Tuesday, August 20, 2013

Putih itu Cantik : Yang Lain ?

Ini sedikit implusif, dan mari, kita mulai ke-implusifan ini..

Bangun tidur, menjejaki kamar mandi, botol-botol kecantikan berdiri tegak, rapi jali. Dengan sadar saya memilih merk-merk tersebut, serius deh, sadaar bener kalau kata-kata yang men “sponsori” nya menjanjikan kecantikan (versi beberapa perempuan), seperti : “with purified goats milk & milk protein. lightens skin tone. Atau pada tutup lulur mandi, tercetak kalimat lebih tebal ketimbang lainnya, “membantu mencerahkan kulit dengan double withtening.” Atau tulisan pada kemasan tube cantik berwarna pink fuchsia yang fasih saya eja, “deep whitening  facial foam.” 

Berlanjut, dan seolah sepakat menimpali perlengkapan mandi, meski komposisi terdiri dari minyak almond dan susu, tetep aja efek akhir dari body lotion yang saya pakai adalah : memutihkan. Pelembab siang dan malam, serempak men-treat kulit wajah saya dengan iming-iming pada kemasan “ lightening day cream” pun “ re-brightening night treatment”. Cukup? Enggak ternyata, mosok pelembab-nya udah sebegitu kekeh sumekeh, bedak-nya nggak ikutan bikin wajah jadiii.. ehm, cerah? Dan kalau mau dirunut, produk yang menjanjikan “hitam” hanyalah shampo semata. 

Itu saya, 24 tahun, seorang Indonesia. Berapa banyak perempuan yang seperti saya, bahkan lebih memberanikan diri mencoba produk sejenis untuk beragam aplikasi? Yang saya sebut di atas sih masih berupa produk khusus luar tubuh, dan nggak menutup kemungkinan ribuan wanita juga jajal pemutih berupa obat telan bahkan injeksi. 

Berarti saya hipokrit dong? Iyah. Iyaaahh pake banget. 

Bersuara tentang dampak (negatif) iklan pada kelas periklanan saat mengajar, oh well heloohh, saya sendiri mengkonsumsi. (Pernah) rajin ikutan kelas teori kritis, media dan identitas bahkan kelas minoritas, saya ini pun konsumen setia produk imperialisme budaya tersebut. Apa coba namanya kalau bukan hipokrit, ya toh? 

Perempuan, dimanapun, pastiiiiii, ingin terlihat cantik. Terlihat cantik nggak musti untuk orang lain terlebih lawan jenis yah, tapi terlihat cantik untuk diri sendiri berdasarkan skala sendiri. Masalahnya skala itu lagi-lagi di-skala ulang oleh media massa. Dan hampir jutaan masyarakat Indonesia menikmati pekerjaan mereka sebagai pemirsa iklan. Kalau nggak menikmati, kenapa produk tersebut laris dipasaran setelah mereka amati melalui iklan (entah dari televisi, majalah, radio, billboard, juga online) ?

Nah terus, gimana dong pendapat pria-pria jumawa tentang jargon iklan di media massa kalau “putih itu cantik atau cantik itu putih”? Niiiih mereka punya penilaiannya masing-masing ...

WP – pegawai bank
Ga setuju. Menurut gue, kalo konteksnya Indonesia, kulit putih itu nggak mencerminkan Indonesia banget. Nature nya Indonesia  kan kalau nggak sawo matang, kuning langsat. Putih = cantik itu gimana yaa.. terlalu men-generalisir, kan nggak baik men-generalisir sesuatu. Untuk case-case tertentu sih putih itu cantik, tapi nggak semuanya. Ya kalau jalan-jalan di mall atau liat model-model, yang putih dan cantik, banyak. Tapi yang nggak putih dan cantik, banyak juga, hasil pandangan mata dilapangan. Gini, kalau ditanya setuju atau enggak cantik itu putih, itu nggak tepat.

