(Tulisan Nerfita Primadewi dalam Identitas dan Postkolonialitas di
Indonesia, oleh Budi Susanto tahun 2003, penerbit Yayasan Kanisius—Jakarta)
Sejarah :
(Re)Presentasi, Fantasi dan Agitasi
Keterpesonaan
umat manusia terhadap film dimulai sejak akhir abad 18 hingga awal abad 19.
Secara kasar, era perfilman dimulai dengan dipatenkannya motion-picture dan
projection device oleh Thomas Edison pada tahun 1891. Baru pada tahun
1896, film mulai dapat dilihat secara bersama-sama, sampai seorang magician Prancis
bernama Georges Melies mulai bereksperimen dengan identitas artistik sebagai
sebuah film. Dalam The Decay of Cinema, Susan Sontag menyinggung
pentingnya keberadaan Melies dan Lumiere bersaudara di awal era film sebagai
tontonan massa (1895) sebagai pelopor dua jenis sinema yang mucul yaitu sinema
sebagai presentasi realitas (Lumiere bersaudara) dan sinema sebagai
representasi realitas melalui fantasi, ilusi dan kecerdasan yang mampu
ditampilkan oleh teknik-teknik pengambilan gambar (Melies).
Kemampuan film untuk mempengaruhi secara massal ini disadari
juga oleh para politisi sehingga film secara gencar digunakan untuk sebagai
media propaganda. Seperti pendapat Lenin yang dikutip oleh D.J. Wenden dalam The
Birth of the Movies. “For us the cinema is the most important of all the arts”,
dalam masa pemerintahannya banyak film diproduksi sesuai tujuan revolusi.
Sedang untuk mencapai sasarannya, film-film ini diputar dengan mobil khusus
yang diikutkan dalam kereta agitprop (agitasi-propaganda).
Penggunaan film sebagai media propaganda juga terjadi selama
Perang Dunia ke-2. Di Jerman Hitler menciptakan film propaganda melawan bangsa
Yahudi dan komunis melalui film Judge Zues dan Kleine Hitler (?).
Di Amerika, selama perang Dunia ke-2, Walt Disney menciptakan cerita-cerita
kartun pendek yang berisi propaganda melawan Jepang. Jepang sendiri juga
menggunakan film sebagai media propaganda di negara-negara jajahannya, termasuk
Indonesia.
Keterpesonaan bangsa Indonesia terhadap “gambar idoep”
dimulai tidak jauh dari saat dimulainya era gambar bergerak di dunia. Tahun
1900, tepatnya 5 Desember 1900 penduduk Betawi sudah dapat menikmati “gambar
idoep” sebagai salah satu bentuk ethische politiek oleh Belanda.
Walaupun film yang diputar bersifat dokumenter kegiatan Ratu Belanda di Eropa
dan Afrika Selatan, namun ini merupakan tonggak mulai diperkenalkannya “gambar
idoep” di Indonesia yang ternyata tidak tertinggal jauh dari perkembangan film
di dunia.
Di tahun-tahun awal perkembangan film di Indonesia, film-film
masih diimport dari luar negeri seperti dari Amerika, Belanda (sebagian besar
dokumenter), Cina, bahkan Jerman dan Prancis. Namun dengan dikeluarkannya
Ordonansi baru di tahun 1926 membebankan pajak lebih berat dan mengancam
kehidupan bioskop, sementara penonton kelas bawah sudah terbiasa dengan
film-film seru yang menyajikan banyak adegan dengan latar kondisi itulah
koran-koran pada masa itu seperti De Preanger Post, Het Nieuwe Soerabajasche
Courant dan Het Soerabajasche Nieuwsblad memulai polemik tentang
perlunya dibangun industri film di Indonesia. Baru pada tahun 1926, N.V. Java
Film Company yang didirikan oleh L. Heuveldrop dan G. Krugers membuat film
cerita pertama berjudul Loetong Kasaroeng. Walaupun dibuat oleh orang
Belanda, film ini merupakan film cerita pertama yang mengangkat legenda rakyat
Indonesia.
