Ini sedikit implusif, dan mari, kita mulai
ke-implusifan ini..
Bangun tidur, menjejaki kamar mandi, botol-botol
kecantikan berdiri tegak, rapi jali. Dengan sadar saya memilih merk-merk
tersebut, serius deh, sadaar bener kalau kata-kata yang men “sponsori” nya
menjanjikan kecantikan (versi beberapa perempuan), seperti : “with purified goats milk & milk protein.
lightens skin tone. Atau pada tutup lulur mandi, tercetak kalimat lebih
tebal ketimbang lainnya, “membantu mencerahkan kulit dengan double withtening.” Atau tulisan pada
kemasan tube cantik berwarna pink fuchsia yang fasih saya eja, “deep whitening facial foam.”
Berlanjut, dan seolah sepakat menimpali perlengkapan
mandi, meski komposisi terdiri dari minyak almond dan susu, tetep aja efek
akhir dari body lotion yang saya
pakai adalah : memutihkan. Pelembab siang dan malam, serempak men-treat kulit wajah saya dengan
iming-iming pada kemasan “ lightening day cream” pun “ re-brightening night
treatment”. Cukup? Enggak ternyata, mosok pelembab-nya udah sebegitu kekeh
sumekeh, bedak-nya nggak ikutan bikin wajah jadiii.. ehm, cerah? Dan kalau mau
dirunut, produk yang menjanjikan “hitam” hanyalah shampo semata.
Itu saya, 24 tahun, seorang Indonesia. Berapa banyak
perempuan yang seperti saya, bahkan lebih memberanikan diri mencoba produk
sejenis untuk beragam aplikasi? Yang saya sebut di atas sih masih berupa produk
khusus luar tubuh, dan nggak menutup kemungkinan ribuan wanita juga jajal
pemutih berupa obat telan bahkan injeksi.
Berarti saya hipokrit dong? Iyah. Iyaaahh pake
banget.
Bersuara tentang dampak (negatif) iklan pada kelas
periklanan saat mengajar, oh well
heloohh, saya sendiri mengkonsumsi. (Pernah) rajin ikutan kelas teori kritis,
media dan identitas bahkan kelas minoritas, saya ini pun konsumen setia produk
imperialisme budaya tersebut. Apa coba namanya kalau bukan hipokrit, ya toh?
Perempuan, dimanapun, pastiiiiii, ingin terlihat
cantik. Terlihat cantik nggak musti untuk orang lain terlebih lawan jenis yah,
tapi terlihat cantik untuk diri sendiri berdasarkan skala sendiri. Masalahnya
skala itu lagi-lagi di-skala ulang oleh media massa. Dan hampir jutaan
masyarakat Indonesia menikmati pekerjaan mereka sebagai pemirsa iklan. Kalau
nggak menikmati, kenapa produk tersebut laris dipasaran setelah mereka amati melalui
iklan (entah dari televisi, majalah, radio, billboard,
juga online) ?
Nah terus, gimana dong pendapat pria-pria jumawa tentang
jargon iklan di media massa kalau “putih itu cantik atau cantik itu putih”? Niiiih mereka punya penilaiannya
masing-masing ...
WP – pegawai
bank
Ga setuju. Menurut gue, kalo konteksnya
Indonesia, kulit putih itu nggak mencerminkan Indonesia banget. Nature nya Indonesia kan kalau nggak sawo matang, kuning
langsat. Putih = cantik itu gimana yaa.. terlalu men-generalisir, kan nggak
baik men-generalisir sesuatu. Untuk case-case
tertentu sih putih itu cantik, tapi nggak semuanya. Ya kalau jalan-jalan di
mall atau liat model-model, yang putih dan cantik, banyak. Tapi yang nggak
putih dan cantik, banyak juga, hasil pandangan mata dilapangan. Gini, kalau
ditanya setuju atau enggak cantik itu putih, itu nggak tepat.
AA – pegawai
swasta
Nggak setuju. Nggak harus putih menurut aku sih,
tapi nggak tau ya kalau menurut cowok-cowok lain. Kayak Farah Queen aja, item
manis. Trus Titi Rajo Bintang juga item manis.. tapi cantik.. kan nggak harus
putih. Aku sih suka dua-duanya, putih suka, item manis suka.
AM – pegawai
swasta
Nggak setuju. Cantik itu bukan dari fisik, tapi
kombinasi hati dan fisik. Fisik itu sementara, udah tua pada jadi keriput,
tapi hati itu permanen. Kalau cuma fisik, nyatanya miss universe dominan berkulit eksotik. Kalau ditanya suka atau
nggak sama cewe putih, itu bukan prioritas.
BD –
marketing
Emmm, ga setuju sih, tapi menunjang iyah. Mungkin
kan putih lebih terlihat bersih, coklat kan beberapa yang suka. Tergantung,
semua tentatif tergantung selera.
AMZ –
pekerja media
Kurang pas sih menurut aku. Yang pas, bersih itu
putih, putih itu bersih. Putih nggak selamanya cantik, item juga ada yang
cantik. Tapi suka lah pasti ngeliat cewek yang putih. Tapi yang penting kan
bersih nggak harus putih. Yang penting mah enak dilihat.
|
Polanya hampir sama, memberikan sampling bahwa nggak semua yang tidak putih itu
tidak cantik, kemudian memberikan sebuah statement berupa jalan tengah, mau putih
atau tidak putih, kami, para lelaki suka. Kembali kepada selera sih,
toh selera memang belum pernah terbukti bohong kan?
Lagi pula, itu baru jawaban beberapa laki-laki dan
kebetulan teman-teman saya. Masih sedikit subjektif sih yes, tapi, seenggaknya gambaran mengenai suntikan pesan media massa
tiap hari persekian detik nya itu, perlu kita kritisi loh mba beb sekalian.
Saya pun nggak bisa ngomong banyak, karena saya juga (masih) konsumsi hal-hal
tersebut. kalau ditanya sampai kapan? Saya nggak bisa kasih jawaban pasti.
Mungkin yang saya mau bukan putih kali yah, tapi lebih ke efek glowing semacam beyonce gitu. hi hi hi,
zzzz..
Dan yang paling pasti, sunbathing dan berenang di pantai masih menjadi salah-satu agenda
rutin saya kok sebagai manusia tropis yang hidup di negeri ber-iklim cantik,
Indonesia. Dan lagi, hidup bukan melulu fisik, dapet salam manis tuh dari kepribadian dan prestasi buat kalian-kalian yang masih belum terima kalau : Everything has beauty but not everyone sees it (Confucius)