AA – pegawai swasta
Nggak setuju. Nggak harus putih menurut aku sih, tapi nggak tau ya kalau menurut cowok-cowok lain. Kayak Farah Queen aja, item manis. Trus Titi Rajo Bintang juga item manis.. tapi cantik.. kan nggak harus putih. Aku sih suka dua-duanya, putih suka, item manis suka.

AM – pegawai swasta
Nggak setuju. Cantik itu bukan dari fisik, tapi kombinasi hati dan fisik. Fisik itu sementara, udah tua pada jadi keriput, tapi hati itu permanen. Kalau cuma fisik, nyatanya miss universe dominan berkulit eksotik. Kalau ditanya suka atau nggak sama cewe putih, itu bukan prioritas.

BD – marketing
Emmm, ga setuju sih, tapi menunjang iyah. Mungkin kan putih lebih terlihat bersih, coklat kan beberapa yang suka. Tergantung, semua tentatif tergantung selera.

AMZ – pekerja media
Kurang pas sih menurut aku. Yang pas, bersih itu putih, putih itu bersih. Putih nggak selamanya cantik, item juga ada yang cantik. Tapi suka lah pasti ngeliat cewek yang putih. Tapi yang penting kan bersih nggak harus putih. Yang penting mah enak dilihat.

Polanya hampir sama, memberikan sampling bahwa nggak semua yang tidak putih itu tidak cantik, kemudian memberikan sebuah statement berupa jalan tengah, mau putih atau tidak putih, kami, para lelaki suka. Kembali kepada selera sih, toh selera memang belum pernah terbukti bohong kan? 

Lagi pula, itu baru jawaban beberapa laki-laki dan kebetulan teman-teman saya. Masih sedikit subjektif sih yes, tapi, seenggaknya gambaran mengenai suntikan pesan media massa tiap hari persekian detik nya itu, perlu kita kritisi loh mba beb sekalian. Saya pun nggak bisa ngomong banyak, karena saya juga (masih) konsumsi hal-hal tersebut. kalau ditanya sampai kapan? Saya nggak bisa kasih jawaban pasti. Mungkin yang saya mau bukan putih kali yah, tapi lebih ke efek glowing semacam beyonce gitu. hi hi hi, zzzz.. 

Dan yang paling pasti, sunbathing dan berenang di pantai masih menjadi salah-satu agenda rutin saya kok sebagai manusia tropis yang hidup di negeri ber-iklim cantik, Indonesia. Dan lagi, hidup bukan melulu fisik, dapet salam manis tuh dari kepribadian dan prestasi buat kalian-kalian yang masih belum terima kalau : Everything has beauty but not everyone sees it (Confucius)




Monday, August 19, 2013

Mendengar : sederhana tapi tidak sesederhana itu.


Mendengar adalah hal aneh dan bersifat magnetis, suatu dorongan yang kreatif. Teman yang mendengar ucapan kita adalah teman yang bergerak maju, dan kita ingin duduk di dalam radius mereka seolah-olah hal itu akan bedampak bagi kita, seperti sinar ultraviolet...

Ketika kata-kata kita disimak, itulah momen dimana kita diciptakan dan membuat kita terbuka dan terus berkembang. Gagasan mulai berkembang di dalam diri kita, dan ia datang ke dalam hidup kita. Di dengarkan membuat orang lain senang dan bebas. Ketika kita mendengarkan kata-kata orang lain, dalam aktivitas itu muncul gelombang altenatif, dan gelombang itu mengisi kembali energi kita sehingga kita tidak akan pernah merasa lelah tehadap orang lain, begitu pula sebaliknya. Dalam aksi mendengar dan didengarkan itu, secara konstan kita akan selalu dicipta-ulang.

Sekarang ada orang-orang brilian yang tidak bisa mendengarkan kata-kata orang lain. Mereka tidak punya kabel yang masuk ke dalam aparatus orang lain. Mereka menghibur, tapi juga melelahkan. Saya berpikir demikian karena pelajaran-pelajaran ini, penampilan-penampilan brilian ini, tidak memberikan  kesempatan kepada kita untuk berbicara, mengekspresikan dan mengembangkan pikiran kita. Padahal tindakan mengembangkan dan mengekspresikan itulah yang membuat kreativitas dalam diri kita merekah dan menempatkan pikiran-pikiran baru, kebijaksanaan dan tawa yang tak terduga.