Melihat minat penonton yang sangat besar, pemerintah kolonial
Belanda pun tidak ketinggalan memanfaatkannya. Film Kartinah yang
dibiayai oleh LBD = Lucht berscherming Dienst (Dinas Pencegah Bahaya
Udara) mendapat fasilitas sehingga mampu membuat film kolosal dan menggunakan
fasilitas promosi dengan memasang reklame di tempat-tempat yang sebetulnya
terlarang.
Pada saat yang hampir bersamaan, golongan intelektual
Indonesia juga mulai menyadari pentingnya pencitraan diri sebagai bangsa
sebagai bagian dari perjuangan nasional. Pada tahun 1941, Union Film berhasil
menarik Dr. A.K. Gani untuk bermain dalam Asmara Moerni. Usaha untuk
menggapai golongan “atas” ini juga dilakukan dengan menggunakan pemai-pemain
dari kalangan terpelajar dan bangsawan.
Kecenderungan ini dapat dijelaskan melalui pendapat Susan
Hayward dalam French National Cinema; star as a sign merupakan salah
satu dari 7 tipologi yang akan menunjukkan kenasionalan sebuah film (...will
assist in the enunciation of the 'national' of a cinema) melalui perwujudan
harapan penonton sehingga bintang film merupakan penghubung antara realitas dan
imaginasi. Namun tentu saja ekspektasi ini akan selalu mengalami perubahan
seiring dengan kondisi sosial, ekonomi dan tekanan politik.
Memasuki Perang Dunia ke-2, Jepang memberlakukan Eiga Ho (undang-undang
film) buatan tahun 1938 (diperbaiki tahun 1939) di Indonesia. Tujuan dari
undang-undang ini adalah menghindarkan film dari nilai-nilai individualis ala
Barat. Sehingga film-film yang menggambarkan kesenangan dan keindahan dilarang
diputar. Jepang juga mengijinkan pembuatan film di Indonesia selama mendukung
propaganda Jepang. Misalnya dalam Berjoeang (1943) produksi Nippon Eiga Sha, yang
distrudarai Rd. Arieffin. Anang, Saman dan Ahmad adalah tiga bersahabat.
Usmar menganggap karya pertamanya adalah Darah dan Doa
(Long March, 1950). Berdasar fragmen karangan Sitor Situmorang,
menceritakan pergolakan rakyat Indonesia menentang kembalinya kekuatan Belanda.
Film ini mempunyai nilai sejarah karena mencatat peristiwa-peristiwa penting
pemberontakan komunis di Madiun, pemberontakan DI, march Divisi Siliwangi ke
Jawa Barat dan penyerahan kedaulatan. Film ini kemudian ditetapkan sebagai
dimulainya film nasional yang pertama berdasar keputusan konferensi kerja Dewan
Film Indonesia, dan pada hari pertama shooting dilakukan dibakukan sebagai Hari
Film Indonesia (11 Oktober) selain nilai kesejarahan, film ini juga dianggap
mampu menangkap perkembangan watak manusia Indonesia dalam pergolakan di luar
dirinya dan revolusi secara mendalam (Mengupas Film, 59).
Dalam Resolusi atas laporan film dan laporan seni drama yang
disampaikan pada Kongres Nasional Pertama Lekra, disebutkan Lembaga Film
Indonesia berazaskan Film dan Seni drama untuk rakyat dan berusaha mengabdikan
diri untuk perjuangan dan perkembangan kebudayaan rakyat beberapa tugas,
mengembangkan drama yang hidup di kalangan rakyat; melawan segala bentuk film
dan drama yang tidak mewakili kepentingan rakyat dan menghambat usaha
pengembangan film untuk rakyat (Laporan Kongres Nasional Pertama Lekra, 79).
Beberapa film yang disebutkan mampu mewujudkan tugas ini antara lain: Si
Pintjang, Pulang, Tjorak Dunia, Kunanti di Yogya dan Turang (32).
