(Wanita – pelecehan & kekerasan)
Pukul 08.15 pagi, kereta beranjak meninggalkan kota Solo
yang semalam diguyur hujan lebat. 2 malam di Solo dalam kunjungan wisuda-an adik
satu-satunya terasa super singkat. Belum sempet wisata kuliner lah, jalan-jalan
lah, untuk hal 'belanja-belanji' saja nggak kesampaian. Opsi pulang ke Jakarta naik
kereta di putuskan H min sekian jam sebelum berangkat ke Solo, awalnya mau
sekalian pesan tiket Pulang-Pergi via udara, tapi karena kondisional (lantaran belum tau
mau pulangnya hari apa dan jam berapa), jadi hanya perjalanan pergi yang di
booked di travel agent saat itu.
Oke then, kita salah gerbong. Ngeh’ nya saat ada
mas-mas berpostur besar dan keliatan sabar naik dari stasiun Jogyakarta menuju
tujuan yang sama, yaitu Jakarta. Mas-mas itu keliatan celingukan dan berdiri
tepat disamping tempat duduk ku. Beberapa detik kemudian, mas-mas itu buka
suara dan.. “mbak, ini no 9 A-B yah? Saya juga duduk disini lho”
Ihh ngga bisa-ngga bisa!! jadi maksud si mas itu,
kita yang salah gitu? Enak aja! I’ve the ticket too, bung!
Si mas ngeliat tiket kami dan... “ya udah mbak, sama
yah ternyata duduknya, saya duduk disini aja deh” sambil menunjuk bangku
di deret yang sama namun baris yang
berbeda.
Kemenangan nggak berlangsung lama ketika bapak
masinis mengecek tiket kami (aku & ibu - serta si mas itu *red). Astaga, kita
yang ngelantur taunya, persaan -ngga enak sama si mas nya-malu-bete-males
angkat barang (oleh-oleh) yang gedenya seperti pulang haji- campur aduk jadi satu. Tapi si mas besar itu
malah bilang.. “ngga papa, kalian nggak usah pindah” ooohhhh baiknya ...
Seandainya pun kita pindah tempat duduk, nggak juga
ke gerbong yang semestinya,
1.
akan tampak heboh.
2. bawaan yang senantiasa imut (pergunakan majas
ironi pada kata ‘imut’) dan juga (lagi-lagi) heboh
3.
malassss... hehehe
“tapi mbak, di gerbong depan (8) kosong loh, di sini
juga banyak yang kosong.. tuh”
si co /asisten/pendamping masinis yang satunya buka
suara sembari menunjuk-nunjuk 3 deret bangku persis di depan kami. Kita langsung
cabcus, dan si bawaan “imut” nggak ketinggalan di tenteng juga. Ya Alloh, padahal di
depan kami ada bagage trail aja dong, dan positif nya bisa buat ngaca-ngaca. That
was, umm.. great!
Setengah perjalanan, seorang ibu yang awalnya ramah, yang
awalnya juga duduk di depan ‘accident-embrasing-moment seat’ kami, mendadak
pindah kebarisan samping dan sejajar dengan tempat duduk ku yang baru. Dengan ‘angel face’ dan senyum sumringah aku
sapa si ibu tersebut, tapi beliau malah tersenyum kecut dan memasang earphone
nya. Well, karena aku orang yang
berprinsip is nice to be nice, mending lanjut aja deh sesi handphone narcism fotoshoot
pengusir rasa bete.
------------------------------
Selepas tengah hari,
Yang membuat bete adalah ketika di gerbong 7 ini,
toilet bermukim malah di bagian belakang, seinget ku dibagian depan-belakang
gerbong harusnya ada toiletnya dong yah?! Akibatnya, ketika timbul hasrat-hasrat
“penting” itu, kita (penumpang dibaris depan) pun harus dengan sabar
memfasilitasi diri dengan toilet yang letaknya jauh dibelakang (ciri-ciri orang
yang tidak bersyukur,
coba kalau keadaanya adalah : toilet-cuma-satu-untuk-sepuluh-gerbong-yang-letaknya-di-kabin-masinis.
Oke, ada lagi korban ke esa-an toilet gerbong tujuh
dibaris depan kali ini. Setelah tadi saya, seorang manula dan (mungkin) anaknya
yang tampak bingung mencari toilet bagian depan dan nihil, seorang bapak, kali
ini giliran seorang wanita yang rambutnya tampak acak-acakan karena tertidur
diperjalanan. Polanya hampir sama, membuka pintu otomatis, melihat kanan-kiri,
mengecek sekali lagi, menuju ke gerbong delapan, kembali ke gerbong tujuh,
pasrah, dan kembali ke tempat duduk.
