Bilangan tiga, skala tahun-an. Masih cetek.
Pengalaman sebagai pengajar memang masih sedikit. Baru 3 tahun. Selama waktu
dulu dan kedepannya, bertemu dedek mahasiswa unyu yang beragam, pasti menyenangkan, pasti. Bayangkan, setiap
semester baru, ratusan mereka selalu membawa suasana baru. Dulu, 3 tahun lalu,
waktu masih 22, rasanya gembira luar biasa dipanggil Ibu, meski beberapa kekeuh memanggil kakak. Kakak? zzz
Ditempat kerja yang sekarang, sapaan Ibu berganti Miss. Jarak antara “Ibu” dan anak didik
semakin menyenti. Setahun kebelakang mengakrab diri dengan seruan Miss. Sampai, suatu hari rabu,
“Ibu, eh maaf.. Miss..
saya..”
“It’s oke, Ibu juga ngga’ papa.”
“Miss”
mendikte saya menjadi fresh dan
kekinian. Helooh, udah dua-puluh-lima-ndrin. Indikator kekinian dan fresh ala apa yang jadi patokan? Usia dua puluh lima ke bawah di profesi
ini memang fasih di lafal pake’ hitungan jari. Jadi, dua-puluh-lima masih pada
kohort dosen muda katanya. Katanya saya, deng.
Tapi, kembali dipanggil ibu menjadi seru. Seperti
sesuatu yang pernah hilang, datang. Keintiman yang pernah pergi, pulang. Ahh,
saya suka dipanggil ibu.
Let's cut a
deal, kid !