Ketegangan gontok-gontokan antara Lekra dan lembaga yang dianggap antek
imperialis, kaum reaksioner, antirevolusi dan manikebuis ini diingat oleh Usmar
Ismail sebagai sejarah hitam perfilman Indonesia, namun sekali lagi peristiwa
ini membuktikan sejarah panjang film sebagai alat propaganda dan pembentuk
opini publik yang efektif.
Di era ini pula muncul tren baru perfilman yang mulai
mengeksploitasi sex sebagai unsur hiburan. Bernafas dalam Lumpur (1970)
dianggap sebagai film Indonesia pertama yang menonjolkan seks, perkosaan dan
dialog kasar (film ini kemudian dibuat ulang di tahun 1991). Film ini menjadi
trilogi dengan dibuatnya Noda Tak Berampun dan Kekasih Ibuku.
Bernafas dalam Lumpur juga mengantarkan Suzana mendapat julukan bomb sex,
suksesnya film sejenis ini kemudian diikuti dengan dibuatnya film bergenre
sama.
Film khusus untuk anak-anak mulai muncul diawali oleh film Ratapan
Anak Tiri (1973) yang sekaligus menciptakan trend film-film “ratapan”. Film
anak di tahun ini biasanya menggunakan penyanyi cilik yang sedang terkenal
sebagai bintang utamanya, misalnya saja Chica Koeswojo dalam Chica, Ira
Maya Sopha dalam Ira Maya dan Kakek Ateng, Putri Cinderella dan Nakalnya
Anak-Anak. Dan film Harmoniku dianggap sebagai film anak-anak
terbaik.
Film yang bertemakan kritik sosial bisa tertahan selama
beberapa tahun di BSF. Sebut saja Bung Kecil (1978), sementara Petualang-petualang
(1978; judul aslinya Koruptor) sempat tertahan selama 6 tahun.
Menarik untuk dicermati alasan BSF menahan peredaran sebuah film. Beberapa
kasus menarik seperti Tiada Jalan Lain (1972) sempat dilarang beredar
oleh Kejaksaan Agung RI karena dianggap terlalu menonjolkan kemewahan, menarik
jika diperbandingkan dengan film Catatan si Boy (1987) yang juga
menonjolkan (Catatan si Boy dibuat sequel hingga CaBo V dari tahun 1987-1990.
CaBo IV-V menggunakan Los Angeles sebagai lokasi syutingnya).
Khusus untuk film Pengkhianatan G30S/PKI, semua siswa
mulai dari tingkat SD diwajibkan untuk menonton. Film ini bisa dianggap sebagai
film propaganda yang sangat berhasil melalui teknik penggabungan dokumentasi
peristiwa, berita koran dan televisi dengan dokudrama, juga karena film ini
dipertontonkan pada anak usia dini (mulai SD) padahal di dalamnya juga terdapat
adegan penyiksaan jenderal-jenderal Angkatan Darat yang bukan tidak mungkin
akan menyisakan trauma kekerasan bagi anak-anak.
