Sunday, July 12, 2015

Ekstansi Kontemplasi Apalah - Apalah

Membuka buku. Membalik kemudian ke halaman yang sebelumnya (secara serampangan) sudah terbaca. Ganjil.

Menyeduh teh. Membuka buku. Membalik kemudian ke halaman yang.. yang sebelumnya (secara serampangan dan tanpa niat) sudah terbaca. Kali ini secara lebih fokus. Nihil.

Menutup buku.

Nggak ada yang salah sama bukunya. Penulisnya. Penerbitnya. Isinya. Jenis hurufnya. Spasinya. Nggak ada masalah. Dua minggu kebelakang, beberapa bacaan fiksi sudah saya telan. 2 seri Sherlock Holmes (The Return Of Sherlock Holmes & The Adventure Of Sherlock Holmes) dan satu novel njelimet kepunyaan mas Eka Kurniawan (Cantik Itu Luka) yang cakep luar biasa pun, sudah. The Hound Of The Baskervilles yang lebih light ini ya kok, nggak beres-beres mbacanya. Kekeh di halaman 103.

Tarik selimut. Sok merem-merem cantik. Gagal.

Apa iya karena belom makan, ya. Biasanya kalau laper kan suka susah bobok. Tapi, kayaknya, se-sore tadi mamam-mamam wajib sambil ngemil-ngemil sunah udah kelakon.

Membuka Laptop. Mulai me-recall cerita..

Dua hari lalu, akhirnya saya mengijabah keinginan sendiri untuk kontemplasi. Kecewa dan suntuk jadi satu dengan porsi seimbang. Berpergian sendirian, (seharusnya) tanpa arah, dan (seharusnya pula) tanpa ada yang ngeh kita kemana.

Setiap orang punya cara sendiri yang sifatnya naluriah untuk membuat dirinya bahagia, ehm, minimal meminimalkan sedih. Ada yang memilih untuk belanja, curhat, mempercantik diri, makan, beribadah, kumpul-kumpul sama geng, olahraga, melancong, main wahana ekstrim sambil teriak-teriak girang (padahal di dalem hati mah berduka), menyelam, naik gunung, berkebun, main tanah, semua. Semua daya upaya bisa manusia lakukan.

Kemarinan itu, saya memilih untuk melipir sedikit ke Bogor, sendirian, untuk pertama kali. Bukan ke Bogor nya yang kali pertama, tapi, sendirian-nya. Beberapa sahabat, lingkungan afiliasi, bahkan orang tua pun nggak tau saya kemana (yang ini jangan di contoh ya, adek-adek. hihihi). Cerita awalnya sih sok-sok-an ngambek sama dunia beserta isinya selain berharap memperoleh ketenangan.

Sampai selepas subuhan : oke, abis ini mandi, berpakaian, lipgloss-an, berangkat. Kebun-Raya-Bogor, iya, kesitu.

Begitu sampai Bogor, saya menyempatkan diri untuk menilik Gramedia, memilah-milih buku untuk dibawa serta ke Kebun Raya, curiga mati gaya. Membeli cemilan serta kue-kue lucu setelah sebelumnya dua scoop eskrim cokelat habis duluan. Yah maklumi saja kalau perempuan mulai beringas makan : PMS atau Kecewa, hanya dua pilihan.




Hal yang aneh adalah ketika melakukan semua-semuanya hanya untuk diri-sendiri. Mempertanggung-jawabkan keselamatan diri sendiri. Menjawab semua (teguran, sapaan, tatapan, senyuman, modusan) dengan jawaban : iyah, sendirian.




Kenapa harus tetep “ramah” kalau pergi sendirian? Balik ke hukum aksi-reaksi sih, sebenernya. Kita sadar, kita berjalan sendirian, bukan di wilayah yang awam buat kita (meski hanya sejauh Bogor), kalau ada stimulus (yang berupa teguran, sapaan, tatapan, senyuman, modusan tadi), kita jangan merespon secara negatif dulu. Balas saja teguran tersebut dengan ramah, jujur saat itu kita memang sendirian (dan sedikit berbohong : tapi nanti mau dijemput kok, atau, ia tuh ada kakak lagi event disana) se-natural-mungkin. Pokoknya jangan biarin mas-mas (untuk perempuan yang pergi sendirian) yang mencoba mengajak ngobrol atau chit-chat basa-basi tau terlalu banyak tentang kita, apalagi, dia tau kita beneran sendiri. JANGAN SAMPAI!

