Oleh : Maria
Hartiningsih
(Wartawan KOMPAS)
(tulisan ini saya dapatkan pada saat mbak Maria menjadi dosen tamu mata kuliah Seminar Media dan Minoritas, Magister Ilmu Komunikasi-Universitas Indonesia, April 2012)
Teknologi komunikasi membuat kehidupan manusia kian terbuka. Batas-batas
negara kian kabur. Dunia menjadi seperti global village. Berbagai
perjanjian internasional yang dibuat mengacu
pada kebebasan untuk menguasai sumberdaya atas dasar kecepatan dan
kekuatan. Demokrasi diterjemahkan sebagai menguatnya keberdayaan individu-individu yang berkumpul dalam massa
yang disebut “pasar”. Kekuasaan negara melemah. Nasionalisme berubah konsepnya
karena penjajahan riil sudah berakhir, namun muncul penjajahan baru selalu
berubah-ubah wujudnya. Konsep “negara-bangsa” pun dipertanyakan.
Kebudayaan global dengan leluasa memasuki kehidupan yang paling pribadi
dari warga masyarakat, menguasainya, membangun dan membentuk mindset seragam
mengenai segala hal yang menjadi tolok ukur “kemajuan” dan kesuksesan”. Rasionalisme dipuja sebagai dewa
yang paling berkuasa, meski pun kemajuan teknologi yang dipuji-puji itu telah menjadi berhala, karena juga
menghasilkan senjata pemusnah massal yang membunuh, menghancurkan dan menyebabkan
kesengsaraan jutaan manusia.
Fenomena divergen-disintegratif di
Indonesia berjalan seiring dengan semua itu, dipicu oleh proses desentralisasi dan otonomi daerah yang
dikukuhkan melalui UU No 22 tahun 1999
mengenai Pemerintahan Daerah dan UU No 15/1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah.
Namun fenomena itu tidak muncul tiba-tiba. Keserakahan Pusat mengeruk
sumberdaya daerah selama puluhan tahun pada banyak kasus, telah memunculkan
kesenjangan yang tajam dan rasa ketidakadilan yang terpendam di antara warga
masyarakat. Ini menjadi proses
pembusukan yang dimulai sejak lama. Indonesia yang seperti mozaik, dikelola
oleh Orde Baru dengan pendekatan asimilasionis. Pendekatan yang sebenarnya
bertentangan dengan the right to culture dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia ini menganggap etnis minoritas akan membaur
sepenuhnya ke dalam masyarakat mayoritas
(dan negara) dengan melakukan tindakan “perubahan individu” yang seringkali
berupa pengorbanan individu untuk tidak
lagi menjalankan kebiasaan, kepercayaan dan berbagai aktivitas sosio-kultural
yang menjadi bagian penting dari identitas etniknya. Dengan cara itu diasumsikan
elemen perbedaan bisa diminimalkan dan konflik bisa dihindari.
Namun karpet tebal atas nama “persatuan” dan “kesatuan” yang dikawal oleh
serdadu untuk membungkus potensi benturan atas dasar ras, agama, budaya, dan
golongan (SARA) -- yang masalah dasarnya adalah ketidakadilan dan perebutan
sumberdaya -- terbongkar setelah Orde Baru runtuh, menyusul kerusuhan Mei tahun 1998, yang
menewaskan lebih dari 1.000 orang di Jakarta. Tragedi ini menimbulkan trauma
yang tak tersembuhkan, dan untuk
beberapa waktu ribuan warga keturunan Tionghoa berduyun-duyun meninggalkan
Jakarta.
Peristiwa itu disusul dengan berbagai konflik. Kasus Poso, Kupang, Mataram,
Sampit, Mamasa, Ambon, “Sang Timur”, kasus Ahmadiyah dan sebagainya, sebenarnya
merupakan pantulan dari cermin politik yang lebih tinggi, misalnya,
instrumentasi politik melalui etnisitas, agama, aliran agama, dan asal daerah.
Sampai tahun 2011, menurut laporan Setara dan berbagai lembaga lain, Pemerintah tetap bersikap status quo dengan
menahan diri tidak memasuki arena pelik soal kebebasan beragama dan atau
berkeyakinan.