Bisnis Birahi
Era 1987-1989 adalah era film ‘kemewahan’ melalui kesuksesan
film Catatan si Boy. Catatan si Boy begitu menginspirasi kalangan muda dengan
gambaran pemuda kaya yang sholeh, setia kawan, jagoan, dan pintar. Identifikasi
diri pada tokoh Boy kemudian berlanjut pada idiom pemuda kaya serta
pergaulannya ala metropolitan. Sukses film ini kemudian diikuti oleh pembuatan
film dengan genre sama, dengan menambahkan tubuh-tubuh perempuan seksi. Seperti
layaknya sebuah industri, sesuatu yang mendatangkan keuntungan akan terus
dikembangkan. Tema-tema seksual seperti yang tercermin pada judulnya, serta
pengedepannan adegan pemancing birahi yang tadinya sekedar bumbu penarik,
berubah menjadi sentral suguhan dalam film nasional. Hal ini terus bertambah
parah seiring dengan lesunya perfilman nasional, berbagai alasan klasik
dikemukakan untuk melegitimasi munculnya film genre ini kepasaran. Salah satu
argumentasi yang biasa didengar adalah memang film seperti itulah yang digemari
masyarakat. Hal ini dibuktikan oleh selalu terjualnya tiket dibioskop-bioskop
kelas bawah jika memutar film jenis ini, bahkan kadang sampai terjadi
perpanjangan masa putar karena banyaknya minat penonton, yang kebanyakan
terdiri dari kaum muda, pelajar, maupun mahasiswa. Alasan lain adalah, dalam
kondisi industri perfiman yang hampir mati, film berbiaya produksi rendahlah
yang paling mungkin diproduksi, dan film bertemakan birahi ini tidak dapat
dipungkiri memang dapat diproduksi dengan biaya rendah dan dapat menjaring
pemasukan yang cukup menguntungkan.
Alasan yang lebih cenderung berdasar pemikiran bisnis itu
memunculkan tanda tanya besar, mengingat begitu ketatnya pemerintah Orde Baru
dalam mengontrol media publik, hampir tidak memungkinkan film birahi ini dapat
lolos ke pasaran. Hal ini dapat dilihat dari peraturan Lembaga Sensor Film yang
membatasi adegan-adegan yang dianggap dapat membangkitkan birahi seperti yang
tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 7/1994 tentang Lembaga Sensor Film, pasal
19 yang secara jelas menyebutkan kriteria film dan reklame film yang secara
tematis ditolak secara utuh, yaitu cerita dan penyajiannya menonjolkan
adegan-adegan seks lebih dari 50%. Sedangkan dari segi sosial dan budaya, pasal
yang smaa menjelaskan bagian yang perlu dipotong atau dihapus dalam suatu film
yaitu adegan seorang pria atau wanita dalam keadaan atau mengesankan telanjang
bulat, baik dilihat dari depan, samping, atau dari belakang; adegan, gerakan,
atau suara persenggamaan atau memberikan kesan persenggamaan, baik oleh manusia
maupun hewan, dalam sikap bagaimanapun, secara terang-terangan atau
terselubung.
Ditegaskan bahwa perfilman Indonesia dibina dan dikembangkan
sehingga terhindar dari ciri-ciri yang merendahkan nilai budaya, mengganggu
upaya pembentukan watak dan kepribadian, maupun menimbulkan gangguan terhadap
ketertiban dan rasa kesusilaan pada umumnya, dari sisi fungsi dijelaskan bahwa,
dalam film diakui mempunyai fungsi seperti pada pasal 5[1];
oleh karena itu, fungsi-fungsi tersebut dikembangkan secara seimbang. Dua hal
tersebit jelas-jelas tidak dipenuhi oleh film-film birahi tersebut.
Dengan dikelolanya film-film birahi tersebut tanpa
mengindahkan peraturan dan undang-undang yang berlaku, dalam kondisi masyarakat
yang sedang terpuruk karena krisis ekonomi (pada era orde baru), seolah
menyediakan film sebagai pelarian kesadaran dari realitas yang dihadapi sehari-hari.
Situasi yang berusaha diciptakan kemudian adalah membuat ‘kebingungan’ (baca:
‘jelas bahwa tidak jelas’) antara realitas dan imaginasi.
Realitas (Layar) Mimpi
Film,
bagaimanapun juga mempunyai hubungan dengan sebuah ‘perubahan’ yang ada pada
pola hidup masyarakat, karena film merupakan salah satu alat pencipta realitas.