Si wanita dengan rambut ‘bangun tidurnya’ itu malah
duduk tepat di belakang kursi ku. Dari pantulan lewat bagage trail di depanku,
aku malah mengamati si wanita yang usianya kira-kira 35-40 tahunan itu,
atau mungkin saja berusia 60 tahun namun tampak muda karena rajin suntik botox
dan vitamin C. Hehe.. (oke, fokus ndrin)
Astaga, seorang pria didepanya..
Rambut wanita yang tampak berantakan, namun lebih
mirip disasak itu ternyata bukan karena tidur panjang diperjalanan seperti
dugaan ku semula. Pria sangar (yang mungkin suami/ pacar resmi/ pacar gelap/ kerabat -> yang
ini agak nggak mungkin karena mereka tampak intim) menjambak berkali-kali
rambut si wanita. Sedikit percakapan yang aku dengar adalah “ayo pindah, pindah
ke sini (ketempat duduk si wanita semula)” sambil meninju bahu si wanita, dan
lagi-lagi menjambak rambut wanita malang itu.
Wanita itu terisak, menyeka sebentar air matanya, dan
beranjak pindah ke sebelah pria sangar itu. Oh oke, peperangan malah berlanjut,
dari pantulan bagage trail, aku melihat pria tersebut memelintir lengan wanita
yang postur tubuhnya tinggi kurus dengan mata yang sembab. Si wanita cuma
berujar lirih “sakitt.. udah.. sakitt..” tanpa melakukan perlawanan apapun. Sang
pria menatap lekat wanita, seolah-olah ingin menerkam si wanita dengan tanganya
yang “lihai” meninju. Percakapan berlangsung lagi, lama, dan kemudian terjadi
lagi tindakan sangat tidak manusiawi itu.
Aku mengalihkan pandangan ke arah bangku sekitar
wanita malang tersebut. Acuh, rata-rata dari mereka mengabaikan kejadian mirip
sinetron itu. Ada yang asik menonton tv yang tayanganya sudah diulang puluhan
kali, ada yang melihat pemandangan luar jendela, namun ada juga yang tampak
iba, seorang ibu yang menina-bobokan balitanya berlagak berdiri dan sesekali
melihat lakon jahanam itu. Seorang ibu yang tersenyum kecut padaku tadi, yang
mendadak pindah tempat duduk di baris sebelah bangku ku, mencoba terpejam
dengan earphone tetap terpasang di telinganya. Itu..itu ternyata alasanya. Kalau
si ibu tetap bertahan duduk di belakang pasangan “panas” itu, yang ada beliau
roboh karena menyaksikan live hell performance tepat didepan matanya.
Berdiri, berbalik arah menuju tempat duduk pasangan
tersebut, mengeluarkan sisa-sisa keberanian untuk berkata “Stop! Anda sedang
memukuli manusia, tepatnya wanita”. Aku? Nol! Mereka? Nol! Siperempuan malang?
Nol! Petugas keamanan yang per sekian menit bolak-balik untuk sekedar mengecek
keadaan? Nol! Lalu siapa?
Lapor komnas perempuan? Lama di birokrasi. lapor
polisi? Lapor siapa lagi?
Kita semua, di gerbong 7, cuma.... DIAM!
Terlebih wanita itu, mengapa ia tidak melawan, untuk
sekedar memberontak atau teriak minta tolong, memberi kode “plisss.. tolong
saya” ke orang-orang sekitar, atau pergi dari tempatnya. Wanita itu terkesan
pasrah, padahal banyak opsi yang bisa ia lakukan. Ini tempat umum tante, akan beda
cerita jika kejadiannya di tempat privat sehingga akses pertolongan susah
datang.
Mungkin kalau si perempuan malang “berharap”
ditolong, banyak yang mau menolong, termasuk saya. Melihat kejadian seperti
itu, manusia mana yang rasa manusiawinya tidak muncul? Namun kenyataanya bilang
lain, kepasrahan si wanita membuat orang-orang yang ingin menolong malah membatin
“aduh mbak, ko diem aja sihh? Ayo teriak dong, saya nggak punya alasan untuk
menolong si mbak kalo dari mbak nya sendiri terkesan ‘menikmati’ perlakuan manusia
laki-laki itu.”