Hukum aksi-reaksi : mereka menegur, kita-nya ramah, minimal orang tadi jadi lebih sopan. Inget ya, r-a-m-a-h bukan c-e-n-t-i-l apalagi n-g-a-r-e-p d-i-g-o-d-a-i-n. Nah, kalau kita udah jutek duluan, sok cantik duluan, kemungkinannya : mereka eneg (alhamdullilah) atau mereka makin beringas. Kecuali memang berhadapan dengan orang yang akan kurang ajar. Perempuan punya insting naluriah kok untuk tau mana yang mau kurang ajar atau sekedar modus-modus durjana belaka.

Rencananya sih mau mencari sunyi, duduk santai ditepian kolam dengan air mancur mini, nggak kepo-in gadget, khusuk membaca, dan minimal, minimal banget nih, ngelupain hal-hal yang bikin sedih sepanjangan malem sebelumnya.







Kenyataan nya :
Ada rombongan studi tur yang mempergunakan toa hanya untuk nyanyi-nyanyi (yang setelah saya googling) lagu Terong di Cabein. ABG-ABG berhijab yang seliweran sembari gandengan tangan dengan si-pasangan, petugas kontrol bermotor yang wira-wiri kemudian berhenti HANYA untuk bertanya : mbak sendirian ? mau ditemani ? meski itu nggak masuk di SOP mereka, mas-mas s-k-s-d yang kekeh nemenin karena kasian ngeliat saya sendirian disangka mau nyemplung ke kolam ikan, dan 2 karyawan LIPI dalam rangka DL kemudian meminta izin untuk duduk di satu bangku taman yang sama dengan saya, dengan ending : ngobrol mengenai kehidupan!

Dua jam sebelumnya, begitu tiba di Kebun Raya, saya merasa : ya-ampun-macam-apa-banget-kesini-sendirian. Sempet suudzon : nanti kalau ditatap nista sama orang-orang lain gimana, ya?. Sempet mikir : Demi Mesut Ozil, apa iya gue kudu pulang ya? ha-ha. Tapi yaudalah, mau gimana, cari bangku, madep kolam air mancur, duduk. Selesai semua perkara. 

Dari kejauhan, saya menjumpai mas-mas yang sebelas-duabelas sama saya. Sendirian. Sama-sama megang buku, sama-sama madep kolam, sama-sama ngemil. Bedanya, kalau dia capek, dia rebahan. Nah saya? Kalau rebahan disangka pingsan keracunan yang ada. Tapi hasrat buat bobo memang ngga bisa dipungkiri, secara adem, rindang, dan sempet berangin serta berkabut. Sempurna banget yah buat sekedar boci, bobok-bobok ciang.











Rombongan tembang terong-terongan tadi, beranjak pulang. Alhamdullilah. Makin sepi, meski setelahnya (seperti yang sudah saya bilang) mas-mas yang rada keukeuh untuk nemenin harusss saya hadepin dengan kekuatan bulan sampai dia menyerah dan balik kanan bubar jalan. Dengan kata-kata : saya sudah menikah! Manjur! 
#encode #ngarep nikah #bukan sama si emas-emas nya tapi. Ha-ha-ha.





Dari cerita konservasi hutan sampai biawak penghuni kolam, akhirnya saya beranjak pulang setelah berpamitan dengan 2 karyawan LIPI tadi, yang awalnya menyangka saya mahasiswi yang sedang belajar untuk ujian. Mereka juga nggak percaya kalau saya sendirian. Ya ampun, apa sebegitu nggak common-nya ya perempuan berpergian sendiri di Indonesia? padahal ini cuma sejarak sekian kilometer dari Jakarta.




Ternyata, kontemplasi bukan melulu menjadi sepi, tapi menemukan titik balik. Saya belum bisa sepenuhnya menyepi selama masih menjejaki bumi, hal paling sepi yang pernah saya alami yaa cuma di, kamar mandi. :) 


Save as : Ekstansi Kontemplasi Apalah-Apalah. Tutup laptop.

No comments:

Post a Comment

budayakan komentar yang berbudaya