Kenyataan bahwa realitas bukan merupakan hal yang natural, diungkapkan oleh
Mas’ud Zavarzadeh bahwa realitas dikonstruksikan oleh praktek politik, ekonomi,
ideologi masyarakat. Lebih jauh Zarvazadeh menjelaskan ideologi berperan dalam
membentuk realitas yang (seolah) menjadi satu kesatuan bagi masyarakat,
sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk mendapatkan gambaran yang sama
tentang sesuatu yang natural. Dicontohkan bahwa penggambaran perempuan yang
hangat, ramping, dan perhatian bukan merupakan sesuatu yang ada pada diri
perempuan, namun merupakan atribut politis untuk kepentingan mempertahankan
hubungan kekuasaan asimetris yang kemudian melahirkan eksploitasi gender antara
laki-laki dan perempuan dalam kapitalisme patriarki. Pendapat ini dikuatkan
oleh kutipan Laura Mulvey yang mengatakan sinema (patriarki) adalah alat
politik dimana (tubuh) perempuan ditaklukan dan diberhalakan bagi kenikmatan
pandangan laki-laki. Dalam The Pleasure of
the Text Roland Barthes menjelaskan pleasure
sebagai sesuatu yang kultural dalam pengertian bahwa pleasure menegaskan sesuatu yang diperoleh dalam praktek
keseharian. Jadi jelaslah bahwa film yang menampilkan adegan pembangkit birahi
dapat diterima oleh penonton sebagai sesuatu yang natural dan dapat dinikmati
berdasar pada pola pikir yang terbentuk dari hari ke hari. Hal ini juga
tercermin pada reaksi massa dari
waktu ke waktu terhadap suatu film, contohnya jika suatu film menuai banyak
protes untuk dihentikan, seiring berjalannya waktu dan makin banyaknya
film-film bernafas sama, protespun kian tak terdengar (contoh: film Ratu Pantai
Laut Selatan).
Munculnya pleasure dalam menikmati film birahi oleh Laura
Mulvey dijelaskan melalui teori psycoanalysis.
Sebagai media representasi yang lebih maju, film mencerminkan bagaimana alam
bawah sadar (dibentuk oleh golongan yang dominan) membentuk cara pandang dan
kenikmatan melihat. Mulvey mengatakan sifat dasar manusia mempunyai tendensi
menjadi veyeurist, yaitu memperoleh
kenikmatan dengan melihat sesuatu yang tabu. Pendapat ini dikuatkan melalui
kutipan argumen freud dalam Three Essays
on Sexuality yang memasukkan scopophilia
dan narcisism sebagai bagian dari voyeuristic activities yang diamatinya
dari perilaku masa kanak-kanak dalam memperhatikan hal-hal yang bersifat
pribadi dan terlarang (eksploitasi seksual masa kanak-kanak dengan
memperhatikan perbedaan alat genetal). Scopophilia,
adalah kenikmatan yang muncul dengan menjadikan orang lain (dengan cara melihat)
sebagai objek seksual. Sedangkan narcisism
meberikan kenikmatan melalui identifikasi diri terhadap image yang dilihat. Dua hal ini merupakan sesuatu yang
bertentangan, karena scopophilia (sexual instincts) menuntut pemisahan
antara identitas erotis subjek (penonton) dengan image dalam film untuk
memperoleh kenikmatan, sedangkan narcisism
(proses identifikasi) menuntut identifikasi ego dengan objek dalam film melalui
keterpesonaan penonton dan pengenalan terhadap sesuatu yang disukai untuk
memperoleh kenikmatan. Namun, film mempunyai kemampuan untuk memberikan dua hal
ini sekaligus melalui ‘dunia fantasi’ yang terbentuk oleh keadaan kontras
antara kegelapan gedung bioskop (yang juga memisahkan penonton dari lingkungan
sekitarnya) dan cahaya dari layar perak. Keadaan ini membuat penonton seakan
berada di alam mimpi yang memungkinkan menjadi aktor (proses identifikasi)
sekaligus penonton (scopophilia). Keadaan
‘terilusi’ ini memungkinkan orang melupakan realitas yang dihadapi dan akan
tersimpan di alam bawah sadar yang secara perlahan akan mengubah pola fikir dan
cara pandang.
