Monday, August 19, 2013

Mendengar : sederhana tapi tidak sesederhana itu.


Mendengar adalah hal aneh dan bersifat magnetis, suatu dorongan yang kreatif. Teman yang mendengar ucapan kita adalah teman yang bergerak maju, dan kita ingin duduk di dalam radius mereka seolah-olah hal itu akan bedampak bagi kita, seperti sinar ultraviolet...

Ketika kata-kata kita disimak, itulah momen dimana kita diciptakan dan membuat kita terbuka dan terus berkembang. Gagasan mulai berkembang di dalam diri kita, dan ia datang ke dalam hidup kita. Di dengarkan membuat orang lain senang dan bebas. Ketika kita mendengarkan kata-kata orang lain, dalam aktivitas itu muncul gelombang altenatif, dan gelombang itu mengisi kembali energi kita sehingga kita tidak akan pernah merasa lelah tehadap orang lain, begitu pula sebaliknya. Dalam aksi mendengar dan didengarkan itu, secara konstan kita akan selalu dicipta-ulang.

Sekarang ada orang-orang brilian yang tidak bisa mendengarkan kata-kata orang lain. Mereka tidak punya kabel yang masuk ke dalam aparatus orang lain. Mereka menghibur, tapi juga melelahkan. Saya berpikir demikian karena pelajaran-pelajaran ini, penampilan-penampilan brilian ini, tidak memberikan  kesempatan kepada kita untuk berbicara, mengekspresikan dan mengembangkan pikiran kita. Padahal tindakan mengembangkan dan mengekspresikan itulah yang membuat kreativitas dalam diri kita merekah dan menempatkan pikiran-pikiran baru, kebijaksanaan dan tawa yang tak terduga.

Saya menemukan semua ini sekitar tiga tahun lalu, dan penemuan ini sungguh-sungguh membuat perubahan revolusioner di dalam hidup saya. Sebelumnya, ketika saya pergi ke pesta, saya akan berfikir dengan perasaan cemas : "Cobalah dengan lebih keras sekarang. Bergembiralah. Katakanlah hal-hal yang menyenangkan. Bicara. Jangan patah semangat. Dan ketika merasa lelah, saya akan minum banyak kopi untuk mempertahankan semangat saya."

Tapi kini, sebelum pergi ke pesta, saya hanya akan berkata pada diri saya sendiri untuk mendengarkan dengan penuh perhatian pada siapapun yang berbicara kepada saya, menempatkan diri saya di dalam posisi mereka ketika berbicara. Mencoba mengetahui mereka tanpa memaksakan pikiran saya pada pikiran mereka, atau berdebat, atau mengubah subjek pembicaraan. Tidak. Sikap saya adalah: "Bicaralah lebih banyak lagi kepada saya. Orang ini menunjukan jiwanya kepada saya. Sekarang ini jiwanya kering, kecil dan penuh dengan kata-kata yang tidak jelas, tapi nanti dia akan mulai berpikir, tidak otomatis bicara. Dia akan menunjukan dirinya yang sebenarnya. Kemudian, dia akan hidup."

 - Brenda Ueland-

Artikel milik Brenda Ueland diatas, tidaklah diterbitkan di Psychoanalytic Review, bukan pula di American Journal of Psychiatry, atau pada Journal of the American Medical Association, namun temaktub di The Ladies Home Journal edisi November 1941. Sedangkan saya menemukan artikel Ueland ini pada buku cantik berjudul The Anatomy of Love chapter ke-16 yang saya beli bulanan lalu di kampus.

Well, praktisnya, manusia memang suka bercerita dan berbicara, itu kenapa dalam ilmu komunikasi ada kajian khusus mengenai retorika atau seni berbicara, teknik lobi dan negosiasi, berbicara efektif, dan seni bicara lainnya. Namun, dipastikan, kita jarang menemui ilmu, atau seni, atau teknik... mendengar, ia kan begitu?

Menilik artikel Ueland diatas, lucunya, (dimana artikel tersebut dibuat) tahun 1941, dimana gadget belum se-spekta taun-taun kebelakang, manusia seperti Ueland sudah diliputi kecemasan akan kurangnya empati telinga manusia dalam mendengar. Dan fenomena kemunculan media sosial makin meruntuhkan kegiatan mendengar secara etis. Kenapa? Manusia kian sibuk dengan dunia baru berukuran inci berbentuk persegi panjang dan diarusi baterai. Kegiatan mendengar terganti membaca dan mengomentari "curahan hati yang dibatasi 141 karakter", dan parahnya beberapa dari kita malah seperti ini : kedua tangan asik memijit layar dan atau keypad, mata terfokus pada layar dan atau keypad sambil sesekali melirik resah kearah si pembicara, dan ketika diajukan pertanyaan remeh seperti "terus menurut kamu gimana dong?" serta merta menjawab  "ya gitu deh, eeeh, apa, gimana tadi, kamu cerita apa, ulang deh, di part yang..."  

Buat saya pribadi sih, kemampuan mendengarkan berbanding lurus dengan perilaku menghargai yang menempel pada diri seseorang. Dan secara intuitif, manusia yang menghargai manusia lainnya, akan cukup cerdik untuk mengenali bahwa kekuatan mendengar berasal dari kasih sayang dari lelaku menempatkan diri dalam posisi orang lain. Hal ini benar-benar sejalan dengan esensi berempati. Jadi, skala empati seseorang bisa ditandai melalui perilaku mendengar-nya. Dan buat kalian yang berskala kecil, jangan seddiihh, setidaknya, cukuplah membaca tulisan ini dan bukan mendengrnya. 


No comments:

Post a Comment

budayakan komentar yang berbudaya