Kalau mau berfikir objektif, taruhlah, si wanita itu
ternyata berselingkuh dan ketauan si manusia laki-laki nya. Si laki-laki
tersebut kecewa, dan untuk melampiaskan rasa marahnya, si laki-laki (harusnya tidak) memukul,
meninju, menjambak, memelintir wanita tersebut. Singkatnya, apapun kesalahan,
masalah, pemicu masalah, sumber masalah, tidak menjadikan tindakan kekerasan
terhadap wanita sebagai jalan keluar. Apa dengan memukul dan menjambak, si
wanita akan mengaku? (itu juga kalau si wanita berselingkuh), apa dengan
meninju dan meludahi, si wanita akan minta maaf? (itu juga kalau si wanita
bersalah), apa dengan menampar dan memaki, si wanita akan sadar? (itu juga
kalau si wanita nggak sadar), atau jangan-jangan perlakuan tidak manusiawi itu
sebagai ajang jago-jago para lelaki
atas kodrat mereka sebagai imam (itu juga kalau mereka sudah resmi menikah,
kan?), aktualisasi diri para
laki-laki dari pikiran skeptis mereka bahwa si wanita itu harusnya dibawah dan
mengalah, wujud kebingungan mereka
untuk memperlakukan wanita yang bersalah?, atau jangan-jangan mereka memang
atlet : tinju rumah tangga, tarik tambang rambut, lempar lembing
piring, dan smack down, ahli tata rias :
dengan penambahan rona merah pada pipi dan eye shadow biru di sekitar kelopak
mata, bahkan aktor “teromantis” : biasanya mereka (laki-laki) akan menjadi
seorang yang sangat manis setelah perlakuan kasar mereka. Memberi bunga atau
coklat, menciumi luka-luka (yang besoknya dibuat lagi), berlutut dan bersimpuh
sampai menyium kaki si wanita. Dan si wanita... LULUH!
Sekitar pukul 2.30..
Aku mulai terkantuk-kantuk, pacar sibuk kerja dan imbasnya
untuk sekedar sms-an saja nggak bisa sering-sering, ibu ku tertidur pulas
disamping-ku, dari mataku yang kriyep-kriyep nggak puguh (jelas *red) ini, aku
melihat pasangan tadi beranjak dari tempat duduknya dan pindah gerbong. Astaga,
penyiksaan sesi 2, batinku. Ya Tuhan, apa si pria mau menghujani tinjuanya lagi
di gerbong lain sekarang, dikamar mandi barangkali? Maaf tante tanpa nama, aku
cuma bisa bantu doa dari sini. Maaf. Dan semua pun gelap .....
------------------------------
Aku mendapat bunga hari ini, meski hari ini bukan
hari istimewa dan hari ulang tahun ku. Semalam untuk pertama kalinya kami
bertengkar dan ia melontarkan kata-kata menyakitkan. Aku tahu ia (menyesalinya)
karena hari ini ia mengirimi aku bunga.
Aku mendapat bunga lagi hari ini, padahal hari ini
bukanlah ulang tahun perkawinan kami atau hari istimewa lain. Semalam ia
menghempaskan aku ke dinding dan mulai mencekikku. Aku bangun dengan memar dan
rasa sakit di seluruh tubuhku. Aku tahu ia (menyesali) perbuatanya karena ia
mengirim bunga padaku hari ini
Aku kembali mendapat bunga hari ini, padahal hari ini
bukan hari ibu atau hari istimewa lainnya. Semalam ia memukuli aku lagi, lebih
keras dibanding waktu-waktu lalu. Aku takut padanya namun aku takut meninggalkanya.
Aku tidak punya uang, lalu bagaimana aku menghidupi anak-anakku? Namun aku tahu
ia (meyesali) perbuatanya semalam, karena hari ini ia kembali mengirimi aku
bunga.
Ada bunga untuku hari ini. Hari ini adalah hari
istimewa : inilah hari pemakamanku. Ia menganiaya ku sampai mati tadi malam. Andai
saja aku punya sedikit kekuatan dan keberanian untuk meninggalkanya, aku tidak
akan mendapat kan bunga lagi hari ini...
------------------------------
..... pukul 4.30 sore, kereta tiba di Jakarta, aku memutuskan untuk
turun di Stasiun Jatinegara ketimbang Gambir, simple, jarak yang lebih dekat
dari rumahku di Bekasi. Mendapati pasangan "panas" tadi yang sudah
kembali ke tempat duduknya entah dari kapan, aku merasakan ada sesuatu yang
janggal. Mereka tampak mesra, sangat mesra malah. Sesekali aku mendengar tawa dari bibir keduanya. Mereka bercanda, seolah-olah lupa dengan scene dramatis yang mereka lakukan tadi. Dan akhir dari cerita gerbong 7 ini, aku bertemu mata dengan tante tanpa nama tersebut : semua seolah tidak pernah terjadi.