Oleh karena itu, pada tahun 1980, sebuah lembaga perfiman
nasional mengeluarkan Blueprint for The
Indonesia yang memuat dasar ideal sebagai pegangan perfilman nasional dalam
kerangka pengembangan karakter nasional, khususnya melindungi generasi muda
dari dampak buruk pengaruh film, dimana perfilman Indonesia harus menjadi alat
bagi perjuangan nasional, meningkatkan nilai moral dan patriotisme, serta
sebagai saluran bagi kritik sosial yang sehat berdasar Pancasila. Dalam hal
teknis, termasuk tema dan cerita, film Indonesia dituntut untuk mencerminkan
‘Jiwa Indonesia’ yang memberikan gambaran jelas tentang kondisi lingkungan
sekitar dan menumbuhkan perilaku posistif dalam menghadapi kehidupan serta
dalam pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari sisi pendidikan, film
dituntut menjadi cultural educator, yang dapat diterima masyarakat
diseluruh wilayah nusantara tanpa memojokkan ataupun mementingkan salah satu
golongan. Disebutkan juga bahwa semua film dan media komunikasi audiovisual
yang ada di indonesia harus mengikuti dasar ideal tersebut.
Film mampu membuat sejenak melupakan kesulitan yang dihadapi
tanpa harus berfikir berat, namun juga disadari bahwa dalam waktu panjang akan
menimbulkan apatisme terhadap kehidupan sosial disekitarnya, dan bukan tidak
mungkin akan mengubah norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Karena itulah,
negara mempunyai Lembaga Sensor Film yang akan melindungi kepentingan negara
dan masyarakat. Namun bila terlalu banyak pesan pemerintah dalam setiap
pengambilan keputusan, lembaga ini akan berperan sebagai alat kontrol negara
terhadap alam bawah sadar rakyatnya melalui media hiburan.
Policy dan institusi-institusi pemerintah
juga merupakan faktor yang dijadikan pertimbangan dalam keputusan untuk
mengangkat sebuah fenomena masyarakat ke layar perak (art imilate life). Meskipun sebaliknya juga bahwa sebuah film dapat
dipandang sebagai sebuah upaya pembentukan pola pikir masyarakat, karena dapat
memberikan pengaruh pada pola kehidupan (dan identitas) masyarakat. Jadi, film
merupakan sebuah industri yang berhubungan dengan kepemilikan, kontrol
produksi, dan distribusi yang dipegang oleh kelas dominan, serta tentang teks
yang merefleksikan dan merepresentasi ideologi dominan.
Pengkajian Ulang Bisnis Birahi
Krisis
moral yang mengikuti krisis ekonomi mengakibatkan keinginan orang untuk lari dari
realitas yang dihadapi melalui berbagai cara, salah satunya melalui media
hiburan yaitu film. Film Indonesia yang diawal tahun 1990-an mengalami krisis,
baik dari kualitas maupun kuantitasnya menemukan pembenaran untuk terus
memproduksi film-film birahi, karena film-film ini selalu mampu menarik banyak
penonton. Disatu sisi, selain memberi keuntungan pihak produser dan pemilik gedung,
film ini juga mempengaruhi hasrat penonton yang ingin melepaskan diri sejenak
dari keadaan yang dihadapi. Hal ini sejalan dengan argumentasi Djoko Suryo yang
mengatakan dalam kondisi kritis, orang biasanya membutuhkan pelarian dengan
mencari hiburan yang gampang dinikmati tanpa berfikir terlalu berat. Seperti
disebutkan dalam Blueprint for The
Indonesian Film Development, kategori untuk jenis film ini adalah jenis
film yang menstimulasi penonton-nya selama pemutaran namun tidak memberikan ide
baru ataupun sesuatu untuk didiskusikan dan hanya mampu memuaskan ‘naluri dasar
manusia’ yang pada akhirnya akan menimbulkan kefrustasian dalam menghadapi
realitas.