Tiga tahun terakhir sampai tahun 2009, tercatat 342 kali serangan terhadap
komunitas Ahmadiyah.(Komnas Perempuan). Sedangkan Laporan Setara Institute memperlihatkan,
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama tiga tahun sampai tahun
2009, paling banyak menimpa komunitas Ahmadiyah. Laporan Setara Insitute 2010
mencatat 216 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang
mengandung 286 bentuk tindakan, menyebar di 20 provinsi pada tahun 2010, dengan
pelanggaran terbanyak menimpa kelompok Kristen.
Meski di tingkat nasional belum ada keputusan tegas tentang keberadaan
Ahmadiyah, namun beberapa peraturan daerah sudah mendahului, seperti Peraturan
Bupati Pandeglang yang melarang keberadaan kelompok Ahmadiyah di wilayahnya
mulai tanggal 21 Februari 2011. Kebijakan diskriminatif yang jumlahnya 189 akhir tahun
2010 menggunakan klaim mayoritas dalam proses berdemokrasi sebagai pembenaran
atas pembedaan, pembatasan dan pengabaian hak-hak konstitusional warganegara.
Tujuh peraturan diskriminatif itu terbit di tingkat nasional, sedangkan 80 dari
189 kebijakan yang mengatasnamakan agama dan moralitas itu menyasar langsung
pada perempuan. Kebijakan diskriminatif itu meningkat menjadi 207 pada tahun
2011, di antaranya, 23 kebijakan mengatur cara berpakaian, pengurangan hak atas
perlindungan dan kepastian hukum karena mengkriminalkan perempuan, dengan
55 kebijakan tentang prostitusi, pornografi, dan pertemuan dua individu
lelaki dan perempuan yang tidak terikat dalam pernikahan (khalwat). Sebagian
dari 55 kebijakan itu juga memuat bentuk penghukuman badan yang tidak
manusiawi, dan empat kebijakan tentang
buruh migran yang berakibat pada pengabaian hak atas perlindungan. Begitu
menurut Komnas Perempuan.
Menurut Elga dari Interfidei, yang terjadi saat ini lebih dalam dari
kedangkalan beragama, juga tak hanya soal kebebasan beragama atau relasi antar
agama. Kekerasan yang sangat terbuka
dengan tingkat kemanusiaan yang sangat tipis beberapa tahun terakhir ini
amat berbahaya karena sudah mengancam
keberadaan negara-bangsa. Elga melihat pemimpin negara tak melakukan langkah
tegas ketika berhadapan dengan kelompok yang melakukan ancaman itu. Sebaliknya,
oknum yang berada di lingkaran pimpinan tertinggi negara malah mengancam media
yang kritis pada ancaman terhadap negara-bangsa.
Semua ini seperti
sejalan dengan apa yang dikatakan Samuel
Huntington dalam Clash of Civilization (1993), bahwa proses
kontemporer modernisasi dan globalisasi
secara aktif menyumbang pada berkembangnya masalah-masalah etnisitas dikaitkan
dengan kemunculan kembali persoalan komunitarian secara signifikan. Ancaman
riil kehidupan bangsa yang pluralistik
sejak bangsa ini terbentuk, sungguh merisaukan. Toleransi, inklusivisme dan
penolakan terhadap berbagai jenis fundamentalisme dapat dipupuk kalau ada pengakuan
terhadap multikulturalisme, yang ia yakini sebagai pendukung pluralisme, yaitu keberadaan budaya
yang sama tinggi dan sama bernilai di dalam suatu masyarakat yang pluralis.
Inilah yang dikatakannya sebagai proses demokratisasi
yang sempurna karena meliputi bukan hanya hak-hak politik dan hak individu,
tetapi juga hak-hak budaya dari suatu kelompok masyarakat. Multikulturalisme
berkembang sebagai proses pembelajaran yang menaruh perhatian pada pentingnya
keragaman sumber-sumber serta kantung-kantung budaya yang menjadi oasis penghayatan hidup dan acuan makna
penganutnya.
Namun ada bahaya dalam multikulturalisme yang tak banyak disinggung. Yakni
partikularisme atau relativisme budaya, khususnya terhadap perempuan, berupa
praktik-praktik yang menindas dan menyengsarakan yang masih banyak dipraktikkan
di berbagai kebudayaan di dunia. Seperti sati
(pembakaran janda, di India), mutilasi
alat kelamin perempuan (FGM), pengecilan kaki, kawin usia anak, dan lain-lain.