Saya menemukan semua ini sekitar tiga tahun lalu, dan penemuan ini sungguh-sungguh membuat perubahan revolusioner di dalam hidup saya. Sebelumnya, ketika saya pergi ke pesta, saya akan berfikir dengan perasaan cemas : "Cobalah dengan lebih keras sekarang. Bergembiralah. Katakanlah hal-hal yang menyenangkan. Bicara. Jangan patah semangat. Dan ketika merasa lelah, saya akan minum banyak kopi untuk mempertahankan semangat saya."

Tapi kini, sebelum pergi ke pesta, saya hanya akan berkata pada diri saya sendiri untuk mendengarkan dengan penuh perhatian pada siapapun yang berbicara kepada saya, menempatkan diri saya di dalam posisi mereka ketika berbicara. Mencoba mengetahui mereka tanpa memaksakan pikiran saya pada pikiran mereka, atau berdebat, atau mengubah subjek pembicaraan. Tidak. Sikap saya adalah: "Bicaralah lebih banyak lagi kepada saya. Orang ini menunjukan jiwanya kepada saya. Sekarang ini jiwanya kering, kecil dan penuh dengan kata-kata yang tidak jelas, tapi nanti dia akan mulai berpikir, tidak otomatis bicara. Dia akan menunjukan dirinya yang sebenarnya. Kemudian, dia akan hidup."

 - Brenda Ueland-

Artikel milik Brenda Ueland diatas, tidaklah diterbitkan di Psychoanalytic Review, bukan pula di American Journal of Psychiatry, atau pada Journal of the American Medical Association, namun temaktub di The Ladies Home Journal edisi November 1941. Sedangkan saya menemukan artikel Ueland ini pada buku cantik berjudul The Anatomy of Love chapter ke-16 yang saya beli bulanan lalu di kampus.

Well, praktisnya, manusia memang suka bercerita dan berbicara, itu kenapa dalam ilmu komunikasi ada kajian khusus mengenai retorika atau seni berbicara, teknik lobi dan negosiasi, berbicara efektif, dan seni bicara lainnya. Namun, dipastikan, kita jarang menemui ilmu, atau seni, atau teknik... mendengar, ia kan begitu?

Menilik artikel Ueland diatas, lucunya, (dimana artikel tersebut dibuat) tahun 1941, dimana gadget belum se-spekta taun-taun kebelakang, manusia seperti Ueland sudah diliputi kecemasan akan kurangnya empati telinga manusia dalam mendengar. Dan fenomena kemunculan media sosial makin meruntuhkan kegiatan mendengar secara etis. Kenapa? Manusia kian sibuk dengan dunia baru berukuran inci berbentuk persegi panjang dan diarusi baterai. Kegiatan mendengar terganti membaca dan mengomentari "curahan hati yang dibatasi 141 karakter", dan parahnya beberapa dari kita malah seperti ini : kedua tangan asik memijit layar dan atau keypad, mata terfokus pada layar dan atau keypad sambil sesekali melirik resah kearah si pembicara, dan ketika diajukan pertanyaan remeh seperti "terus menurut kamu gimana dong?" serta merta menjawab  "ya gitu deh, eeeh, apa, gimana tadi, kamu cerita apa, ulang deh, di part yang..."  

Buat saya pribadi sih, kemampuan mendengarkan berbanding lurus dengan perilaku menghargai yang menempel pada diri seseorang. Dan secara intuitif, manusia yang menghargai manusia lainnya, akan cukup cerdik untuk mengenali bahwa kekuatan mendengar berasal dari kasih sayang dari lelaku menempatkan diri dalam posisi orang lain. Hal ini benar-benar sejalan dengan esensi berempati. Jadi, skala empati seseorang bisa ditandai melalui perilaku mendengar-nya. Dan buat kalian yang berskala kecil, jangan seddiihh, setidaknya, cukuplah membaca tulisan ini dan bukan mendengrnya.