Bagaimana jenis film seperti ini dapat lolos dari gunting
Lembaga Sensor Film, dijelaskan oleh Tatiek Malyati, Ketua Lembaga Sensor Film,
yang pada masa tersebut masih menjabat sebagai anggota, bahwa saat itu ada
instruksi bahwa semua film yang masuk harus diloloskan. Boleh dilakukan
pemotongan, namun tidak boleh menolak. Hal ini dilakukan untuk membantu
perfilman Indonesia agar tidak collapse.
Dari pernyataan ini, terlihat intervensi pemerintah terhadap lembaga independen
ini (pada pasal 10 ayat 2, PP No. 7/1994, disebutkan: Ketua dan Wakil Ketua
dipilih oleh seluruh anggota diantara anggota LSF yang tidak menduduki jabatan
dipemerintahan). Secara pribadi Tatiek Malyati tidak menyetujui praktek ini,
namun tidak banyak yang bisa dilakukan: “... dan waktu saya lihat judulnya kok.. saya nggak habis fikir, mendingan
itu dibakar saja. Kok dibantu..., mendingan uang yang di berikan bantuan untuk
mengkopi ini, mendingan buat bikin film yang bagus, kan?.... “. Hal semacam
ini lazim terjadi pada saat orde baru berkuasa, karena pemerintah campur tangan
dihampir semua lini kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga walaupun anggota
LSF adalah orang-orang yang mempunyai komitmen dan dedikasi tinggi dan diangkat
melalui keputusan presiden (pasal 9, PP No. 7/1994), namun tetap tidak dapat
menolak ‘himbauan’ dari pusat.
Film yang dianggap sebagai representasi realitas ternyata
juga mampu menjadi agen pembentuk realitas. Kesadaran ini menciptakan
peraturan-peraturan untuk ‘melindungi’ masyarakat dari pengaruh ‘buruk’ film,
namun kembali diperhatikan kuatnya otoritas kekuasaan diatas hukum melalui
bagaimana peraturan itu dijalankan. Budi Santoso SJ menyatakan bahwa rakyat
dibuatkan realitas dalam gedung bioskop, sehingga mereka dibingungkan dengan
apa yang disebut realitas. Disatu sisi mereka percaya bahwa film merupakan
representasi realitas, sementara banyak film yang hanya menampilkan mimpi
kemewahan dan kemesuman yang menurut norma yang dijaarkan bertentangan dengan
budaya bangsa. Namun disisi lain, film-film semacam ini sudah melewati sebuah
badan yang berfungsi melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang
timbul dalam peredaran, pertunjukan, dan/atau penayangan film yang tidak sesuai
norma, budaya, dan tujuan negara. Kondisi ini menciptakan kebingungan bagaimana
melihat realitas, sehingga, pendapat Budi Santoso, S.J. “...mereka dibuat untuk menjadi jelas terhadap
‘kebingungan’ yang dipertontonkan didalam gedung bioskop itu. Untuk merelatifir
masalahnya, dan tidak usah lagi mencari kebenaran lain yang mungkin ada diluar
batas-batas gedung bioskop” .
Dalam film, pemegang kekuasaan muncul melalui sosok penegak
hukum, laki-laki pelindung (tanpa latar belakang yang jelas), atau alim ulama
(dalam cerita horor) tanpa merasa perlu menunjukkan penyelesaian yang
sebenarnya. Kelucuan muncul melihat sepanjang cerita ditunjukkan melalui
pelanggaran-pelanggaran hukum dan hanya diselesaikan melalui keluarnya pemegang
otoritas yang biasanya tidak terlibat pada proses penyelesaian masalah, muncul
begitu saja pada saat atau menjelang berakhirnya film. Munculnya pemegang
otoritas hukum sebagai wujud penyelesaian masalah mengajarkan pada penontonya
untuk tidak berfantasi lebih lanjut akan akhir cerita. Pesan film, penjahat
pasti dan sudah memperoleh hukuman setimpal ditangan polisi; tanpa perlu peduli
lagi tentang pengetahuan umum yaitu betapa rapuhnya sistem hukum dibawah politik
uang dan kuatnya ‘penguasa’.