Banyak ahli mengatakan, dampak negatif dari multikulturalisme dapat
diperkecil kalau kita dapat mentransformasikan masyarakat menjadi knowledge-based
society. Premis ini sebenarnya bisa dipertanyakan, karena di negara yang
masyarakatnya dianggap paling maju, dan multikultur sekali pun, dampak negatif multikulturalisme
tidak sepenuhnya bisa dikikis. Pandangan masyarakat AS terhadap ras dan agama
yang lain, yang tampaknya demokratis, ternyata rapuh setelah peristiwa 11
September tahun 2001. Perseteruan Inggris dan Irlandia yang didasari
prasangka-prasangka agama , merupakan contoh yang lain. Polaritas
dan kerumitan hubungan-hubungan di dalam masyarakat semakin menajam setelah
Tragedi 11 September 2001 di New York, AS. Toleransi menjadi konsep yang
bersyarat. Lalu muncul konsep
semacam toleransi (untuk) tidak toleran, dan pluralisme terbatas. Di Eropa
terjadi di dalam urusan kaum imigran. Ini menyalahi proposal John Rawls
mengenai demokrasi, yang berangkat dari sensitivitas sosial untuk melindungi
mereka yang marjinal.
Meski pendidikan diyakini sebagai solusi yang dipandang baik untuk
memecahkan berbagai persoalan menyangkut pluralitas suatu bangsa, diskusi
tentang multikulturalisme adalah diskusi
yang panjang, yang mungkin tak pernah akan berakhir. Sejarah juga memperlihatkan persaingan yang luar biasa ketat antara
pandangan yang multikulturalis dengan pandangan yang uniformis pada suatu
bangsa. Banyak ahli
mengingatkan, pengertian multikulturalisme pun bukan merupakan sesuatu yang
“sudah jadi”.
Pengertian itu terus bergerak di antara yang
paradoks-paradoks. Yang mencari definisinya, bisa tersesat di rimba
paradoks. Multikulturalisme merupakan
konsep besar yang masih mencari bentuknya karena “kebelum-jadiannya”.Salah satu
fungsi pers adalah menjadi agen
pembaruan atau perubahan. Pers mendidik masyarakat agar memiliki pengetahuan
tentang bangsa ini. Sayangnya tak banyak orang tidak memahami atau
menyalahgunakan fungsi pers tersebut. Jurnalisme multikultural diharapkan
menjadi salah satu referensi bagaimana
seorang jurnalis mentransformasikan fakta dan realitas sebagai realitas media.
Bahwa media dan jurnalis mempunyai kebebasan berekspresi adalah hal yang tidak
bisa dibantah, apalagi setelah sekian lama diberangus oleh Negara dan
agen-agennya melalui penyuluhan, pendidikan dan sensor.
Akan tetapi,
apakah media massa sudah cukup dengan seperangkat pengetahuan dan
pengalaman selama puluhan tahun ditindas? Kita, agaknya harus berpikir ulang untuk memastikan bahwa
“jurnalisme titik” sudah cukup. Menghadapi situasi komunitas suku,
bentuk-bentuk jurnalisme konvensional hanya dengan matra 5W+1H saja tidak lagi
memadai. Di dalam situasi di mana konflik dan kekerasan berlatar belakang
etnis, agama, antar golongan, jurnalisme tidak bisa lagi digunakan secara naif.
Jurnalisme damai dan jurnalisme multikultural memberikan alternatif bagaimana
jurnalis bekerja di dalam situasi yang penuh risiko tidak hanya terhadap
dirinya, tetapi terutama adalah pengaruhnya terhadap masyarakat luas.
Mengapa begitu? Karena ia harus mempertimbangkan dampak
dari tulisan-tulisannya terhadap masyarakat luas. Berbeda dengan jurnalis asing
yang memahami fakta konflik di negeri kita seperti melihat peristiwa di dalam
kotak kaca, kita sebagai jurnalis, yang juga warganegara Indonesia, berada di
dalam kotak kaca itu.
Banyak orang bersikukuh pada teori bahwa
jurnalisme bekerja atas mazhab obyektivitas. Pertanyaannya adalah
obyektif seperti apa?
Sebagai jurnalis, kita adalah manusia dengan hati nurani. Kita tidak hidup
di luar masyarakat manusia. Kita, masing-masing adalah manusia dengan beragam
pengalaman dan pengalaman itu otentik. Pengalaman itu membentuk mindset kita
sebagai manusia mengenai berbagai hal dan kemudian mempengaruhi cara kita
memandang persoalan dan fakta. Kemana kaki kita melangkah, mencari narasumber
dalam kerja jurnalistik, tetaplah dipengaruhi oleh cara pandang kita.
