (Subiakto, 1997: 93).
Jika konstruksi sosial
adalah konsep, kesadaran umum dan wacana publik, maka menurut Gramsci, negara
melalui alat pemaksa, seperti birokrasi, administrasi maupun militer ataupun melalui supermasi terhadap masyarakat
dengan mendominasi kepemimpinan moral dan intelektual secara kontekstual
(Sugiono, 1999: 31). Kondisi dominasi ini kemudian berkembang menjadi hagemoni
kesadaran individu pada setiap warga masyarakat. Sehingga wacana yang
diciptakan oleh negara akhirnya dapat diterima oleh masyarakat sebagai akibat
dari hagemoni itu. Sebagaimana dijelaskan oleh nugroho (1999: 124), bahwa
menurut Marcuse (1964), realitas penerimaan wacana yang diciptakan oleh negara
itu disebut ‘desublimasi represif’. Orang merasa puas dengan wacana yang
diciptakan oleh negara walaupun implikasi dan wacana itu menindas intelektual
dan kultural masyarakat.
daftar pustaka :
Bungin,
Burhan. 2003. Pornomedia, Konstruksi
Sosial Teknologi Telematika & Perayaan Seks di Media Massa. Jakarta:
Prenada Media.
No comments:
Post a Comment
budayakan komentar yang berbudaya