Tokoh perempuan dalam film-film sejenis ini selalu terperosok
ke ‘dunia hitam’ di kota besar (lihat bagaimana selalu terjadi pembedaan antara
kota besar yang bejat dan dengan desa yang aman dan tentram). Karena
ketidakharmonisan hubungan keluarga yang ditunjukkan melalui pemerkosaan oleh
ayah tiri, paman, atau sepupu, atau perceraian (disebabkan oleh ketidakmampuan
ayah dalam menafkahi keluarga, diikuti dengan usaha ibu ‘menafkahi’ keluarga
yang menyulut konflik).
Patronisasi ini sejalan dengan idealisasi Orde baru tentang
keluarga sebagai tulang punggung bangsa namun meletakkan pentingnya peran
perempuan secara domestik sebagai tiang keutuhan keluarga. Dari sana tampak
ideologi patriarki yang meletakkan perempuan sebagai subordinat laki-laki dan
baru lengkap (menemukan kebahagiaan) setelah berada dalam lindungan laki-laki,
dianggap sebagai hal yang ideal sehingga dapat memuaskan keinginan penonton.
Minat penonton untuk melihat adegan syuur ini terlihat oleh pola yang sangat jelas, dimana sebagian
penonton akan melihat film yang sama lebih dari satu kali. Namun, begitu adegan
hot (panas) yang diinginkan selesai
muncul, mereka akan segera keluar dari gedung. Jika gedung bioskop dipaksakan
untuk memutarkan film ‘bermutu’, penonton yang datang akan sangat minim. Pada
masa itu penonton mempunyai kuasa untuk menyetir apa yang harus diputar
digedung bioskop padahal yang terjadi adalah tidak adanya alternatif tontonan
lain dengan harga murah yang mampu memberikan sensasi. Kepuasan melihat sesuatu
yang tabu, merupakan bentuk voyeurism
yang diterjemahkan dengan baik oleh media film yang memungkinkan penontonya
melihat sesuatu yang ‘tersembunyi’. ‘Pengabdian’ bioskop terhadap minat
penonton juga tampak dari bisa disesuaikannya jam main film dengan banyaknya
penonton. Jam main yang seharusnya sudah jelas dan pasti kadang bisa berubah
sesuai dengan sepi-ramainya penonton (juga terjadi pada kondisi saat ini,
dengan konteks yang berbeda).
Epilog
‘Ending’ selalu dianggap sebagai konklusi
atau pencerminan maksud pembuatan sebuah karya. Bagaimana sebuah karya
diakhiri, diharapkan dapat memuaskan penikmatnya. Senuah kenyataan lain, bahwa
ternyata ending dapat juga digunakan
untuk berkelit dari hukum dan peraturan. Film-film yang mengekspose fantasi
birahi selalu menggunkan ending
‘kembali ke jalan yang benar’ sebagai representasi kemanangan, kebaikan,
kebenaran, atas kejahatan. Penyelesaian tempelan ini dianggap dapat
mengeliminir semua ketidak senonohan yang ditampilkan dalam pemutaran film dengan
tema tersebut, karena pada akhirnya tetap menampilkan kebenaran dan ketertiban
sesuai norma yang dianut masyarakat. Keterpesonaan tersebut bukan tidak mungkin
sengaja diciptakan oleh kekuasaan melalui intervensinya dengan kedok
penyelamatan perfilman nasional yang ternyata juga tidak mampu menyelamatkan
perfilman nasional dari keambrukan.
jual viagra
ReplyDeleteviagra asli
obat kuat viagra
viagra jakarta
obat kuat jakarta
pil biru
toko viagra
viagra usa
viagra original
obat viagra
obat kuat viagra
viagra asli
toko viagra
viagra
viagra asli
jual viagra
jual obat kuat viagra asli