Cara pandang itu tidak statis, karena dipengaruhi oleh banyak hal, oleh
pengetahuan yang tidak hanya terbatas pada buku, dan juga
perjumpaan-perjumpaan. Bagi saya, pengetahuan itu seluas dan sedalam samudera
raya, dan kita dihadapkan pada pilihan-pilihan juga, yang bagaimana pun, sangat tergantung pada mindset kita tentang
persoalan-persoalan itu. Dari sini dapat
dilihat dialektika antara subyektivitas dan obyektivitas, bukan pemisahan
antara keduanya.[1]
Ada perbedaan yang mendasar antara jurnalisme
konvensional. Jurnalisme yang digunakan untuk memperjuangkan hak-hak komunitas
suku, membutuhkan “perjalanan” lebih panjang. Membaca buku Sokola Rimba,
misalnya, sangat jelas terlihat bahwa jurnalisme tak bisa lain, selain harus
mengambil posisi. Obyektivitas harus dibaca dalam konteks ini.
Namun pertama-tama, jurnalis harus tahu betul apa yang
dimaksudkan dengan pendidikan. Mereka harus punya cara pandang yang kritis
terhadap segala mazhab arus utama. Pendidikan tak bisa dilihat sebagai
pendidikan formal di ruang kelas. Seperti dilakukan Butet, seberapa pun, sudah
memberikan gambaran bagaimana pendidikan digunakan untuk membuat orang rimba tidak
diperdayakan oleh orang luar. Jurnalis harus membaca fakta tentang bagaimana
para tauke itu menipu orang rimba. Di sini persoalannya bukan hanya soal tipu-menipu, tetapi modernitas
menjadi kata kuncinya. Apakah menjadi orang modern cirinya adalah dapat menipu
dan menghasut yang lain?
Pers hanya dapat menjadi agen perjuangan hak komunitas
suku kalau para pelakunya memahami luasnya wilayah Indonesia dan beragamnya
kondisi sosial serta kebudayaannya. Pemahaman bahwa Indonesia bukan hanya
Jakarta amat sangat penting, terutama adalah pemahaman bahwa ada kelompok
masyarakat yang ibaratnya sudah ke bulan dan ada kelompok yang masih seperti
hidup di zaman batu. Tetapi yang sangat penting untuk dipahami adalah bahwa
kelompok yang sudah ke bulan itu tak bisa menindas mereka yang masih hidup di
zaman yang lain. Cara pandang mereka tak boleh dipaksakan, terutama cara
pandang tentang “keberadaban”. Di sini kita juga bisa bersikap kritis terhadap
hak warganegara dan seluruh cara-cara yang positivistik untuk membuktikan kewarganegaraan,
seperti kartu identitas.
Setiap orang memiliki bajunya sendiri. Kita tak boleh
memaksakannya. Saya sangat menghargai pendekatan Butet dan keberaniannya
melawan arus, sekali pun arus itu menjadi acuan lembaga tempatnya bekerja.
Memang banyak hal harus dipertanyakan, seperti mazhab konservasi. Namun, yang
membuat saya sedih sekali gus marah adalah bagaimana pendekatan jurnalis
terhadap segala sesuatu yang terkait dengan orang rimba. Catatan Butet
memperlihatkan bagaimana jurnalis menganggap orang rimba sebagai ‘obyek’, dan
kebudayaannya dipandang sebagai sesuatu yang “seksi” untuk dipaparkan; bukan
sebagai sesuatu yang harus dihargai dan penghargaan itu diperlihatkan dengan
bagaimana cara pendekatan.
Mari kita pertanyaan yang diajukan oleh jurnalis kepada
orang rimba. Pertanyaan, “umur kamu berapa”, “orangtua kamu kerja apa”,
“cita-cita kamu apa”, “kelas berapa”, “sampai kapan mau tinggal di rimba”,
“tidak kepingin tinggal di kota” dan… ini yang membuat saya sangat sedih,
“masuk Islam atau Kristen?”
Pertanyaan seperti ini memperlihatkan tak hanya
ketidaktahuan jurnalis tentang apa yang sedang ia liput, tetapi juga
ideologi-ideologi modernitas yang sudah terpatok di dalam mindsetnya, yang
menganggap bahwa kota lebih baik, sekolah harus mengikuti aturan formal,
bekerja adalah sebuah pekerjaan yang pasti, dan… agama hanyalah agama yang ada
di dalam lima agama yang diakui Negara. Alangkah menyedihkan!.
Maka, pernyataan apakah pers dapat menjadi agen perubahan
dan agen untuk memperjuangkan hak-hak komunitas suku tak dapat dijawab sekadar
dengan “ya” atau “tidak”, karena pers dihidupi oleh para pelakunya. Maka, pertanyaannya kemudian adalah apakah para pelaku
ini memiliki pemahaman yang bnenar mengenai banyak hal. Di antaranya adalah
peran negara dan hak warganegara.
Lalu bagaimana jurnalisme menjawab situasi yang berkembang
di dunia kontemporer ini? Kekerasan
berbasis keyakinan komunal, politik identitas, toleransi bersyarat, masalah
tanggungjawab bersama yang melintasi sekat-sekat primordial, keberwargaan
(citizenship) global, dan kosmopolitanisme adalah persoalan yang perlu
direnungkan. Ada dua hal penting yang harus mendapat perhatian. Pertama, bagaimana
jurnalisme merayakan lokalitas, artinya mengangkat lokalitas nilai-nilai
adiluhung yang perlu dikembangkan pada iklim modernitas. Kedua, jurnalisme yang
mempertanyakan lokalitas. Sekitar 2500 tahun lalu Socrates mempertanyakan adat
karena tidak memberikan ruang bagi kebebasan berpikir yang menghasilkan
pemikiran-pemikiran untuk suatu perubahan.
Dalam beberapa dekade ini
jurnalisme bergeser dari pemujaan terhadap singularitas kepada kemungkinan
pluralitas dan fragmentaris. Dalam pergeseran ini ada dua hal yang penting
dicermati. Pertama, persoalan individuasi dalam kubus-kubus kebudayaan kita.
Kedua, persoalan identitas, apakah identitas dilihat sebagai sesuatu yang ketat
atau longgar; memberi atau menutup kemungkinan dan menjadi esensialistik.
Komunikasi yang macet dapat didobrak kalau ditemukan embrio individualitas di
dalam rahim kebudayaan kita. Artinya, lokalitas harus didefinisikan ulang.
Diskusi menjadi menarik karena
persis berada di dalam tarikan ketegangan itu. Jurnalisme seharusnya tidak
diarahkan untuk proyek romantisasi “keaslian” suatu budaya karena cara itu
pasti menuju pada jebakan etnosentrisme.
Wartawan harus menggali apa yang bisa dijadikan semacam resep baru dalam
upaya mempertahankan keberwargaan yang demokratis (democratic citizenship). Di dalam democratic citizenship, tak ada
soal mayoritas-minoritas-marjinal, karena
hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya warganegara
dilindungi secara sama utuhnya satu dengan yang lain. Pendekatan ini adalah
tawaran karena doktrin komprehensif agama mau pun etika tak mampu meredam
kekerasan atas nama politik identitas yang terus menerus terjadi. Bagi saya, pemihakan kepada kelompok
minoritas bukan untuk menonjol-nonjolkan
perbedaan, tetapi pengakuan bahwa mereka adalah warganegara, tanpa harus
terjebak pada politik identitas. Saya memiliki pemahaman bahwa kebudayaan tidak
statis. Apa yang saya lakukan dengan jurnalisme harus memberikan sumbangan
kepada keberwargaan yang demokratis, bukan memperjuangkan identitas sebagai
sesuatu yang pasti.
*) Maria Hartiningsih, wartawan
Kompas
Catatan: Demokratic citizenship
adalah pemikiran Rocky Gerung yang menjadi inspirasi tulisan ini. Namun tulisan
ini belum mengandung refleksi lebih dalam, bahwa urusan minoritas bukan urusan
jumlah, melainkan kebersuaraan dan ‘keber-ruangan’ di ranah publik. Oleh sebab
itu, isu minoritas sebenarnya lebih terkait isu dan korban. Dalam konteks ini
saya meminjam teori ‘subaltern’ dari teoris post-kolonial, Gayatri Spivak.
[1] Dengan diktum “the personal is political”
saya menolak pendekatan dua kutub yang berseberangan. Bagi feminisme, yang harus dilihat adalah dialektika antara
dua kutub, begitu pula dengan obyektivitas dan subyektivitas. Lihat Catharine
MacKinnon, Feminism and of the State,
1984.